Oleh. Ayu Mela Yulianti, SPt.
(Pemerhati Generasi dan Kebijakan Publik)
Muslimahtimes.com–Kenaikan harga LPG dan daging sapi di pasaran, setelah kenaikan harga tahu dan tempe, menambah daftar masalah di negeri ini. Sebab terjadi di tengah menurunnya daya beli masyarakat.
Kenaikan harga tersebut disinyalir karena harga bahan baku pembuatan produk tersebut ditentukan oleh fluktuasi harga di pasar dunia. Jika harga di pasar internasional naik, maka harga jual di dalam negeri pun ikut naik. Dan jika barangnya langka nyaris tidak ada di pasar internasional, maka pasar dalam negeri pun akan terkena efek domino ketiadaanya, barang menghilang di pasar dalam negeri.
Hal tersebut menunjukan jika kenaikan harga bahan pokok yang dibutuhkan masyarakat dalam negeri sangat dipengaruhi oleh iklim harga impor. Sekaligus juga menunjukan jika urusan pangan kita saat ini sangat tergantung pada impor.
Jika impor terkendala, sehingga menyebabkan produk yang diminta tidak bisa dipenuhi dari produk impor, maka pasar dalam negeri akan terkena imbas kelangkaan produk. Dan jikapun ada, maka harganya akan sangat tinggi atau mengalami kenaikan.
Lalu, ke mana seluruh kekayaan sumber daya alam yang kita miliki ? Padahal kita adalah negeri yang kaya akan sumber daya alam. Sebab kelangkaan bahan pokok di pasaran akan mendongkrak harga menjadi naik dan membuat rakyat sulit untuk membelinya, apalagi daya beli masyarakat menurun, sebab terbatasnya kemampuan untuk membeli, akibat pandemi.
Bahwa sesungguhnya semua kasus peningkatan harga bahan pokok kebutuhan rakyat adalah sebab kita terlalu tergantung pada produk impor, ini adalah fakta. Tentu saja ketergantungan tersebut bukan tanpa sebab, jika ketergantungan kita pada impor begitu tinggi, sebab pada realitasnya, era perdagangan dan pasar bebas seperti saat ini, memaksa kita untuk menerima seluruh produk impor yang ingin masuk ke dalam negeri. Sehingga terpaksa dibuat kebijakan publik yang membuat produk impor mudah masuk ke dalam negeri, walaupun sebenarnya produk tersebut bisa dihasilkan di dalam negeri.
Efek domino akibat ketergantungan terhadap produk impor adalah membuat kita lalai untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya alam (SDA) kita yang sangat besar, malah cenderung terjadi kapitalisasi SDA yang kita miliki. Sehingga terjadi ketimpangan dalam pengelolaannya, yang membuat rakyat kebanyakan, sulit mendapatkan akses dalam mengelola SDA dan menikmati hasilnya. Kapitalisasi membuat SDA dikuasai oleh segelintir orang dan korporasi.
Alhasil, produk impor membanjiri pasaran dalam negeri, walaupun kadang kala juga hilang atau langka di pasaran yang membuat harga menjadi naik. Di saat yang sama, produk dalam negeri acap kali tidak ada di pasaran, atau jikapun ada hanya dalam jumlah sedikit dan tidak laku, sebab tidak mampu bersaing dengan produk impor yang membanjiri pasar dalam negeri. Entah dari sisi kualitasnya ataupun dari sisi harganya. Sehingga hal ini menyebabkan produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh anak negeri tak mampu bersaing dengan produk impor yang kenyataannya lebih banyak dipilih oleh masyarakat dalam negeri, sebab kualitas dan harganya lebih baik daripada produk dalam negeri.
