Oleh. Fatinah Rusydayanti (Aktivis Mahasiswa)
Muslimahtimes.com — Ramadan menjadi bulan yang spesial, berbeda dengan bulan – bulan lainnya. Di bulan ini, umat muslim diwajibkan untuk menjalankan puasa sebulan penuh. Selain itu, bulan ini juga memiliki segudang keistimewaan lainnya, sebut saja tentang jaminan dilipatgandakannya amal pahala oleh Allah Swt di bulan Ramadan ini dan masih banyak keutamaan lainnya. Maka, sayang sekali ketika kita menyia-nyiakan kesempatan berharga yang hanya ada pada Ramadan ini, yakni membiarkannya berlalu layaknya bulan-bulan lainnya.
Namun mirisnya, ternyata tak semua menyambut Ramadan ini dengan mempersiapkan amalan terbaiknya. Nyatanya, kekerasan antarremaja tetap marak bahkan di bulan Ramadan. Bukannya menghidupkan malam Ramadan, yang dimana terdapat perolehan pahala yang lebih utama ketika mengerjakan salat malam atau qiyamul lail dibandingkan bulan lainnya. Malahan tak sedikit remaja yang menjadikan kesempatan malam Ramadan ini untuk berkumpul bersama teman- temannya. Sebenarnya tak masalah ketika memang hanya berkumpul untuk menjalin ukhuwah silaturahim, tetapi tak sedikit aktivitas berkumpul ini berujung pada kekerasan antarremaja.
Misal saja fenomena klitih menjadi tren beberapa tahun belakangan terutama di daerah Yogyakarta. Memang klitih itu apa sih? Nah, klitih sendiri merujuk pada perilaku menyimpang yang umumnya dilakukan oleh remaja yang ditandai dengan kejahatan jalanan, seperti tindakan anarkisme yang ingin melukai orang lain, bahkan tidak jarang menggunakan senjata tajam seperti pisau, celurit, dan lain sebagainya dalam aksi – aksinya. Mirisnya, fenomena ini terus berulang, bahkan sampai memakan korban jiwa.
Dilansir dari suarajogja.id (04/03/2022), aksi kejahatan jalanan malam atau klitih kembali memakan korban di Yogja. Seorang remaja berinisial DAA meninggal ketika dalam perawatan di rumah sakit, kejadian tersebut terjadi pada hari Ahad (03/04/2022).
Belum lagi dengan fenomena ‘perang sarung’ yang semakin marak saat Ramadan, bukan sekadar sarung biasa, tetapi fenomena ini ditandai dengan sarung yang diisi dengan batu, yang kemudian dijadikan senjata remaja untuk aksi tawuran. Dikutip dari tribunjateng.com (11/04/2022), peristiwa perang sarung kembali terjadi yang kali ini melibatkan dua kelompok remaja di Kelurahan Procot, Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal. Peristiwa yang terjadi pada Minggu dini hari (10/4/2022) sekitar pukul 02.30 WIB di depan SMPN 3 Slawi ini, menewaskan seorang remaja setelah sempat dibawa ke RSUD dr Soeselo Slawi.
Tak hanya sampai di situ, belum lama ini juga terjadi kasus yang menyayat hati. Bagaimana tidak, niat hati membangunkan warga untuk sahur, namun berujung menjadi korban tawuran. Melansir dari serambinews.com (10/04/2022), MD (20) tewas setelah jadi korban tawuran di Jalan Sanip, Kelurahan Jati Pulo, Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat. Diaz tewas dalam insiden tawuran pada Sabtu (9/4/2022) dini hari.
Sungguh disayangkan, di bulan yang suci ini kita disuguhkan dengan berita – berita yang tidak mengenakkan. Remaja ialah pemuda penerus bangsa, di tangannyalah tongkat estafet peradaban akan dilanjutkan. Namun, kenapa bisa sampai seperti ini? Sebenarnya apa yang salah?
