Oleh. Sherly Agustina, M.Ag.
(Penulis dan Pemerhati Kebijakan Publik)
Muslimahtimes.com–“Perilaku korupsi memiliki formula yang umum terjadi. Seseorang akan mudah melakukan korupsi karena adanya kekuasaan ditambah kesempatan serta didukung oleh rendahnya integritas. “ (Komjen Pol. Firli Bahuri, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK)
Lagi, terjadi korupsi kali ini di institusi perguruan tinggi. Tempat yang seharusnya menimba ilmu dan memberi contoh yang baik agar terwujud generasi intelektual yang berkualitas tercoreng dengan oknum rektor. Berita yang beredar ramai di jagad maya.
Dilansir dari Kompas.com, (22/8/2022), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Rektor Universitas Lampung (Unila), Prof. Karomani, karena menerima suap dalam proses penerimaan mahasiswa baru (PMB) lewat jalur mandiri tahun 2022. Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, mengatakan bahwa tarif yang dikenakan Rektor Unila Prof. Karomani untuk meluluskan calon mahasiswa baru tahun 2022 lewat jalur mandiri Rp100 juta sampai Rp350 juta.
Harga yang sangat fantastis, mahasiswa ketika masuk kampus saja sudah diajarkan tidak jujur, menyuap dan korupsi. Jika demikian, mau dibawa ke mana arah pendidikan negeri ini? Dengan adanya kasus ini, Ketua Forum Rektor Indonesia Prof. Panut Mulyono angkat suara. Kalau memang benar apa yang dilakukan oleh Karomani, maka perbuatannya telah mencederai rasa keadilan masyarakat dan dunia pendidikan yang secara bersama-sama dibangun untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penyebab Korupsi Sistemis
Menurut Prof. Panut Mulyono, perlu adanya evaluasi dan perbaikan terhadap sistem penerimaan mahasiswa baru yang sudah berjalan. Mengapa korupsi menggejala di kalangan para pejabat tak luput pula pejabat pendidikan? Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, Komjen Pol. Firli Bahuri, menjabarkan setidaknya ada enam penyebab seseorang bisa terseret kasus korupsi berdasarkan literatur.
Pertama, faktor keserakahan. Fakta menunjukkan, para koruptor rata-rata tidak ada yang kekurangan. Rumah dan kendaraan mereka lebih dari satu, bahkan istri juga.
Kedua, adanya kesempatan. Kesempatan ini erat kaitannya dengan kekuasaan. Sulit bagi seseorang melakukan korupsi kalau tidak punya kesempatan. Sementara kesempatan akan ada jika ia memiliki kekuasaan.
Ketiga, kebutuhan. Namun, bukan untuk kebutuhan hidup. Melainkan untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup. Seberapa tinggi pendapatannya, tidak akan pernah cukup kalau digunakan untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup.
Keempat, rendahnya ancaman hukuman yang diterima. Pelaku korup sudah menghitung, jika korupsi segini ancamannya 5 tahun. Nanti divonis 2 tahun, dapat remisi 6 bulan, lalu bebas karena 17 Agutus, misalnya. Itu yang menyebabkan orang melakukan korupsi karena hukumannya rendah.
Kelima, gagalnya sistem sehingga membuat orang berpeluang korupsi.
Keenam, lemahnya integritas. Faktor integritas bisa meningkat dan menurun, memiliki integritas tinggi juga bisa terjerembap ke kasus korupsi.
Menarik apa yang disampaikan Prof. Panut Mulyono di atas, terutama gagalnya sistem yang membuat orang berpeluang melakukan korupsi. Benar, sistem yang ada saat ini memisahkan aturan agama dalam kehidupan sehingga tak ada kontrol masyarakat dan negara. Dosa dan maksiat terserah individu masing-masing. Negara tak ikut campur terhadap apa yang dilakukan warga negaranya.
Korupsi hanyalah salah satu efek negatif jika aturan manusia yang serba lemah dan terbatas dipakai dalam kehidupan. Sekularisme yang diterapkan di negeri ini telah membawa dampak yang besar. Mengikis akidah dengan meremehkan kemaksiatan dan kezaliman sekalipun di institusi pendidikan. Menggerus moral dengan dalih apa pun yang tak dibenarkan agama dan kemanusiaan. Menghancurkan integritas pendidik dan pejabat pendidikan, memberi contoh buruk yang tidak layak ditiru.
Tak Ada Celah Korupsi dalam Islam
Sejatinya masalah demi masalah yang ada semakin membuat umat rindu pada aturan yang shahih dalam kehidupan. Aturan yang hanya membawa kesejahteraan, keadilan, kenyamanan dan keamanan. Tentu aturan itu bukan dari manusia, tapi dari Sang Pencipta manusia dan alam semesta. Karena Sang Pencipta lah yang lebih tahu apa yang terbaik bagi ciptaan-Nya.
Islam sebagai sistem kehidupan memiliki aturan yang sempurna, pendidikan adalah kebutuhan kolektif yang menjadi hak warga negara secara gratis. Tak ada warga yang kesulitan untuk menimba ilmu dan masuk ke lembaga pendidikan mana pun. Gratis bukan berati tak berkualitas, kita lihat bagaimana para ulama yang dulu lahir dari peradaban Islam. Nama mereka harum dikenang sejarah, bahkan menjadi sumber rujukan dunia. Teori kedokteran Ibnu Sina misalnya, banyak yang menggunakannya.
Kebutuhan pokok warga negara menjadi tanggung jawab negara secara tidak langsung. Negara menjamin lahan pekerjaan, memberikan modal bagi yang membutuhkan, membekali skill bagi siapa saja yang membutuhkan, sehingga setiap kepala keluarga bisa menunaikan kewajibannya. Pendidikan dan kesehatan dijamin negara, tidak pusing seperti saat ini. Kepala keluarga selain harus mencukupi kebutuha pokok keluarga juga harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk biaya pendidikan dan kesehatan.
Apalagi di tengah harga bahan pokok yang kian meroket, pajak yang mencekik. Tapi dituntut untuk bisa bertahan seperti teori “Siapa yang kuat dia akan bertahan”. Namun, bisakah rakyat terus kuat dalam sistem zalim saat ini?
Dalam Islam, gaji pegawai negara di bidang apa pun dijamin oleh negara. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, guru digaji sebesar 15 dinar. Jika 1 dinar sama dengan 4,25 gram emas dan harga emas pada hari ini 800 ribu rupiah per gram-nya maka gaji guru di era Khalifah Umar setara dengan 51 juta rupiah saat ini.
Semua sudah terjamin, tak ada celah korupsi. Karena benteng utama kontrol keimanan individu senantiasa berjalan dengan terus adanya penguatan akidah. Kontrol masyarakat pun berjalan dengan adanya aktivitas amar makruf nahi mungkar. Ditambah kontrol negara yang paripurna agar warga negara tetap terikat dengan aturan Islam. Sudah seharusnya mengganti sistem yang rusak dengan yang sahih, yaitu Islam.
Allah Swt. berfirman dalam surat Al Maidah ayat 50, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Allahualam bishawab.