Oleh. Yulida Hasanah
(Aktivis Muslimah)
Muslimahtimes.com–Dikutip dari laman Bisnis.com, harga sejumlah komoditas pangan terpantau mengalami kenaikan pada hari Minggu, 9 Oktober 2022. Kenaikan harga terjadi pada bawang merah, bawang putih, dan daging ayam. Hal ini sesuai dengan perhitungan dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN) pada Minggu (9/10/2022) pukul 10.30 WIB, harga bawang merah naik 0,43 persen dibanding kemarin jadi Rp35.300 per kilogram (kg), bawang putih naik 0,18 persen jadi Rp28.400 per kg, dan daging ayam ras naik 0,29 persen jadi Rp34.050 per kg. Termasuk juga harga beras kualitas medium II juga naik 0,42 persen jadi Rp12.000 per kg. Kemudian, harga daging sapi kualitas 2 naik 0,27 persen jadi Rp128.150 per kg, sedangkan harga cabai merah keriting naik 0,59 persen jadi Rp51.550 per kg.
Meskipun ada beberapa komoditas pangan yang turun harga, namun itu merupakan komoditas yang jarang dicari oleh kebanyakan rakyat menengah ke bawah yang jumlahnya juga mayoritas di negeri ini. Misalnya, daging sapi, gula pasir kualitas premium, dan yang semisal.
Sementara itu, di tengah naiknya komoditas pangan dan kebutuhan lainnya, seperti BBM, gas, dan tarif listrik, kondisi upah kaum buruh dalam negeri tak kunjung ada kenaikan. Padahal, pasca kenaikan BBM, kenaikan biaya transportasi diikuti oleh kenaikan sembako yang tak terkendali, menjadi dampak nyata yang langsung dirasakan oleh rakyat. Mirisnya lagi, rencana kenaikan upah bagi buruh yang tak jadi naik tahun ini, justru menambah tumpukan beban yang harus mereka pikul sendiri.
Sebagaimana diketahui, hampir 80 persen rakyat Indonesia adalah buruh. Dan kondisi buruh makin tak tentu setelah disahkannya Undang-undang Cipta Kerja. Lahirnya Omnibus law yang akan memangkas kepentingan buruh terkait upah, PHK dan kepastian bekerja mereka lebih tidak terjamin karena adanya sistem kontrak kerja PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu).
Di sisi lain, di tengah impitan hidup yang makin mencekik. Ditambah lagi dengan regulasi pemerintah yang tak merakyat, bahkan cenderung ‘memihak’ kaum kapital demi mendapatkan keuntungan pribadi, membuat rakyat terutama kaum buruh makin gerah. Hal inilah yang mendorong kaum buruh untuk terjun ke jalan, kembali menuntut aspirasi mereka yang tak kunjung diaminkan.
“Aksi 50.000 buruh di istana dan serempak di semua provinsi pada Rabu, 12 Oktober 2022 jam 10.00 WIB-selesai,” tertulis dalam poster yang dikirimkan Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, melalui pesan pendek pada Senin, 10 Oktober 2022. Sementara itu, massa dari elemen buruh mulai padati kawasan Patung Arjuna Wijaya atau Patung Kuda, Jakarta Pusat, untuk melangsungkan aksi unjuk rasa pada Senin (10/10/2022) siang. Mereka menyatakan sikap menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), turunkan harga sembako hingga menolak pengesahan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja.
Merupakan aksi yang wajar dilakukan demi memperjuangkan kehidupan yang layak bagi rakyat, khususnya kaum buruh. Aksi ini tak lain merupakan asap yang muncul karena adanya api yang dinyalakan. Dan api tersebut adalah kebijakan-kebijakan pemerintah yang nihil empati terhadap kondisi kesejahteraan rakyatnya.