Sanksi Saja Ternyata Tak Cukup
Melihat berbagai fenomena kenakalan remaja ini, sebenarnya pemerintah juga mulai khawatir, sehingga dibuatlah berbagai program dan sanksi untuk mengatasi masalah ini. Namun, seperti yang bisa kita rasakan bersama, upaya ini tak cukup untuk mengatasi fenomena ini. Tak hanya di bulan Ramadan saja, bulan – bulan lainnya, bahkan sepuluh tahun ke belakang pun, masalah kita masih ini – ini saja, tinggal sarana prasarananya saja yang berbeda. Tak jarang pula, para remaja ini menganggap remeh solusi ini, sebab mereka masihlah anak di bawah umur yang memang diperlakukan sedikit lebih spesial dibandingkan orang dewasa di mata hukum.
Sebagus apa pun program maupun sanksi yang ada, tetap tak akan mampu menyelesaikan masalah ketika akar atau penyebab dari masalah ini belum disolusikan. Sebab seperti kata pepatah, tak ada asap tanpa api, fenomena ini tak secara mendadak atau ada dengan sendirinya melainkan imbas dari ketidaktahuan akan hakikat dirinya.
Krisis Identitas Remaja
Sekularisme yang semakin mendarah daging dalam sistem kehidupan menjadikan kita lupa akan solusi dari Islam. Sekularisme sendiri adalah paham yang memisahkan Agama (yakni Islam) dari kehidupan. Sehingga menganggap bahwa Islam hanya mengatur terkait ibadah vertikal pada Allah Swt semata, seperti salat, zakat, puasa dan haji. Tidak memahami bahwa Islam adalah agama yang komprehensif yang mengatur segala aspek kehidupan. Mulai dari keluarga, lingkungan, pendidikan, media, hingga segala lingkup kehidupan sangatlah jauh dari peran agama. Sehingga yang terlahir adalah sosok-sosok yang berperilaku atas dasar untung rugi semata alias nafsu belaka. Selama hal tersebut tidak merugikan dirinya dan orang terdekatnya maka sah saja untuk dijalankan, walaupun hal tersebut menyakiti orang lain baik dari mentalnya maupun fisiknya.
Kembali pada Islam
Dalam Islam, seseorang dikenai hukum bukan berpatokan pada usia 18 tahun. Tetapi ketika dirinya telah baligh maka sudah terkena taklif yakni pembebanan hukum, sehingga ia telah bertanggungjawab penuh atas tindakannya. Bagi anak laki-laki ditandai dengan mimpi basah, sedangkan perempuan dengan menstruasi. Adapun ketika dia belum mengalami tanda- tanda baligh, maka batasnya sampai usia 15 tahun.
Namun, masyarakat tidak dilepas begitu saja, diberi kebebasan seluas – luasnya untuk menentukan segala tindakannya sendiri, melainkan dilakukan juga pembinaan yang bertujuan untuk mengarahkan masyarakat kepada yang makruf. Oleh karena itu, sistem pendidikan Islam ialah berlandaskan akidah Islam, yang dimana bertujuan untuk memproses manusia menuju kesempurnaan yang diridhoi Allah Swt. Maka, diupayakan sebelum anak mencapai usia balig ia telah akil (matang dalam pemikiran), sehingga telah mengetahui apa yang baik dan buruk serta mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukannya, termasuk konsekuensi dari setiap perbuatannya.
Media pun ikut berperan penting, informasi yang masuk akan disaring, meminimalisasi segala pemahaman yang mampu merangsang masyarakat untuk berbuat maksiat. Calon orang tua pun akan dibina ketakwaannya, agar senantiasa lingkungan keluarga tersuasanakan dengan suasana Islam. Ketika masyarakat paham akan hakikat dirinya serta tujuan hidupnya, maka terbentuklah masyarakat yang senantiasa saling mengingatkan kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran.
Dan semua hal ini tidak terlepas dari peran negara, yang dimana memiliki kekuasaan dan wewenang untuk mengontrol masyarakat. Ketika hukum Islam diambil, maka masyarakat mau tidak mau akan tunduk pada peraturan yang ada. Sanksi Islam sendiri memiliki sifat mencegah dari maksiat dan memberikan efek jera apabila telah terlanjur melanggarnya. Selain itu, sanksi ini juga tegas dan adil, berlaku pada siapa saja tanpa memandang statusnya. Maka walaupun pelakunya masih muda pun, selama ia telah balig, ia akan menerima konsekuensi dari perbuatannya.
Wallahu a’lam bishawab.