Oleh. Tari Ummu Hamzah
Muslimah times.com- Dunia kerja tidak hanya diisi oleh para pekerja laki-laki, tapi juga pekerja perempuan. Untuk para pekerja perempuan banyak sekali segudang aturan yang mengatur hak-hak mereka ketimbang laki-laki. Mengapa? Sebab pekerja perempuan mengalami masa-masa haid, hamil, serta menyusui. Maka, ada beberapa jenis cuti bagi wanita yang sedang menjalani kondisi tersebut. Akan tetapi cuti-cuti tersebut kini menuai dilema dan kritik. Sebab cuti melahirkan yang awalnya tiga bulan, kini diperpanjang menjadi enam bulan. Sedangkan bagi laki-laki diberikan cuti melahirkan untuk mendampingi istrinya selama 40 hari.
Anggota DPR dari Fraksi PKB, Luluk Nur Hamidah, menuturkan bahwa sudah diambil keputusan bersama dari 7 fraksi yang mendukung untuk dibawa ke tingkat lebih lanjut. RUU ini atau draft ini akan disahkan atau ditetapkan di rapat Paripurna sebagai RUU inisiatif DPR. (detiknews.com)
Sedangkan yang melatarbelakangi keputusan perpanjangan cuti ini adalah banyak fenomena ibu menjadi depresi pasca melahirkan, kenapa? Ada perubahan hormon yang dialami sang ibu sehingga menyebabkan perubahan psikologis sang ibu. Parahnya ditemukan pula banyak kasus kekerasan terhadap bayi dari ibu kandungnya akibat depresi pasca melahirkan. Untuk itu, dibutuhkan waktu bagi ibu untuk menjalin kedekatan serta ASI eksklusif bagi bayi baru lahir. Hal senada juga diungkapkan oleh Puan Maharani, bahkan dia meminta masyarakat untuk ikut mendukung kebijakan ini. (detiknews.com)
Itu latar belakang dari sisi kesehatan mental sang ibu, sedangkan dari sisi kesehatan ibu dan bayi, dr Hasto Wardoyo, SpOG menyatakan bahwa dirinya mengungkapkan fakta bahwa di Indonesia kematian ibu dan bayi juga cukup tinggi, dan angka kelahiran prematur juga tinggi. Hal ini karena tidak sukses mengawal kehamilan dan kelahiran 1.000 hari pertama. Kenapa? Sebab ketika ibu mengandung mereka mengalami stres kerja.
Lalu bagaimana dari sisi pengusaha?
Ketua Umum DPD HIPPI DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, dalam keterangannya, Kamis (23/6/2022) kepada pers, mengatakan agar pelaku usaha melakukan kajian terhadap perpanjangan masa cuti.
Meskipun ada kajian soal cuti, pengusaha mengaku dilema. Sebab perpanjangan cuti akan berpengaruh pada produktivitas, status pekerja, serta kemampuan pengusaha dalam memberikan gaji selama cuti.
Sebenernya pangkal dari berbagai masalah di atas bermula ketika penguasa tidak memberikan jaminan kesejahteraan bagi rakyatnya. Impitan ekonomi membuat rakyat terpaksa memikirkan nasib mereka sendiri. Setiap hari harus berlomba bertahan hidup. Bahkan para wanita hamil yang notabene harusnya di rumah, terpaksa turun tangan untuk membantu perekonomian keluarga. Mau cuti berapa lama pun jika penguasa tidak memberikan jaminan kesejahteraan bagi rakyat maka polemik akan terus terjadi.
Sebab sejatinya dalam era kapitalis ini, rakyat selalu menjadi korban penguasa dan pengusaha. Maka, jelas ujung-ujungnya rakyatlah yang harus menderita terimpit kondisi ekonomi serta menanggung beban kehidupannya.
Lalu bagaimana Islam memandang hukum wanita bekerja?
Sesungguhnya peradaban Islam tidak dibangun atas maskulinitas dari kaum laki-laki saja, tetapi juga banyak dari kaum wanita yang ahli dalam bidang tertentu juga memberikan andil dalam kemajuan zaman. Sebab hukum wanita bekerja dalam Islam itu adalah mubah. Selama dia mendapatkan izin dari walinya, maka dipersilakan untuk bekerja. Tapi yang harus menjadi catatan adalah, ada baiknya jika wanita bekerja adalah mereka yang mengimplementasikan keilmuannya, seperti dokter, bidan, perawat, guru, para professional dalam bidang tertentu.
Sehingga jelas jika dia bekerja adalah berlomba-lomba memberikan banyak manfaat bagi masyarakat bukan karena eksistensi mengejar karier, sehingga mereka gila akan kedudukan, atau mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya. Sekali lagi tidak!
Akan tetapi meskipun wanita bekerja, kesejahteraan dalam berbagai bidang, tetap penguasalah yang harus berperan penuh dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya. Agar para wanita yang sedang hamil dan menyusui tak harus keluar rumah untuk bekerja.
Dalam sistem Islam, negaralah yang akan menjadi pelayan rakyatnya. Memiliki peran dan wewenang penuh untuk mengurusi rakyatnya. Tentunya ini semua akan terwujud jika Islam dijadikan sebagai institusi negara. Karena hanya dalam institusi negara saja Islam mampu diterapkan secara sempurna.