Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)
Pernikahan kian berkurang, baik hancur karena perceraian, maupun keengganan laki-laki dan perempuan terikat akad.
***
Beberapa pekan ini kita disuguhi berita seputar pernikahan yang menyulut kegemparan. Ada wanita dicerai hanya dalam waktu delapan hari. Ada mempelai wanita yang ditinggal minggat mempelai pria di pelaminan, seperti kasus di Magetan, Jawa Timur. Ada istri yang membunuh selingkuhan suaminya, seperti kasus di Cikarang, Bekasi, belum lama ini. Ada istri yang menikah lagi, padahal masih punya suami sah, alias poliandri di Cianjur. Ada juga fenomena “jatah mantan” yang trending topicdi jagat maya.
Semua itu menunjukkan fenomena terguncangnya institusi pernikahan, menuju kehancuran sosial masyarakat. Ini tak hanya di Indonesia, tapi dunia. Beberapa tanda kian hancurnya institusi pernikahan secara global, antara lain bisa dilihat dari data-data mengerikan berikut ini:
- Rendahnya Angka Pernikahan
Di berbagai negara, jumlah pasangan yang menikah kian sedikit. Di Amerika Serikat, angka pernikahan mencapai puncak pada 1930-an yaitu rata-rata 16 dari 1.000 penduduk usia nikah. Namun, angka itu terus merosot, bahkan sejak 1970-an turun hingga 50 persen.
Pada 2018, angka pernikahan rata-rata hanya di kisaran 6 dari 1.000 penduduk usia nikah. Kondisi lebih parah terjadi di Korea Selatan, Australia, Inggris, Italia, dan Argentina, di mana rata-rata pernikahan di bawah 6. Bahkan terendah hanya 2 pernikahan dari 1.000 penduduk usia nikah di Bolivia (data.org/marriages-and-divorces).
Tren pernikahan di Indonesia juga terus menurun dalam 10 tahun terakhir. Penurunan tajam pada 2020-2021, yakni saat pandemi. Laporan Statistik Indonesia mencatat ada 1,74 juta pernikahan sepanjang 2021. Jumlah ini menurun 2,8% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 1,79 juta pernikahan (databoks.katadata.co.id)
- Naiknya Usia Menikah
Tanda-tanda institusi pernikahan kian tak diminati adalah usia pernikahan yang kian menua. Di Inggris misalnya, pria baru menikah rata-rata usia 38 tahun pada 2017. Sedangkan wanita usia 35,7 tahun (VIVA.co.id). Di Jepang, rata–rata usia menikah untuk laki–laki 30,5 tahun dan perempuan 28,8 tahun. Kemudian di Australia usia rata-rata pernikahannya 30,6 tahun, yakni pria 31,2 tahun dan perempuan 29,9 tahun. Di Finlandia rata-rata pernikahan dimulai usia 31,7 tahun. Untuk pria, 32,6 tahun, dan perempuan 30,7 tahun. Lalu di Prancis usia rata-rata menikah bagi pria adalah 33,7 tahun dan perempuan 32.0 tahun (diadona.com)
RATA-RATA USIA MENIKAH* | ||
NEGARA | PRIA | WANITA |
Inggris | 38 | 35,7 |
Prancis | 33,7 | 32,0 |
Finlandia | 32,6 | 30,7 |
Australia | 30,6 | 31,2 |
Jepang | 30,5 | 31,2 |
*Sumber: diolah dari laman diadona.com
- Rendahnya Angka Kelahiran Legal dan Maraknya Kelahiran Ilegal
Semakin tinggi usia pernikahan di atas, berefek pada minimnya angka kelahiran yang berdampak pada turunnya angka natalitas. Berbagai negara saat ini mengalami defisit bayi. Meski di negara maju ada berbagai insentif jika melahirkan, nyatanya angka kelahiran terus merosot.
Laman World Bank menyebut, natalitas terendah di Eropa, yaitu hanya 9,2 kelahiran per 1.000 penduduk pada 2019. Negara-negara lain, seperti Singapura, Jepang, Korea Selatan dan bahkan Cina juga mengalami kondisi serupa. Namun sebaliknya, marak kelahiran di luar nikah. Kumparan mengutip, 11 persen remaja di seluruh dunia atau 16 juta perempuan, hamil di luar nikah. Mereka berusia 15-19 tahun. Tentu, kecuali yang aborsi, sebagian besar melahirkan bayi di luar nikah.
