Oleh. Ummu Nazry Najmi Nafiz
(Pemerhati Kebijakan Publik)
MuslimahTimes.com – KTT G20 di Nusa Dua, Bali tgl 15-16 November 2022, telah sukses dilaksanakan. Kehadiran kepala negara besar mewarnai ajang konferensi ini, walaupun Putin sebagai Presiden Rusia dan Zelensky sebagai Presiden Ukraina, absen dari menghadiri KTT ini.
Sebagian kalangan menilai jika KTT G20 mampu mendongkrak ekonomi Indonesia hingga miliaran dolar Amerika, dan hal demikian dinilai sebagai satu keuntungan untuk Indonesia. Walaupun tidak mencapai komunike dari para pemimpin negara, sebab masing-masing negara mempertahankan kepentingannya atas negara lain, dinilai tidak masalah, yang penting Indonesia mendapatkan keuntungan besar dari KTT G20 ini.
Jadilah hal demikian seolah menjadi indikator kekuranglengkapan acara konferensi tersebut. Sebab walaupun dapat diperoleh berbagai kesepakatan, terutama kesepakatan dagang atau kesepakatan ekonomi dan moneter di antara para kepala negara, namun hal demikian tidak berkontribusi terhadap penyelesaian krisis yang terjadi antara Rusia-Ukraina. Padahal krisis tersebut sedikit banyak telah memengaruhi kondisi perekonomian dunia.
Akan tetapi jika dilihat secara dasar pendirian G20 yang berfokus pada masalah ekonomi dan moneter, apa yang diharapkan dari pertemuan G20 ini tercapai. Dilihat dari agenda untuk semakin melancarkan urusan perdagangan ekonomi moneter di antara para anggota. Hingga, klaim keuntungan yang diperoleh Indonesia seperti yang diklaim oleh Luhut Binsar Panjaitan, Ketua Bidang Dukungan Penyelenggara KTT G20, bisa saja benar adanya. Namun, apakah keuntungan yang diperoleh Indonesia dari kegiatan KTT G20 ini dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat Indonesia, mungkin memerlukan data yang lebih akurat.
Sebab pada faktanya, di balik megahnya perhelatan KTT G20 beberapa waktu lalu di Nusa Dua, Bali, berbanding terbalik dengan kondisi kebanyakan rakyat Indonesia yang hingga hari ini mayoritas masih diliputi kemiskinan, ketimpangan sosial, dan berbagai masalah lainnya. Artinya klaim keuntungan yang diperoleh Indonesia adalah keuntungan yang dinikmati oleh sebagian kalangan saja yaitu para pemilik modal (kaum kapitalis), bukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Sehingga wajar saja jika para kapitalis sangat antusias dalam menghitung keuntungan hingga miliaran dolar yang diperolehnya. Mereka tidak malu dengan kenyataan mayoritas masyarakat di belakangnya yang lemah, lapar, sakit tak terurus.
Hal demikian semakin mengukuhkan bahwa Indonesia saat ini adalah negeri yang menjalankan sistem sekuler kapitalisme yang menjadi surganya para kapitalis. Maka menjadi hal yang biasa akan kita saksikan manakala pejabat dan penguasa dalam sistem sekuler kapitalisme tidak malu mengungkapkan kekayaan dan keuntungan yang berhasil diraup atas nama negara, padahal kondisi rakyatnya adalah miskin dan sakit. Demikianlah kesadisan sistem sekuler kapitalisme. Akan terus demikian, selama sistem ini terus diberlakukan.
Negara yang menjalankan sistem sekuler kapitalisme akan menjadikan rakyat jelata sebagai sapi perahan untuk diambil kekayaannya untuk membiayai kepentingan negara dan pejabatnya. Bukan kepentingan negara dan rakyatnya. Terbukti dengan tingginya pungutan pajak yang harus ditunaikan oleh rakyat jelata, bahkan demi terselenggaranya acara bergengsi setingkat KTT G20.
Padahal di KTT G20, Indonesia tidak menonjol dalam hal apa pun, selain hanya sebagai panitia penyelenggara saja. Dominasi dan dikte masih dimiliki oleh negara-negara besar lainnya. Indonesia hanyalah bagaikan sebuah Event Organisation (EO) atau hanyalah sebuah organisasi penyelenggara event besar pelayan negara besar saja. Sebab hasilnya tidak berdampak pada peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Malah yang terjadi adalah Indonesia akan semakin terikat lebih dalam dengan kerja sama ekonomi finansial yang pada faktanya hanya merugikan rakyat saja, sebab berdampak pada eksploitasi kekayaan negeri ini lebih jauh dan lebih dalam, yang berarti pembunuhan terhadap kepentingan rakyat jelata. Sebab pada tataran faktanya, setiap kebijakan yang keluar sebagai hasil kesepakatan para kapitalis akan selalu berakhir dengan perampasan tanah dari para petani miskin misalkan, atas nama pembangunan sebuah proyek. Dan lagi-lagi rakyat jelata hanya bisa melongo pasrah, tak bisa membela diri, manakala tanahnya dirampas oleh negara atas nama proyek pembangunan.
Maka sungguh, konferensi apa pun yang diselenggarakan dinegeri ini, selama landasan penyelenggaraannya adalah sistem sekuler kapitalisme, maka selamanya hanya akan memberikan keperihan dihati rakyat, sebab rakyat kebanyakan hanya akan dijadikan sebagai tumbal bagi kepentingan penguasa dan pejabatnya atas nama pembangunan negeri.
Padahal faktanya pembangunan negeri yang terjadi dalam sistem sekuler kapitalisme adalah pembangunan aset para kapitalis yang hanya akan dinikmati oleh segelintir rakyat yang tergolong para kapitalis saja. Bukan untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Yang mampu membeli dialah yang akan menikmati.
Jikapun ada istilah subsidi maka pada tataran faktanya hanya digunakan sebagai sumpal untuk menyumpal teriakan rakyat. Tidak diberikan atas dasar ketulusan penguasa pada rakyatnya, namun diberikan kepada rakyat jelata dalam rangka meraup keuntungan yang lebih besar lagi, setelah rakyat terkenyangkan untuk sementara waktu dan menjadi lengah atas aksi yang lebih rakus lagi dari para kapitalis.
Maka, sungguh sistem sekuler kapitalisme adalah sistem yang sangat rusak tidak manusiawi sebab hanya membodohi dan mencurangi rakyat saja, hanya akan menambah kelaparan kesedihan dan ketertindasan rakyat jelata, dan membuat gendut perut dan dompet para kapitalis dan konco-konconya saja.
Untuk itu, masyarakat membutuhkan sistem yang manusiawi yang dapat mengembalikan fungsi penguasa sebagaimana mestinya dan mengembalikan kegembiraan dan kebahagiaan yang sebenarnya pada seluruh rakyatnya, tanpa kecuali. Dan sistem itu hanyalah sistem Islam kaffah dalam bingkai Khilafah, bukan yang lain.
Wallahualam.