Oleh. Intan H.A
(Pegiat Literasi)
MuslimahTimes.com – Anak merupakan sumber kebahagiaan bagi para orang tuanya. Di mana saat orang tua lelah bekerja seharian, semua peluh yang dirasakan sirna manakala melihat anaknya tumbuh sehat, ceria, dan tak kurang suatu apapun. Namun, tatkala sang anak murung, sedih, bahkan sakit, maka orang tualah sosok pertama kali yang akan merasakan kesedihan mendalam yang dirasakan sang anak.
Akhir-akhir ini penyakit gagal ginjal akut yang menyerang ratusan anak di beberapa wilayah menjadi momok menakutkan bagi para orang tua. Pasalnya, penyakit ini sudah merenggut ratusan nyawa anak-anak. Pemerintah menyatakan penyakit ini berkaitan dengan cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada obat sirup.
Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin menyebutkan, 7 dari 10 pasien gagal ginjal di Indonesia yang dilakukan analisis toksikologi menunjukkan bahwa darahnya mengandung zat kimia berbahaya yang terkandung dalam obat sirup. Selain itu, seluruh pasien yang dinyatakan meninggal dunia juga menunjukkan ciri-ciri kerusakan ginjal akibat zat berbahaya tersebut.
Berdasarkan penjelasan dari dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Yeni Farida, etilen glikol dan dietilen glikol adalah alkohol, dalam bentuk cairan tak berwarna, agak kental, punya bau menyenangkan serta rasa manis, dan fungsinya sebagai pelarut.
Dietilen glikol dapat segera diserap dan didistribusikan di dalam tubuh setelah dikonsumsi. Metabolisme utamanya terjadi di hati, lalu dieliminasi dengan cepat melalui ginjal, baik zat utama ataupun metabolitnya yaitu asam 2-hidroksietoksiasetat (HEAA). (detik.com, 20/10/2022)
Hingga Senin (24/10/2022) Kemenkes mencatat, kasus gangguan ginjal akut telah mencapai 245 kasus di 26 provinsi dengan angka kematian di atas 57%. Angka kematian tersebut menunjukkan kenaikan, di mana pada Jumat (21/10/2022) lalu, jumlah kematian yang tercatat baru 133 pasien dengan fatality rate 55%. (cnbcindonesia.com, 25/10/2022)
Dengan adanya pengalaman wabah Covid-19 sebelumnya, seyogianya pemerintah mengambil tindakan cepat tanggap untuk menangani penyebaran penyakit ini. Sehingga mampu menekan jumlah korban yang semakin berjatuhan. Terlebih, korbannya saat ini banyak dari kalangan anak-anak, maka penting bagi pemerintah untuk segera mungkin melakukan tindakan tegas mencegah penyebaran obat sirup yang diindikasi menjadi pemicu munculnya penyakit gagal ginjal akut ini.
Penyakit gagal ginjal akut bukanlah kali pertama ini muncul di dunia, dijelaskan dalam artikel bertajuk Acute Kidney Injury: Definition Pathophysiology, and Clinical Phenotypes yang dimuat dalam NCBI. Istilah AKI, gagal ginjal akut merupakan pengganti istilah untuk ARF (acute renal failure). Pada awal abad ke-20, ARF disebut sebagai acute Bright’s disease, dimana penyakit ini diakibatkan dari agen toksik, kehamilan, luka bakar, trauma, atau operasi pada ginjal. Selama Perang Dunia l, gagal ginjal akut disebut sebagai war nephritis dan dilaporkan dalam sejumlah publikasi. Namun, penyakit ini dilupakan sampai perang Dunia II dimana sebuah studi dilakukan mengenai penyakit ini.
Gagal ginjal akut adalah kondisi menurunnya fungsi ginjal dengan cepat dan tiba-tiba. Kondisi ini menyebabkan di mana ginjal tidak mampu menghasilkan urine yang sebenarnya sarana membuang racun dalam tubuh. Dari sinilah muncul komplikasi lainnya seperti asidosis metabolik, kadar kalium tinggi, uremia, perubahan keseimbangan cairan tubuh, dan efek pada sistem organ lain hingga kematian. Penyakit ini rentan menyerang anak-anak pada usia 0-18 tahun, penderitanya memiliki riwayat demam atau gejala infeksi lain dalam waktu 14 hari.