Selain juga lemahnya nilai mata uang yang kita miliki semakin menambah daftar masalah di negeri ini. Akibatnya harga barang akan disesuaikan dengan kenaikan harga barang-barang impor. Dengan kondisi mata uang kita yang nyaris tidak dianggap dan tidak memiliki daya tawar dan tidak memiliki daya saing terhadap mata uang asing. Maka kita harus membayar cukup tinggi setiap produk yang kita impor, sebab rendahnya nilai mata uang yang kita miliki.
Hal tersebut membuat kita tidak mampu bersaing dengan negara lain saat kita menginginkan barang yang sama dengan negara lain, sebab kemampuan membeli kita yang rendah akibat nilai mata uang kita yang rendah. Selain itu, status perekonomian negeri kita yang lebih rendah dari negara lain, sehingga acapkali tidak menjadi negara prioritas dalam pemenuhan pesanan, kecuali hanya sebagai negara pelengkap dan negara alternatif dari tujuan impor negara lain saja. Sehingga Indonesia acapkali kalah saing dengan Cina, misalkan, tatkala harus membeli kedelai untuk membuat tahu dan tempe, sebab kedelai habis diborong oleh Cina untuk memenuhi kebutuhan pakan babi. Menyedihkan.
Maka, menjadi pelajaran bagi kita untuk menghilangkan ketergantungan terhadap produk impor dan menguatkan kembali nilai tukar mata uang yang kita miliki. Tentu saja, jalan yang harus diambil adalah kembali memperkuat ketahanan pangan kita dan kemandirian ekonomi negeri ini. Dan hal tersebut tidaklah bisa dilakukan dengan terus-menerus mengekor pada sistem ekonomi kapitalistik yang saat ini menguasai dunia. Karena sistem tersebut kenyataannya membuat kita harus membuka pintu selebar mungkin untuk menerima setiap produk impor yang dipaksakan masuk.
Namun, harus ada keberanian untuk mengambil alternatif lain yang ditawarkan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan kemandirian ekonomi, berupa mengambil sistem ekonomi Islam. Hal itu guna meretas jalan menuju ketahanan pangan dan kemandirian ekonomi. Sebab hanya sistem ekonomi Islam saja yang meniscayakan ketercapaian ketahanan pangan dan kemandirian ekonomi negeri ini.
Adapun jalan untuk meretas jalan menuju ketahanan pangan dan kemandirian ekonomi seperti yang ditawarkan oleh sistem ekonomi Islam, antara lain :
Pertama, memanfaatkan lahan pertanian seoptimal dan semaksimal mungkin, sehingga terjadi produktivitas lahan pertanian yang baik. Tidak akan ada lahan pertanian dan tanah yang menganggur (tidak ditanami), sebab peruntukan tanah pertanian adalah untuk ditanami sehingga menghasilkan produk pertanian yang dibutuhkan oleh manusia. Perintah untuk memanfaatkan lahan pertanian untuk ditanami sangatlah jelas yaitu dilandasi pada sabda Rasulullah saw :
“Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil.” (HR. Bukhari)
Selain juga dorongan dari sabda Rasulullah saw :
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا، أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا، فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ، إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
“Tidaklah seorang muslim yang menanam tanaman atau bertani, lalu ia memakan hasilnya atau orang lain dan binatang ternak yang memakan hasilnya, kecuali semua itu dianggap sedekah baginya.” (HR. Bukhari )
Kedua, memberikan subsidi bagi kebutuhan petani lokal dari proses menanam hingga panen dan memberikan jaminan ketersediaan pasar yang siap menampung hasil panennya. Adapun subsidi bisa diberikan dari mulai pengadaan bibit, pupuk, obat-obatan dan lain sebagainya, sehingga biaya produksi petani bisa ditekan sekecil mungkin, sehingga memudahkan petani dalam proses produksi produk pertanian. Sebagaimana banyak diriwayatkan bahwa para petani seringkali mendapatkan dana/modal gratis untuk digunakan dalam proses menghidupkan lahan pertanian untuk ditanami. Seperti yang dilakukan di masa Rasulullah saw dan para Khalifah pada masa kepemimpinan para Khulafaur Rasyidin.
