Oleh. Prita HW, S.Sos., CNLPBP.*
Muslimahtimes— Tren pendidikan vokasi terus mengemuka akhir-akhir ini. Bulan lalu, seperti yang dilansir dari kumparan.com, Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, menyatakan terdapat 144 juta orang atau sekitar 70 persen pekerja merupakan kategori usia produktif yang pada masa purna kerjanya akan sejahtera. Masih menurutnya, ini akan menjadi hal potensial guna mempercepat laju pembangunan ekonomi. Sejahtera akan bisa tercapai sebelum masa pensiun tiba bila dari sekarang, pekerja produktif dipersiapkan dengan baik.
Karena itu, telah diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi oleh Presiden Jokowi yang menyebutkan bahwa Kemnaker dan Kemendikbud Ristek ditugasi menaungi pendidikan vokasi. Menurut Airlangga, memang sudah seharusnya pendidikan maupun pelatihan vokasi perlu saling melengkapi kebutuhan industri. Diperkuat oleh para pelaku industri dan disosialisasikan lebih masif sehingga ke depan industri bisa swadaya membiayai pelatihan tenaga kerjanya atau mendirikan vokasi.
Menilik Tujuan Pendidikan Vokasi Sebenarnya
Apa yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di atas memang sejalan dengan pengertian pendidikan vokasi secara umum yang banyak disampaikan dalam berbagai referensi. Seperti yang dungkapkan oleh Sudira, 2012, pendidikan dan pelatihan vokasi merupakan model pendidikan yang menitik beratkan pada keterampilan individu, kecakapan, pengertian, perilaku, sikap, kebiasaan kerja, dan apresiasi terhadap pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia usaha/industri yang bermitra dengan masyarakat usaha dan industri dalam kontrak dengan lembaga-lembaga asosiasi profesi serta berbasis produktif.
Begitu juga menurut Pavlova (dalam Sukoco, 2019), tradisi dari pendidikan vokasi ialah menyiapkan peserta didik untuk bekerja, sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan vokasi adalah pendidikan yang menyiapkan terbentuknya keterampilan, kecakapan, pengertian, perilaku, sikap, kebiasaan kerja, dan apresiasi terhadap pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkan oleh segenap masyarakat dunia usaha/industri diawasi oleh masyarakat dan pemerintah, atau dalam sebuah kontrak dengan lembaga serta berbasis produktif.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa memang tujuan awal diselenggarakannya pendidikan vokasi hanyalah untuk mencetak tenaga kerja teknis, bukan para ahli yang komprehensif dalam pengetahuan serta skills set yang dimilikinya. Sehingga, tak heran, mindset buruh atau tukang erat melekat pada masyarakat kita.
Seperti halnya paradigma yang selama ini merasuki pikiran kebanyakan orang, sejak kapan gaji buruh yang notabene tenaga teknis bisa tinggi? Alih-alih mencapai kondisi sejahtera. Sedangkan ukuran kesejahteraan tentu juga relatif, berdasarkan standar siapa. Sedangkan disebutkan oleh Anto, 2009 dalam republika.co.id, upaya untuk mencoba mengukur kesejahteraan masyarakat jamak dilakukan dan metodenya terus berevolusi. Artinya, definisi kesejahteraan pun berubah begitu dinamis menurut standar manusia yang serba terbatas.
Model yang paling sederhana dan paling klasik adalah kesejahteraan yang diukur dengan indikator ekonomi. Kepentingan bersama dianggap sebagai tingkat pertumbuhan ekonomi (PDB) dan pertumbuhan pendapatan per kapita. PDB yang tinggi berarti tingkat produksi barang dan jasa yang tinggi, yang mempengaruhi tingkat konsumsi dan kekayaan materi masyarakat. Indikator ekonomi ini diukur secara obyektif dengan menggunakan pendekatan moneter (indikator mata uang). Kritik utama dari sistem pengukuran ini adalah masalah kemiskinan dan distribusi pendapatan.
Hanya dengan Pendidikan Vokasi, Ada Jaminan Sejahtera?
Sebenarnya jawaban dari pertanyaan hanya dengan pendidikan vokasi, adakah jaminan sejahtera, bisa dikatakan pertanyaan retoris. Faktanya, sejahtera bukan hanya diukur dari faktor gaji semata. Apalagi gaji yang juga merupakan pendapatan utama sebagian besar masyarakat digunkana pula untuk memenuhi kebutuhan dasar yang mestinya diurusi oleh negara, seperti halnya pendidikan dan kesehatan. Yang makin lama bukannya makin bisa dijangkau, tapi berkebalikan dari itu, makin sulit diakses oleh kalangan menengah dan menengah ke bawah. Apabila di satu sisi juga terdapat janji kenaikan UMP, tentu ini juga tidak serta-merta menyelesaikan permasalahan tingkat kesejahteraan masyarakat. Sebab, kalangan industri juga memiliki regulasi tersendiri terkait UU Cipta Kerja yang tentu lebih berpihak pada para pelaku industri yang bisa dikatakan menjadi “penguasa” sesungguhnya di sistem kapitalis saat ini.
