Oleh. Lesa Mirzani, S.Pd
Muslimahtimes.com–Sebanyak 23 narapidana koruptor mendapatkan remisi bebas bersyarat. Para koruptor mendapat pemangkasan masa hukuman menjadi lebih pendek karena di potong remisi. Remisi koruptor diberikan kepada narapidana koruptor apabila mereka telah memenuhi syarat – syarat yang telah ditentukan. Indonesian Corruption Watch (ICW) tidak habis pikir 23 koruptor mendapat remisi hingga akhirnya bebas bersyarat. ICW menyebut pemberian remisi itu semakin menunjukkan kejahatn korupsi adalah kejahatan biasa.
Koordinator ICW, Adnan, menyebut bahwa pemberian sanksi kepada koruptor itu tidak masuk akal. Dia menyoroti mantan jaksa Pinagki Sirna Malasari yang baru duat tahun dipenjara kini bebas bersyarat. Padahal kasus korupsi yang menjeratnya tergolong besar. Atas keputusan penegak hukum di negeri ini, Lalola Easter menganjurkan kejaksaan dan KPK bisa mengajukan penuntutan terhadap terdakwa korupsi, selain pidana penjara dan uang pengganti juga mencabut hak – hak terpidana korupsi untuk mendapat remisi dan pembebasan bersyarat, pengecualian bagi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kasus korupsi.
Polemik semakin besar ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) membolehkan eks narapidana korupsi mendaftar sebagai calon anggota legislatif (Caleg) dalam pemilu 2024. Keputusan tersebut tercantum dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 46P/HUM/2018. Semua kondisi ini menunjukan bahwa penegakan hukum atas pelaku korupsi sangat lemah, pasalnya koruptor dibebaskan bersyarat tanpa penjelasan yang cukup ke publik walaupun berdalih sudah sesuai aturan yang jelas. Selain itu, mantan koruptor juga masih diperbolehkan lagi untuk mencalonkan diri dalam pemilihan umum selanjutnya. Aturan ini semakin mempertegas bahwa sistem ini sangat ramah pada koruptor dan menyuburkan korupsi.
Dalam sistem demokrasi sekuler ini memang wajar terjadi hal seperti ini karena aturan yang di pakai adalah pemisahan agama dari kehidupan sehingga aturannya pun dibuat oleh manusia itu sendiri, jauh dari nilai- nilai agama. Aturan tersebut dibuat hanya untuk meraih keuntungan materi semata yaitu melalui kedudukan dan kekuasaan sebab mereka mengetahiu bahwa politik demokrasi tidak murah perlu biaya iklan dan sogokan untuk mengambil hati dan suara rakyat. Dan rata – rata mereka disokong oleh para pemilik modal yang berharap mendapat keuntungan setelah mereka menjabat. Tidak heran jika politik demokrasi membuka ruang untuk penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan serta memunculkan perilaku korupsi.
Masalah seperti ini memang sudah biasa terjadi pada saat ini sehingga sulit untuk diselesaikan, karena memang sistemnya yang menyuburkan kondisi itu terjadi. Berbeda dengan sistem politik dalam Khilafah yang menjadikan syariat Islam kaffah sebagai satu – satunya sumber hukum dalam megeluarkan kebijakan. Syariat Islam kaffah ini menunjukan cara mencegah dan mengatasi korupsi, yaitu:
Pertama, sistem penggajian yang layak. Bagi setiap aparat pemerintahan dalam Khilafah akan mendapat gaji dan tunjangan yang layak sesuai kebutuhannya. Memang gaji besar tidak menjamin seseorang tidak melakukan korupsi, akan tetapi setidaknya rendahnya gaji bukan lagi menjadi pemicu masalah korupsi.
Kedua, larangan menerima suap dan hadiah karena hadiah dan suap yang diberikan kepada aparat pemerintah mengandung maksud tertentu yaitu agar aparat pemerintah berpihak pada pemberi hadiah. Pemberian hadiah akan merusak mental aparat pemerintah karena aparat nantinya tidak akan bekerja sebagaimana mestinya. Di bidang peradilan hukum ditegakkan secara tidak adil atau cenderung kepada pihak yang memberikan hadiah dan suap.
Ketiga, perhitungan kekayaan. Orang yang melakukan korupsi tentu memiliki kekayaan yang bertambah dengan cepat. Meski orang yang cepat kaya belum tentu karena korupsi, akan tetapi perhitungan kekayaan dan pembuktian terbaik sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar r.a sebagai cara untuk mencegah terjadinya korupsi.
Keempat adalah teladan pemimpin. Seorang pemimpin akan melakukan tugas negara dengan amanah jika didorong dengan ketakwaan kepada Allah Swt karena dia yakin bahwa Allah Swt akan melihat segala aktivitasnya dan akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Ketakawaan inilah yang ditanamkan oleh Khilafah kepada seluruh pegawai negara tanpa terkecuali.
Kelima adalah hukuman setimpal. Hakikatnya seseorang akan takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya termasuk jika melakukan korupsi akan diberlakukan sanksi yang setimpal. Khilafah menerapkan hukum sanksi berdasarkan aturan Islam kepada koruptor yang berfungsi sebagai pencegah dengan hukuman berupa penyitaan harta, denda, penjara bahkan hukuman mati. Hukum sanksi dalam Islam juga berfungsi sebagai penebus dosa.
Keenam adalah pengawasan. Masyarakat melakukan amar makruf nahi mungkar.
Demikianlah cara sistem Islam, Khilafah, dalam memberantas korupsi.