Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)
MuslimahTimes.com–3
Akibat pandangan tersebut, banyak yang berpikiran, kelak akan menyekolahkan anak di lingkungan kalangan atas. Tentu saja agar bisa bergaul dengan kalangan mereka dan peluang mendapatkan jodoh juga menjadi lebih besar dari kalangan tersebut. Sebab, pada kenyataannya, peluang mendapatkan jodoh terbesar memang dari circle (lingkaran) yang sama tempat seseorang tinggal, beraktivitas, bergaul atau bersosialisasi. Dan itulah yang kebanyakan dianggap sederajat.
Namun, tentu saja tidak semua orang berjodoh dengan circle-nya. Karena, sekufu (kesederajatan) itu bukan bermakna selevel dalam urusan pendidikan, taraf ekonomi atau kekayaan, wajah, lingkungan pergaulan dan garis keturunan. Bahkan sejatinya, kafa’ah (kesetaraan) tidak menjadi bahasan utama, atau bahkan tidak ada nilainya dalam bab perkawinan di dalam Islam. Tidak dibahas, baik dalam rukun maupun syarat nikah. Hadits-hadits tentang kafa’ah pun dinilai ulama lemah.
Salah satu ulama itu, mujtahid Taqiyuddin An-Nabhani. Dalam kitab an-Nizham al-Ijtima’i fil Islam atau Sistem Pergaulan Islam dijelaskan, setiap wanita yang rida dengan seorang pria untuk menjadi suaminya, maka hendaklah ia dinikahkan. Sebab, pada dasarnya setiap wanita muslimah pantas untuk pria muslim manapun.
Ukuran kepantasan itu adalah keridaan, yaitu saling menerima antara laki-laki dan perempuan. Tanpa paksaan, sesuai ketentuan syariat Islam. Jika tidak ada yang menghalangi, baik syarat maupun rukun pernikahan, dan keduanya telah saling rida menerimanya sebagai pasangan, itu berarti keduanya pantas menikah.
Maka, seorang putri amirul mukminin pantas untuk anak tukang sampah dan putri tukang cukur tetap pantas untuk putera seorang amirul mukminin. Orang Arab pantas menikah dengan orang non-Arab. Orang berwajah tidak menarik, pantas menikah dengan orang ganteng. Lulusan SD pantas-pantas saja menikah dengan profesor.
Bagaimana memunculkan keridaan untuk orang-orang yang dianggap memiliki strata rendah seperti itu? Tentu saja kembali kepada nilai-nilai ketakwaan dan tujuan menikah sebagai ibadah. Iman dan takwa, niscaya menghapus segala bentuk perbedaan sosial di mata manusia. Sebab Allah Swt berfirman yang artinya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu” (TQS: al-Hujurat 49: 13)
Dengan takwa, maka Bilal bin Rabbah yang mantan budak hitam, menikah dengan saudara perempuan Abdurrahman bin Auf, sang konglomerat di eranya. Rasulullah Saw, atas petunjuk Allah, menikahkan sepupunya Zainab binti Jahsyi al-Asadiyah dengan mantan budak beliau, Zaid bin Haritsah yang juga dianggapnya sebagai anak angkat. Dengan takwa, Zainab rida.
Ketika di kemudian hari terjadi perceraian, hal itu bukan karena tidak sederajat, tetapi karena Allah menghendaki, ia kelak diperjodohkan dengan Rasulullah Saw. Sebagai contoh penerapan hukum, bolehnya seorang bapak angkat menikahi mantan istri anak angkatnya. Masyaallah, pernikahan Zainab adalah pernikahan karena syariat.
Walhasil, boleh saja berharap jodoh dari circle atau lingkup pergaulan kita. Tetapi jangan sampai membatasi diri hanya di situ. Jodoh itu ada di dunia luas, maka rida menerima pilihan Allah, siapa pun dia, itulah ikhtiar untuk memantaskan diri. Jika ada yang tidak di circle kita datang menghampiri, tetapi dia orang saleh, boleh jadi itu pilihan Allah untuk menciptakan circle baru dalam hidupmu. Semoga kamu kuat, karena kamu dianggap pantas.
Urusan jodoh benar-benar rahasia Allah Swt. Sebab seperti pepatah, asam di gunung dan garam di laut, bisa bertemu dalam satu belanga. Untuk yang sudah menikah tidak satu circle, memang tak mudah tantangannya. Tapi di situ mungkin pahalanya.(*)