Baru-baru ini, di tengah berhembusnya isu kencang tentang resesi 2023, sepanjang 2022 telah banyak perusahaan yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada karyawannya, mulai dari alasan efisiensi karyawan, penjualan yang terus turun dan memberikan efek merugi, hingga alasan tidak bisa bertahan dalam kondisi makro ekonomi. Beberapa perusahaan yang juga kebanyakan adalah start up seperti yang disebutkan dalam cnbcindonesia.com/ seperti Shopee Indonesia, Lummo, TaniHub, Pahamify, LinkAja, Si Cepat, Mobile Premoere League, Mamikos, Zenius, jd.id, LINE, beres.id, carsome, xendit, dan Indosat Ooredoo Hutchison. Ditambah lagi kabar dari Philips yang disebutkan dalam kumparan.com akan memutuskan melakukan PHK pada 4000 orang karyawannya.
Tentu ini fenomena yang tak bisa terelakkan lagi yang mautidak mau akan berdampak pada para lulusan pendidikan vokasi yang menyandarkan kesejahteraan hidupnya dengan memperoleh gaji dari bekerja di sektor industri. Bahkan, sektor industri kreatif seperti start up yang banyak digadang-gadang beberapa waktu terakhir.
Islam Adalah Solusi Kesejahteraan Hakiki
Berbagai fakta di atas sudah jelas menjadi bukti otentik dari kegagalan sistem kapitalis yang diterapkan dunia, tak terkecuali Indonesia, untuk mengurusi manusia yang sebenarnya sudah diatur Allah Swt dalam syariat-Nya. Sejahtera sudah tentu hanya menjadi mimpi bila hanya mengandalkan penerapan sistem kapitalis yang memisahkan urusan dunia dengan urusan agama (sekuler).
Sejahtera dalam Islam pasti tercapai karena standar yang diterapkan bukanlah standar relatif menurut akal manusia yang serba terbatas tadi. Dalam Islam, pemerintah yang berkuasa tidak hanya berfungsi sebagai corong regulator dan menitik beratkan apa yang menjadi hak pertanggung jawabannya kepada sektor lain seperti dunia industri. Negara yang menerapkan sistem Islam dalam pengaturan sistem ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan akan menjamin kebutuhan dasar warganya seperti kesehatan dan pendidikan. Dalam pemerintahan Islam, kedua hal tersebut bukanlah komoditas ekonomi. Tidak seperti dalam sistem ekonomi neoliberal hari ini, pendidikan memang menjadi komoditas yang diperdagangkan seperti yang tertuang dalam Pasal 4 ayat (2) huruf di Undang Undang Perdagangan. Sedangkan secara ekonomi, negara menerapkan sistem ekonomi Islam yang menganut sistem pengelolaan kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Selain itu, upah di dalam Islam juga memiliki pandangan yang khas, antara pekerja dan pengusaha terikat akad ijarah yang saling menguntungkan dan tidak terkait dengan faktor UMP. Sehingga, karena kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan pemenuhan kebutuhan pokoknya terjamin, generasi di dalamnya bisa dengan mudah dan masif terbentuk generasi berkepribadian Islam yang segala potensinya tidak dikebiri, namun didukung sepenuhnya demi perkembangan peradaban Islam. Sebab tujuan utama pendidikan bukan untuk memenuhi tenaga kerja teknis bagi kepentingan industri semata.
Kembali lagi pada konsep sejahtera, hendaknya kita bisa kembali membaca sejarah saat Islam diterapkan pada level negara, seperti yang terjadi pada masa kekhilafahan Umar bin Abdul Azis, yang tidak ditemukannya orang yang berhak menerima zakat dalam kepemimpinannya yang hanya 2-3 tahun. Maka, bila dikatakan oleh Airlangga Hartarto bahwa pelatihan vokasi merupakan reskilling dan upskilling secara kontinyu sebagai upaya menjaga keseimbangan antara pekerja karena dunia kerja yang terus dinamis, maka untuk apa bila tidak sampai membawa pada kesejahteraan hakiki seperti yang ditawarkan Islam? Wallahu a’lam.
*Penulis adalah momwriter & blogger, founder The Jannah Institute