Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute dan Kelas Bengkel Istri)
MuslimahTimes.com – Akhir-akhir ini muncul istilah crazy rich yang merujuk pada orang-orang superkaya dan bergaya hidup mewah. Biasanya dari kalangan artis atau selebriti, pejabat dan pengusaha. Mereka pun kerap memamerkan barang-barang mewahnya di media sosial. Gemar mengunggah hal-hal berbau glamour seperti liburan ke berbagai negara, mengenakan pakaian bermerek dengan harga fantastis, hingga pamer jet pribadi.
Istilah crazy rich sendiri muncul pertama di novel karya Kevin Kwan berjudul Crazy Rich Asians. Bercerita tentang cinta beda kasta antara gadis biasa dan pria konglomerat di Singapura. Kisah yang difilmkan itu akhirnya menjadi viral (suara.com). Sejak itu orang-orang kaya di Indonesia yang suka pamer harta dijuluki crazy rich dan disebut berdasar daerah asalnya. Misal crazy rich Surabaya, crazy rich Medan dan sebagainya.
Kesuksesan Semu
Masyarakat banyak yang terbius dengan kesuksesan para crazy rich. Mereka pun tergiur, andai bisa kaya hingga mampu mengikuti gaya hidup mewah yang diimpikan semua orang. Namun, kondisi seolah berbalik, ketika diketahui bahwa sebagian dari crazy rich tersebut ternyata meraup kekayaannya dengan penipuan judi berkedok trading.
Hal Ini menjadi tamparan keras bagi masyarakat agar tidak mudah silau dengan keberhasilan seseorang. Apalagi jika kesuksesan itu menyangkut harta benda yang diperoleh secara instan. Alih-alih terpukau, seharusnya masyarakat kritis mengkaji secara mendalam, dari mana aliran uang para crazy rich itu hingga mendadak kaya raya.
Terbukti, tak semuanya meraih kesuksesan dengan jalan halal. Apalagi kemudian terbongkar bahwa konten-konten bergaya hidup mewah itu pun sebagian besar hanyalah setingan. Seolah-olah memilik barang mewah, ternyata hanya pinjaman. Semua demi konten.
Memang, ada tempat khusus untuk menyewa produk branded jika sekadar dipakai untuk pemotretan, membuat konten atau menghadiri pesta kalangan atas. Tas branded, fashion, hingga gadget premium yang harganya tak terbeli, cukup disewa.
Seperti penyewaan yang diluncurkan oleh Natasha Vinski bertajuk “Foxxy for Rent”. Ia melayani pinjaman pakaian ‘high fashion.’ Termasuk barang-barang bermerek, baik koleksi terbaru, koleksi langka atau vintage. Sepatu dan tas merek kenamaan juga ada. Seperti Gucci, Dior, LV, Hermes dan lainnya (suara.com).
Jadi, jangan mudah tergiur melihat penampilan mewah seseorang. Apalagi jika hanya tampak di media sosial. Kita tidak pernah tahu di kenyataan dia seperti apa. Bisa jadi itu hanya pencitraan untuk menunjukkan seolah-olah ia telah sukses, padahal kesuksesan semu. Kesuksesan yang menipu, baik menipu dirinya sendiri maupun menipu masyarakat.
Butuh Pengakuan
Setiap individu memang punya gharizah baqo’ atau naluri mempertahankan diri. Salah satu wujudnya adalah kebutuhan akan pengakuan diri, dihormati dan dihargai. Mereka ingin diterima masyarakat karena dirinya layak untuk diterima. Mereka merasa diakui jika berhasil menyejajarkan penampilannya dengan kebanyakan orang sukses lainnya.
Apalagi jika ia dikeliling oleh orang-orang dengan standar sukses seperti itu. Ada kebanggaan bila berhasil menampilkan gaya hidup sesuai dengan lingkaran pergaulan kita. Kita baru merasa diakui dan diterima bila mengikuti pola pencitraan yang sama. Ketika melihat tampilan kemewahan di media sosial, kita nyiut nyali, merasa belum sukses jika tidak mengunggah hal senada. Begitulah.