Kebijakan Nihil Empati, Lahir dari Sistem Politik Demokrasi
Berbicara tentang sistem politik demokrasi. Tak lepas dari ruh yang menjadi asas atasnya, yakni sekularisme. Tak hanya menjadi sistem politik yang menjadikan ‘suara rakyat sebagai suara Tuhan’ , namun suara rakyat tersebut nyatanya telah diwakili oleh pejabat-pejabat elite politik yang duduk di kursi legislasi. Apapun yang bisa menjadikan mereka bahagia, sejahtera, bahkan kaya raya akan diperjuangkan menjadi sebuah kebijakan yang harus diterima oleh rakyat yang ada di bawah mereka. Meskipun rakyat harus menanggung beban berat dari berbagai kebijakan sepihak tanpa persetujuan rakyat. Maka, wajar juga jika banyak pihak yang bertanya, inikah yang disebut wakil rakyat dalam sistem demokrasi?
Pada dasarnya, secara asasi demokrasi itu sendiri merupakan sistem politik yang tak memiliki jaminan mampu menyejahterakan rakyat. Mengapa? Sebab, slogan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah omong kosong tanpa bukti. Apalagi biaya demokrasi itu amat sangat mahal. Para elite politik yang telah sukses duduk di kursi jabatannya hari ini tentu tak mau merugi. Terlebih, tujuan politik demokrasi bukanlah mengurusi urusan umat, melainkan mengurusi urusan atau kepentingan pihak-pihak yang telah membayar mahal biaya politik mereka, yakni para kapitalis, pemilik modal, pemegang kekuasaan/kebijakan yang sesungguhnya.
Rakyat pada hakikatnya juga telah muak dengan janji-janji politik demokrasi hari ini. Dan mereka menginginkan sebuah perubahan kondisi hidup yang layak dan jelas jauh lebih baik dari hari ini. Dan tentu saja, hal ini takkan bisa tercapai tanpa adanya perubahan sistem yang juga layak untuk mereka dan jauh lebih baik.
Islam Way Of life, Melahirkan Sistem Politik Terbaik!
Islam bukan sekadar sebuah keyakinan tanpa aturan kehidupan. Islam adalah sebuah jalan hidup yang mengantarkan siapapun yang berjalan dengannya pada sebuah kelayakan hidup dan pastinya kebahagiaan dalam hidup.
Dalam Islam, politik dilaksanakan oleh negara dan rakyat. Negara secara langsung melakukan pengaturan ini dengan hukum-hukum Islam. Rakyat mengawasi, mengoreksi dan meluruskan negara jika menyimpang dari Islam. Gambaran ini diungkapkan oleh Ibnu Qutaibah, “Perumpamaan antara Islam, kekuasaan dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang dan tali pengikat serta pasaknya. Tenda besarnya adalah Islam. Tiangnya adalah kekuasaan. Tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya.”
Keberadaan tiang (kekuasaan/negara), tali dan pasak (rakyat) adalah sebagai penopang untuk menegakkan tenda (Islam). Jika tenda (Islam) tegak, maka dia akan menaungi siapa saja yang berada di bawahnya, tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lainnya.
Tak heran jika dalam Islam, pemimpin itu akan memperhatikan segala urusan rakyatnya. Pemimpin itu begitu berat jika ada satu saja rakyatnya yang merasakan sengasara karena kepemimpinannya. Sebab tujuan politik dalam Islam adalah mengurusi urusan rakyat. Menjadikan skala prioritas terhadap kepentingan rakyatnya. Maka wajar pula, jika pemimpin dalam Islam itu sangat dicintai rakyatnya. Tanpa ada pencitraan darinya.
Kebijakan-kebijakan politik sesuai dengan pemenuhan kemaslahatan rakyat, bukan kemaslahatan kelompok tertentu. Inilah mengapa, sejarah perjalanan politik Islam menjadi sejarah paling gemilang selama berabad-abad lamanya. Prestasi penerapan Islam sebagai sistem pemerintahan telah terbukti menyejahterakan semua rakyatnya tanpa melihat apakah mereka dari kalangan muslim atau ahlu dzimmah. Wallaahua’lam.