Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
Muslimahtimes.com–Dilansir dari TuguMalang.id, 13 November 2022, Kota Malang, Jawa Timur, yang terkenal dengan pariwisata dan kota pelajar terdeteksi adanya penyintas Friends with Benefits (FWB) atau jalinan hubungan tanpa ikatan yang jelas, bahkan mengarah pada pemenuhan kebutuhan biologis.
Psikolog Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Fuji Astutik membeberkan bahwa pihaknya pernah mendapati beberapa orang penyintas perilaku FWB. Menurutnya, fenomena FWB memang perlu diwaspadai. Pasalnya, aktivitas FWB bukan sekedar pertemanan biasa. Penyintas akan melakukan FWB ketika sama sama membutuhkan. Bahkan ada yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan seksual tanpa ikatan pasti.
Menurutnya, setiap orang memang punya hak atas tubuh atau dirinya sendiri. Namun, aktivitas FWB dinilai menyalahi norma norma lingkungan bahkan budaya bahkan menjadi fenomena yang kurang elok. Sebetulnya jika dianggap sebagai kebutuhan psikologis tidak harus FWB, dan bisa jadi juga hanya pengalihan kebutuhan yang sebenarnya. FWB juga ada potensi dampak berbahaya jika dibiarkan. Salah satunya potensi penularan penyakit HIV. Sebab, penyintas FWB berpotensi untuk berganti ganti pasangan.
“Halal”nya Liberalisme Pangkal Persoalan
Ide liberalisme kuat ada dalam istilah FWB, bukti bahwa ada pihak yang sengaja mencari celah keluar dari tatanan budaya dan terutama agama. Pihak ini tak peduli dampaknya kepada masyarakat merusak atau tidak, yang jelas tujuannya hanya ingin nafsunya terpenuhi dan terutama benefit materi di dalamnya.
Karena sebagaimana iblis yang memandang indah perbuatan maksiat, maka perbuatan yang jelas-jelas diharamkan dalam agama dikelindankan dengan tempat-tempat eksotik, pariwisata, kuliner, kearifan lokal dan lain sebagainya. Itulah mengapa beberapa waktu lalu pengusaha hotel yang tergabung dalam Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menolak disahkannya peraturan yang melarang pasangan bukan suami istri reservasi kamar. Menurut mereka itu tugas satpol PP dan bukan pihak hotel. Terlebih pasca pandemi, kunjungan wisatawan belum normal khususnya mancanegara. Ditakutkan jika ditambah peraturan yang tidak lazim bagi mereka maka pendapatan pengusaha berikut negara akan berkurang.
Inilah yang membahayakan, timbangan halal haram samasekali tidak masuk dalam kebijakan mereka, baik negara maupun pengusaha. Mualamah yang seharusnya mendapat berkah karena kehalalannya justru dianggap penghambat. Bahkan tidak bisa hanya dicap sebagai perilaku budaya tak elok. Bagaimana pun kita adalah penduduk negeri dengan mayoritas muslim yang semestinya, setiap perilakunya menunjukkan identitas muslim yang kuat.
Perilaku FWD juga sangat masif menggunakan media sosial, inilah lahan terbaik tanpa batas. Meskipun ada UU ITE tapi tidak menyasar pada kampanye perilaku menyimpang. Karena sekali lagi baik kebijakan pemerintah, maupun pengampu media sosial, samasekali tak menyentuh mereka sebaliknya web-web yang mengedukasi masyarakat terutama yang berbasis agama jatuh bangun karena harus berkali-kali dibredel.
Dampak yang sangat mengerikan adalah melemahnya potensi generasi muda, karena terbajak oleh perilaku menyimpang. Karena tak memiliki filter yang benar, menambah kelemahan berpikir benar di kalangan anak muda berlarut-larut, pendidikan yang ada hanya diarahkan pada bagaimana menjadi kaya, masih hangat kasus seratus lebih mahasiswa IPB terjerat pinjaman online (pinjol). Kehidupan yang mereka tangkap hanyalah bersenang-senang, banyak materi berikut alat pemuas kebutuhan mereka.
Mereka tak peka lagi dengan persoalan umat, akankah masa depan negeri ini kita serahkan pada generasi yang lemah? Sungguh Allah melaknat yang demikian dalam firmanNya,” Dan hendaklah takut(kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar”. ( QS an-Nisa:9).
Sistem Islam Menjadikan Pemuda Produktif Kebaikan
Tak ada jalan lain selain mengembalikan tatanan masyarakat yang rusak ini kepada yang sahih, yaitu kepada Islam, dengan diterapkannya syariat Islam. Mindset yang hanya mementingkan manfaat materi tanpa takut azab Ilahi tak akan habis jika belum ditegakkannya hukum Islam. Hari ini, yang jelas-jelas telah melakukan rudapaksa, membunuh setelah berzina belum hukuman yang diberikan setimpal. Maka, bagaimana keadilan bisa terwujud?
Sistem hukum dan sanksi Islam sangatlah tegas. Kecuali salah satu pihak memilih memaafkan, namun pada prinsipnya, jika bukti dan saksi sudah kuat dan bisa membuktikan sebuah kejahatan telah dilakukan dan menimbulkan dampak sosial, fisik dan materi maka tetap akan dijatuhkan. Hal ini sebagaimana Rasulullah yang tegas mengatakan,” Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, seandainya Fatimah puteri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari no. 4304 dan Muslim no. 1688).
Tak ada politik uang, yang bisa naik banding, akhirnya satu kasus dibekukan atau dianggap selesai. Sebab hukum dalam Islam bermakna dua, jawazir sebagai pengingat agar pelaku dan yang melihat proses hukuman jera, dan efek jawabir, adanya pengampunan dosa karena sanksi telah dilakukan di dunia.
Dari sisi edukasi, maka Islam mewajibkan kepada pemimpin negara untuk memelihara suasana keimanan dan ketakwaan, dengan menjaga aturan berinteraksi di ranah umum, kajian-kajian yang menguatkan ketakwaan, melarang tabaruj, memerintahkan menutup aurat sempurna, menyusun kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam, menutup situs-situs yang bertentangan dengan syariat.
Karena hukum berdasarkan syariat, maka tidak ada kodifikasi hukum sebagaimana saat ini yang masih saja membahas kekerasan seksual dari sisi kemanfaatan. Yang berlaku adalah syariat Allah, kalaulah ada koreksi yang dilakukan rakyat, itu hanya ketika ada penyimpanan dari Khalifah terhadap penerapannya. Wallahu a’lam bish showab.