Gaya hidup pamer atau yang dikenal dengan istilah flexing ini pun tumbuh subur di era sekuler. Pelaku flexing ini kebanyakan adalah orang kaya baru yang mendadak punya barang mewah. Namun tak hanya para crazy rich, nyatanya flexing juga melanda kebanyakan masyarakat yang hidupnya menengah atau rata-rata. Bahkan yang miskin pun berusaha keras agar bisa pamer di media sosial.
Jujur, kita pun sengaja atau tidak telah melakukan flexing. Jika berkunjung ke lokasi yang baru, mengenakan barang baru, atau sekadar menikmati kuliner baru, kita pun tak tahan ingin segera membagikannya pada dunia. Alam bawah sadar kita berkata, “aku bisa eksis seperti kebanyakan orang.” Sebaliknya, kita pun menjadi insecure jika tak mampu melakukan hal-hal menarik seperti perilaku kebanyakan orang di media sosial.
Kita telah terciprat debu-debu kapitalisme yang menganggap kebahagiaan adalah terpenuhinya kebutuhan fisik, yaitu menikmati barang bagus dan tempat yang elok. Termasuk meraih pujian dari orang-orang yang bahkan tidak kita kenal. Mereka yang hanya kita ketahui di dunia maya. Sedangkan di dunia nyata kita sendiri pun jarang memuji atau memberi apresiasi pada sesama.
Karena itu, sadarlah untuk kembali kepada kenyataan. Realita hidup ini tak seindah di dunia maya. Apa yang kita tampilkan di dunia maya hanyalah semu. Kebahagiaan sejati nan hakiki adalah apa yang kita miliki, kita rasakan di kehidupan nyata. Jangan sampai angan-angan melayang di dunia maya hingga lupa mensyukuri apa yang sudah diraih di dunia nyata.
Konsumtivisme dan Hedonisme
Gaya hidup pamer sejalan dengan hedonisme dan konsumtivisme. Semua itu lahir di peradaban sekuler kapitalisme yang mengukur kesuksesan dari materi. Sukses diukur dengan seberapa bagus penampilan fisik; seberapa mahal barang yang dikenakan dan seberapa sering berbelanja dan ke mana belanjanya.
Gaya hidup ini dilandasi paradigma berpikir yang salah tentang kepribadian. Mereka mengira, kepribadian seseorang tercermin dari penampilan dan barang-barang yang dikenakannya. Seseorang dianggap memiliki kepribadian yang bagus bila pakaian yang dikenakannya serasi, yang mampu memancarkan aura kecantikannya atau ketampanannya.
Masyarakat pun menaruh hormat dan respek pada orang-orang seperti ini. Mereka memandang status sosial seseorang dari penampilan semata. Makin tampak bagus dari luar, makin dihormati. Akibatnya, masyarakat sibuk memoles penampilan fisik dan lahiriyah. Mereka bahkan lupa untuk membina diri dengan kepribadian yang berilmu dan bertakwa.
Peradaban sekuler bertanggung jawab membentuk pribadi-pribadi yang hedonis, konsumtif dan mementingkan penampilan lahiriah ini. Sebab, ketika kita hidup di dalam peradaban ini, sengaja atau tidak kita terserat arus mengikuti suasana kehidupan yang serba materialistis.
Banyak di antara kita yang mengalami kecemasan finansial karena khawatir tak mampu memiliki barang-barang idaman. Banyak yang merasa belum bahagia bila belum memiliki rumah pribadi, kendaraan pribadi dan segala hal berbau materi. Padahal, kebahagiaan hakiki bukan terletak pada kebendaan itu. Meski benda adalah salah satu sarana untuk meraih bahagia, namun bukan benda yang berlebihan.
Oleh karena itu, mari kita hijrah total agar tak mudah tergoda gaya hidup sekuler yang liberal. Kita bina diri menjadi pribadi Islami yang mengutamakan tingkat ketakwaan dibanding tingkat kepemilkan barang. Kita bina masyarakat agar tidak terjerumus dalam gaya hidup hedonis. Kita perjuangkan tegaknya peradaban Islam untuk menggantikan peradaban sekuler agar hidup lebih tenang dan tenteram. Tanpa perlu disibukkan persaingan di media sosial akan parade gaya hidup mewah yang tipis-tipis meracuni pikiran umat.(*)