Oleh. Salma Shakila
Muslimahtimes.com–Lelah mendengar sengkarut harga yang terus terjadi. Penyebabnya ada yang karena harga di tingkat internasional naiklah, karena ketergantungan imporlah, karena pajak PPNnya naiklah, dan baru-baru ini dinyatakan sebagai akibat kenaikan harga LPG Non Subisidi, Pertamax dan menghilangnya Pertalite dan Solar.
Belum lagi ditambah tren kenaikan harga yang selalu terjadi pada bulan Ramadan dan menjelang lebaran. Kenaikan-kenaikan harga ini jangan dianggap biasa. Kita harus sadar, ini adalah bentuk kezaliman. Kenaikan harga ini menimbulkan penderitaan rakyat. Tentu ini adalah kezaliman.
Tak harus merasa itu wajar-wajar saja kalau harga naik dengan menganggap memang momentnya wajar untuk menaikkan harga karena ada perayaan. Dan juga soal kenaikan pajak, bukan soal hanya naik 1% saja, karena toh faktanya harga naik nanti tidak cuma 1%. Bukankah ini semua membebani rakyat?
Bahkan karena lonjakan harga yang tinggi pada berbagai kebutuhan rakyat, beberapa media ada yang menarasikan ini sebagai, “Terjadi tsunami dan rentetan ledakan harga pangan di tahun 2022”. Tentu saja hal ini menambah beban berat masyarakat yang masih belum pulih akibat terdampak pandemi Covid 19.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatik, menilai pemerintah masih belum mampu mengatasi dan mengantisipasi lonjakan harga pangan. Terutama setiap menjelang hari besar keagamaan nasional yang biasanya memang mencetak kenaikan permintaan. (CNBCIndonesia.com)
Sementara Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) menilai reli kenaikan harga kebutuhan pokok pada awal tahun ini tidak wajar.(Bisnis.com)
Apakah kenaikan berulang harga bahan pokok dan komoditas lain menjelang hari besar keagamaan nasional adalah sesuatu hal yang wajar dan biasa? Bukanlah jika ini sesuatu yang berulang seharusnya ada langkah antisipasi dari pemerintah agar setiap Ramadan harga-harga tak naik.
Lama-lama rakyat tidak akan kuat bertahan. Akan banyak hak-hak rakyat yang tidak terpenuhi, seperti pendidikan dan kesehatan karena pada poin pangan saja rakyat sudah terbebani dengan menyita sebagian penghasilannya. Karena harga naik ini tak diimbangi dengan pertambahnya penghasilan.
Memang terjadi masalah ekonomi di tingkat global pasca Pandemi Covid-19. Distribusi kebutuhan masyarakat yang sempat macet ketika ada pembatasan akibat pandemi Covid-19, kini harus diangkut berkali-kali. Hal ini menyebabkan naiknya harga transportasi. Dan kenaikan harganya dibebankan pada barang akhirnya harga-harga menjadi naik.
Belum lagi untuk mengejar ketertinggalan produksi banyak pabrik-pabrik yang menggenjot produksi mereka. Produksi yang bertambah membutuhkan bahan bakar yang banyak untuk energi. Dan kenaikan biaya produksi ini menyebabkan harga-harga juga naik. Selain itu faktor kenaikan minyak global, adanya perang gagal panen karena cuaca dll juga menyebabkan harga-harga pun menjadi naik.
Tapi analisisnya apa hanya sampai di situ saja? Permasalahannya sumber daya alam kita sangat berlimpah. Mengapa harga-harga itu bisa naik sedemikian rupa padahal SDAnya ada? Berarti ada salah dalam sistemnya. Sistem yang dipakai saat ini adalah sistem kapitalis. Dalam sistem kapitalis, kebijakan-kebijakan yang diambil tak pernah mengantarkan pada kestabilan harga.
Penentuan harga (termasuk harga kebutuhan pokok) hanya ditentukan oleh segelintir pemilik modal saja bahkan negara pun tak mampu mengatasinya. Penduduk negeri-negeri muslim hanya jadi pekerja di perusahaan-perusahaan kapitalis milik swasta dan asing yang mengelola SDA di negeri-negeri muslim itu sendiri. Bukankah ini tidak tepat?
Sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan saat ini telah membuka jalan keserakahan karena kebebasan kepemilikan. Mereka yang memiliki modal besar bisa dengan leluasa memiliki tidak hanya harta-harta yang boleh dimiliki secara individu tapi juga kepemilikan umum yang seharusnya itu dipergunakan seluas-luasnya untuk kepentingan umum. Mereka menguasainya dan mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Keserakahan ini terus bertambah-tambah sehingga rakyat semakin sengsara.
Kondisi diperparah dikarenakan pemimpin-pemimpin negeri kaum muslim merupakan pemimpin yang lemah, tidak sadar posisinya sebagai serta tidak punya pengetahuan dan persiapan untuk menghadapi krisis. Sehingga pada setiap permasahan ekonomi solusinya selalu menggunakan arahan barat. Negara tidak punya kedaulatan, bahkan soal pangan sekalipun.
Penguasa-penguasa negeri muslim hanya bergantung saja. Harga-harga komoditas negeri muslim dengan SDA yang ada di dalam negerinya sendiri ditentukan harganya oleh pemimpin non muslim. Sungguh sangat ironis
Perintah Islam pada pemimpin/penguasa Islam haruslah independen, adil, dalam melakukan pemerataan distribusi kebutuhan rakyat. Dia sebagai, pemimpin kaum muslim akan mencegah keserakahan kapitalis global.
Dengan menerapkan hukum kapitalis, umat manusia, khususnya umat Islam, akhirnya tidak pernah keluar dari krisis yang dialami dan tidak pernah lepas menjadi korban dari keserakahan para kapitalis global. Kecuali, dengan berlepas diri dari hukum-hukum sekuler dan kembali kepada hukum-hukum Allah yang akan membawa kebaikan dunia dan akhirat kelak.
Allah berfirman dalam Qu’ran surat Al-A’raf ayat 96,
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.”
Solusi menyeluruh atas sengkarut harga ini adalah keluar dari sistem ekonomi kapitalisme dan menggantikan menjadi sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam sendiri hanya dapat diterapkan melalui bingkai Daulah Khilafah Islam. Jadi, kenaikan harga-harga tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang wajar dengan berbagai alasan pembenar. Semua karena penguasaan kapitalisme juga pemimpin kafir pada perekonomian kaum muslimin.
Wallahu ‘alam Bisshowab.