- Merebaknya Perzinaan
Data hamil di luar nikah di atas, sekaligus mengonfirmasi betapa maraknya perzinaan di seluruh dunia. Fenomena selingkuh, yaitu pasangan menikah berzina dengan orang lain, banyak datanya. Dilansir dari The Richest dan dikutip idntimes, Thailand adalah negara terbanyak pasangan menikah yang selingkuh, yakni 56 persen. Disusul Jerman dan Italia 45%, Prancis 43%, Norwegia 41%, Belgia 40%, Inggris dan Finlandia 36%.
Sementara Indonesia, merujuk data aplikasi kencan Just Dating, nomor dua di Asia Tenggara sebagai pasangan terbanyak selingkuh setelah Thailand, yakni 40% (popmama.com). Na’udzubillah.
- Maraknya Perceraian di Mana Usia Pernikahan Kian Singkat
Di seluruh dunia, angka perceraian kian meroket pada beberapa dekade ini. Secara global, angka perceraian naik dari 12% pada 1960, menjadi 35% pada 2000 dan meroket menjadi 48% pada 2022. Jadi, kenaikan mencapai 251,8 persen sejak 1960 (unifiedlawyers.com.au).
Usia pernikahan juga kian pendek. Tidak seperti umumnya pernikahan yang berlangsung sampai akhir hayat, kini pernikahan hanya berlangsung dalam jangka waktu yang sangat singkat. Survey Hopes & Fears tentang rata-rata usia pernikahan di beberapa kota besar di seluruh dunia ini bisa jadi acuan.
Dikutip Kompas, pernikahan paling singkat terjadi Qatar. Perceraian di ibu kota Doha mencapai 38 persen, dan lamanya pernikahan rata-rata hanya 5,5 tahun. Di London, Inggris lamanya pernikahan 4-8 tahun. Sydney, Australia 8,7 tahun. Tokyo, Jepang 11 tahun. New York, Amerika 12,2 tahun. Paris, Perancis 13 tahun dan Roma, Italia 15-18 tahun. Jadi, semakin sedikit yang menjaga pernikahan sampai maut memisahkan.
- Maraknya Pernikahan Sejenis
Saat ini perilaku penyimpangan seksual semakin mendapat panggung. Apalagi sudah ada 30 negara yang melegalkan pernikahan sejenis. Bisa dibayangkan, jika fenomena ini tak dihentikan, maka semakin sulit laki-laki menemukan wanita untuk dinikahi, dan sebaliknya. Semakin hancur tatanan sosial karena hilangnya proses reproduksi dan merebaknya penyakit kelamin.
Melihat data-data di atas, tampak betapa rusaknya kehidupan sosial masyarakat dunia akibat penerapan sistem sekuler liberal. Terguncangnya institusi pernikahan jelas membawa dampak buruk bagi eksistensi manusia. Kehidupan sosial kian amburadul oleh perilaku amoral. Mulai seks bebas hingga penyimpangan seksual. Aktivitas pemenuhan kebutuhan biologis kian liar. Proses reproduksi manusia tidak terkendali dalam institusi yang legal. Nasab kian tak jelas. Hamil di luar nikah dan aborsi merajalela. Demikian pula penyakit menular seksual. Na’udzubillah.
Selamatkan dengan Islam
Tak hanya di negeri kufur, kondisi di atas, semakin masif menyerang negeri-negeri muslim. Meskipun mayoritas umat Islam meyakini pentingnya institusi pernikahan dan berusaha untuk menegakkannya, namun, karena terus menerus digempur pola pikir dan gaya hidup liberal, krisis pernikahan itu pun mulai merebak. Tanda-tandanya sudah jelas, seperti fakta-fakta dunia pernikahan yang kian ganjil di atas.
Satu-satunya cara agar umat Islam selamat dari bencana pernikahan adalah tegakkan kembali peradaban Islam. Terapkan hukum sosial pergaulan yang rinci dan sempurna berdasarkan syariat Islam. Tegas larang semua bentuk pacaran, zina, dan penyimpangan seksual. Tegakkan hukuman Islam yang tegas bagi pelanggarnya.
Sebaliknya, perkuat institusi pernikahan dengan sokongan negara. Jaga akidah umat, agar tidak mengikuti perilaku amoral. Jaga pernikahan keluarga muslim dengan menjamin kesejahteraannya, menyediakan lapangan kerja untuk para suami, jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi yang tak mampu serta jaminan keamanan, pendidikan dan kesehatan.
Sungguh, pernikahan adalah institusi terpenting dalam melestarikan peradaban. Bukan hanya tugas individu pelakunya, negara punya tanggung jawab besar untuk melanggengkannya.(*)