Oleh. Rahmayani S.Pd
(Peneliti & Praktisi Pendidikan)
Muslimahtimes.com–Beberapa waktu lalu, beranda media sosial di Indonesia sempat dihebohkan dengan viralnya sebuah postingan dari seorang rektor salah satu perguruan tinggi Kalimantan, Prof. Budi Santosa Purwokartiko. Postingannya mendapatkan banyak sorotan publik terkait narasi unggahannya yang dinilai Rasis dan Xenophobic.
Dilansir dari situs fajar.co.id (1/5/2022) dan solopos.com (1/5/22), professor yang asli berasal dari Klaten, Jawa Tengah, ini merupakan alumnus dari beberapa institusi perguruan tinggi terkemuka seperti ITB dan Universitas Oklahoma di Amerika. Dari pengalaman-pengalaman professional akademik yang dimiliki, tak ayal membuat banyak pihak justru mempertanyakan akan kepekaan nya terhadap isu SARA.
Jauh sebelum viralnya kasus professor ddi atas, telah ada beberapa sosok seperti Ade Armando dan Yaqut Cholil Qoumas yang juga pernah menuai kontroversi di media sosial atas postingannya yang dinilai rasis dan sarat islamofobia. Ade yang merupakan dosen komunikasi di Universitas Indonesia dianggap provokatif dan tidak layak menjadi pengajar di universitas ternama tersebut. (wartaekonomi.co.id,7/8/21 & indopolitika.com, 2/8/21)
Demikian halnya dengan Yaqut. Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute, menilai adanya sikap diskriminasi terhadap Islam sebagai agama mayoritas pada pernyataan Menteri Agama tersebut yang menyinggung perkara suara azan. (suara.com, 2/3/22)
Dominasi Keangkuhan Intelektual
Fakta-fakta di atas seakan memberikan gambaran manifestasi dari gagalnya sistem pendidikan sekuler melahirkan sosok intelektual yang memiliki wisdom atau kebijkasaan dalam bertutur kata dan berperilaku. Prestasi akademik, utamanya dalam bidang sains yang terlalu diunggulkan, menghasilkan persepsi bahwa ilmu agama dan hal-hal yang berbau serupa bukanlah sesuatu yang esensial untuk dikuasai. Akibatnya, lahirlah tokoh intelektual budak sains yang menafikkan keberadaan Tuhan, bahkan menjadi skeptis hingga fobia terhadap agama.
Sekularisme Menjangkiti Mentalitas kaum Intelektual
Mentalitas islamophobic dan rasis menjadi sangat wajar tumbuh subur di kalangan para intelektual hari ini, mengingat kita hidup dalam sistem demokrasi sekuler yang begitu mengangungkan kebebasan. Barat yang merupakan induk dan asal sekularisme senantiasa menjadi rujukan para intelektual sehingga tak heran kita dapat menjumpai beberapa alumnus, termasuk di dalamnya segelintir intelektual muslim, menjadikan Barat sebagai kiblat ilmu pengetahuan. Alhasil, para intelektual tersebut justru menjadi corong-corong tersebarnya paham islamofobia di negri yang mayoritas penduduknya bahkan beragama Islam.
Intelektual Darurat Islamofobia
Figur-figur seperti yang disebutkan di atas merupakan representasi kecil dari banyaknya intelektual dengan pemikiran serupa namun belum ter-blowup di media. Dari apa yang mereka timbulkan, telah selayaknya menjadi pelajaran bahwa para intelektual tengah mengalami fase darurat islamofobia. Jika hal seperti ini terus dinormalisasi, tentu akan sangat berbahaya karena akan melahirkan banyak intelektual rasis dan phobia agama.
Berkebalikan dengan sistem yang ada, Islam dengan sistem kehidupannya komprehensif, mampu melahirkan intelektual/ulama yang bukan hanya memiliki wisdom, tetapi juga sebagai orang-orang yang paling besar ketundukan dan ketakutannya pada Tuhan yang Maha Esa. Bebebrapa tokoh besar dalam sejarah seperti Ibnu Khaldun, Al-Khawarizmi, Al-Ghazali, Ibnu Sina, dll., adalah contoh nyata intelektual yang sukses berkontribusi besar pada ilmu pengetahuan tanpa tendesi rasisme dan islamophobia sama sekali. Tentu, Intelektual-intelektual dengan karakter demikianlah yang menjadi harapan umat dalam menghasilkan generasi terbaik, bukan sebaliknya.