Ketiga, menghilangkan alih fungsi lahan pertanian, dan memberikan tanah kepada siapa pun yang mau mengelolanya dengan tangan dan kemampuannya. Sehingga akan meminimalisasi kasus lahan pertanian menganggur dan tidak produktif. Akan meminimalisasi kerusakan ekosistem dan lingkungan. Dan akan menghilangkan kasus kepemilikan sertifikat tanah ganda. Tanah akan dimiliki oleh siapa pun yang menghidupkan tanah dengan menanaminya, bukan sekadar memiliki selembar sertifikat tanah seperti saat ini, namun tanah dibiarkan menganggur, tidak diolah. Hal ini berdasarkan pada sabda Rasulullah saw.
مَنْ أَحْيَى أَرْضًا مَيْتَة فَهِيَ لَه
“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadimiliknya.” (HR.Ahmad, at-Tirmidzi dan Abu Dawud)
Dan kebijakan yang diambil oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a, seperti yang dituturkan dari Said bin al-Musayyib bahwa Umar bin al-Khaththab ra. pernah berkata:
مَنْ أَحْيَا أَرْضاً مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ، وَلَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ حَقٌّ بَعْدَ ثَلاَثَ سِنِيْنَ
“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu miliknya dan orang yang memagari tidak memiliki hak setelah tiga tahun.”
Artinya, hanya memagari namun tidak menanami atau mengolah atau mengelolanya.
Keempat, menghilangkan praktik monopoli dan penimbunan, sehingga akan menghilangkan kelangkaan barang di pasar yang menyulitkan masyarakat untuk memperolehnya.
Sabda Rasulullah saw :
: من احتكر حكرة يريد أن يغلي بها على المسلمين فهو خاطئ, رواه أحمد
Artinya: “Barangsiapa menimbun barang yang dibutuhkan orang muslim, dengan niat membuatnya mahal (paceklik), maka dia orang yang bersalah (pendosa).” (HR. Ahmad)
Kelima, melakukan aktivitas impor hanya untuk barang dan jasa yang betul-betul tidak ada dan tidak bisa dihasilkan di dalam negeri. Sedangkan untuk barang dan jasa atau produk yang bisa dihasilkan didalam negeri, maka ia tidak akan diimpor dari luar negeri. Dan langkah yang akan diambil adalah dengan jalan meningkatkan produktivitas anak negeri dengan memberikan kemudahan berupa menyediakan berbagai fasilitas yang bisa meningkatkan produktivitasnya, sehingga hasil panennya bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri secara maksimal dan optimal.
Keenam, memperbaiki sistem distribusi seluruh produk dan jasa yang dibutuhkan oleh seluruh masyarakat dalam negeri, dengan memperbaiki infrastruktur dan berbagai hal yang menunjang atas kemudahan proses distribusinya hingga kepelosok daerah dan kepelosok negeri. Sehingga masyarakat akan mudah mendapatkan seluruh produk yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya.
Ketujuh, menguatkan kembali sistem keuangan dan mata uang kita, dengan menyandarkan pada benda berharga yang nihil dari nilai spekulasi, semisal mata uang yang disandarkan pada emas dan perak. Sehingga memang kita harus memiliki cadangan real emas dan perak sebagai penguat mata uang kita. Sehingga mata uang kita betul-betul berharga sebab disandarkan pada sesuatu yang juga berharga (emas dan perak), yang betul-betul kita miliki.
Demikianlah beberapa jalan yang bisa ditempuh untuk meretas jalan menuju ketahanan pangan dan kemandirian ekonomi bangsa. Sehingga bisa membuat masyarakat merasakan ketenangan, ketentraman sebab kebutuhan hidupnya mudah diperoleh, dan berakhir pada terciptanya kemandirian ekonomi dan kedaulatan negeri.
Wallahualam.