Kesehatan dalam Sistem Kapitalis vs Sistem Islam
“Sudah jatuh tertimpa tangga pula“, ungkapan peribahasa ini sangatlah cocok menggambarkan kondisi saat ini. Belum jua pandemi Covid-19 benar-benar sirna. Kini, masyarakat dihantui dengan penyebaran penyakit baru yang menyerang anak-anak, gagal ginjal akut. Penyelesaian masalah ini bak benang kusut yang sulit diuraikan, hal ini tidaklah terlepas daripada sistem yang mencengkeram. Penyelenggaraan kesehatan dalam sistem kapitalisme masih menitikberatkan aspek kuratif (pengobatan) dibandingkan sistem preventif (pencegahan).
Dalam kacamata sistem kapitalisme, industri kesehatan merupakan bisnis yang terlampau menggiurkan untuk dilewatkan begitu saja. Hasil dari diterapkannya sistem kapitalisme dalam seluruh bidang kehidupan menyebabkan kesehatan yang dulunya merupakan bidang kehidupan mulia memasuki kancah barunya, sebagai komoditas materialistik. Belum lagi permainan para kapitalis di tingkat riset obat yang mengedepankan profit dan monopoli atas nama hak paten. Atas dasar inilah penciptaan obat tidak lagi mengedepankan kesembuhan untuk pasien, tapi lebih untuk mendapatkan pundi-pundi harta berlimpah. Yang di mana dampaknya kemudian dirasakan oleh masyarakat, mereka harus merogoh kocek sangat dalam untuk mendapatkan obat bermutu.
Beda sistem beda pula konsep penanganannya. Sistem Islam dalam penyelenggaraan kesehatan memiliki konsep yang sangat jauh berbeda dengan sistem kapitalisme. Sistem Islam lebih mengedepankan aspek preventif (pencegahan) daripada kuratif (pengobatan). Hal ini sebagaimana firman Allah:
“Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.” (TQS. Al-Maidah: 32)
Model konsep preventif yang dihadirkan dalam Islam dengan cara memperbaiki sanitasi lingkungan, pengadaan sarana olahraga dan pembiasaan pola hidup bersih, menghapuskan sumber-sumber penyakit seperti meniadakan pabrik-pabrik yang memproduksi minuman-minuman yang mengandung zat-zat berbahaya bagi tubuh, dan sebagainya. Selain itu yang tak kalah penting adalah pengadaan pangan yang bergizi dan bermutu tinggi seraya menghapus sarana dan kebiasaan mengonsumsi makanan yang berbahaya bagi tubuh di tengah-tengah masyarakat.
Hal ini juga didukung dengan tradisi riset di bidang kedokteran yang sangat dihargai di dunia kesehatan Islam. Tidak luput juga rumah sakit-rumah sakit pun dilengkapi dengan tes-tes kompetensi, aturan kemurnian obat, kebersihan dan kesegaran udara, sampai pemisahan pasien dengan penyakit-penyakit tertentu.
Kompetensi tenaga medis juga sangat diperhatikan di dalam peradaban Islam. Semua rumah sakit dunia dilengkapi dengan tes-tes kompetensi bagi para dokter dan perawatnya. Tenaga kesehatan secara teratur diuji kompetensinya. Dokter Khalifah menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai pendidikan atau keahliannya. Kalau ada pasien yang meninggal, maka catatan medis sang dokter akan diperiksa oleh suatu dewan dokter untuk menguji apakah yang dilakukannya sudah sesuai layanan medis atau tidak.
Inilah bentuk penyelenggaraan di bidang kesehatan yang diupayakan dalam sistem sistem Islam bagi rakyatnya. Problem yang sangat kompleks dalam urusan kesehatan saat ini hanya akan mampu ditangani oleh sebuah institusi negara yang kuat yang pro terhadap kepentingan umat, bukan kepentingan pemodal. Kemampuan sistem Islam dalam naungan institusi Khilafah dalam menangani permasalahan kehidupan salah satunya yakni masalah kesehatan, tidak diragukan lagi dalam kancah kehidupan. Dimana Islam sempat mengalami kegemilangannya di bidang kesehatan kala itu. Di saat peradaban Eropa masih bergelut dengan dunia sihir dan mistis, peradaban Islam telah mampu melahirkan para ilmuwan, tenaga medis, dan rumah sakit-rumah sakit yang keunggulannya tidak dimiliki oleh peradaban mana pun selain Islam.
Wallahua’lam.[]