Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Editor dan Penulis Buku)
Muslimahtimes.com–Pada akhir September lalu, di hadapan seluruh Menteri/Kepala Lembaga, Kepala Daerah, Pipimpinan BUMN, Pangdam, Kapolda, dan Kajati di JCC Senayan Jakarta Pusat, Jokowi mengatakan bahwa sebanyak 19.700 orang setiap hari meninggal karena kelaparan di seluruh dunia. Beliau menyebut bahwa kelaparan telah menjadi problem global akibat adanya krisis pangan.
Di Indonesia sendiri, kasus kelaparan masing tinggi. Sebagaimana dirilis oleh Global Hunger Index (GHI) pada tahun 2021, tingkat kelaparan Indonesia menempati urutan ketiga tertinggi di Asia Tenggara. Indonesia mendapatkan skor indeks sebesar18 poin atau termasuk dalam level moderat. Skor ini telah berada di atas rata-rata global yang sebesar 17,9 poin. (katadata.co.id/11-01-2021)
Sunguh fakta yang sangat memprihatinkan. Lantas benarkah kelaparan disebabkan oleh adanya krisis pangan?
Menilik Kekayaan Pangan Indonesia
Indonesia adalah tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Begitulah kata lirik sebuah lagi. Memang benar, lirik itu mencerminkan realita yang ada. Indonesia memang negeri yang Allah karuniakan kesuburan atas tanahnya. Apa pun yang ditanam, dapat tumbuh di bumi pertiwi ini.
Berdasarkan data dari Food and Agriculture (FAO), Indonesia terkenal sebagai penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Pada tahun 2020 saja, produksi kelapa sawit di Indonesia mencapai 256,5 juta ton. Hal tersebut didukung oleh luas areal kelapa sawit yang mencapai 14,8 juta hektare di Indonesia, dan Riau merupakan daerah yang memiliki lahan kelapa sawit terluas, yakni 2,8 juta hektare. Tak hanya itu, Indonesia juga dikenal sebagai lumbung padi Asia Tenggara. Berdasarkan data FAO, produksi padi di Indonesia mencapai 54,6 juta ton, sementara produksi beras mencapai 36,45 juta ton per tahun. Komoditas lainnya yang juga banyak dihasilkan di negeri ini adalah tebu sebesar 28,9 juta ton per tahun, jagung sebesar 22,5 juta ton, dan singkong 18,3 juta ton. Belum lagi telur ayam mencapai 5,04 juta ton per tahun dan daging ayam sebesar 3,7 juta ton per tahun. (Katadata.co.id/10-02-2022)
Lantas, ke mana larinya semua kekayaan alam tersebut jika realita yang terpotret justru adalah tingginya angka kemiskinan yang berkorelasi dengan tingginya angka kelaparan? Padahal secara logis, harusnya rakyat negeri ini sejahtera dengan melimpah ruahnya kekayaan alam di dalam negeri.
Negara Salah Urus, Rakyat Tak Terurus
Tak dimungkiri ada yang salah dalam pengelolaan kekayaan alam di negeri ini. Betapa tidak, diadopsinya sistem kapitalisme berdampak pada diterapkannya liberalisasi sektor pertanian. Pada akhirnya petani mengalami kerugian karena sektor tersebut dikuasai oleh para pemilik modal, sementara negara tak berperan signifikan dalam menopang kesejahteraan petani. Akibatnya, banyak petani yang ‘gantung cangkul’ akibat sektor pertanian tak lagi mampu memberi keuntungan. Belum lagi adanya kebijakan impor produk-produk pertanian, menjadikan produk lokal kalah saing dengan produk asing. Akibatnya petani harus menelan kerugian karena anjloknya harga jual. Hal ini jelas memengaruhi perekonomian.
Adanya liberalisasi hasil pertanian juga menyebabkan pengelolaan hasil pertanian dikuasai oleh swasta yang tentu saja berorientasi pada profit. Pada akhirnya, tidak semua kalangan masyarakat mampu mengakses kebutuhan pangan mereka. Inilah yang disebut bahwa kekayaan hanya berputar di segelintir orang saja alias tidak terdistribusi secara merata. Hal tersebut pada akhirnya menciptakan kesenjangan sosial yang cukup tajam antara si kaya dan si miskin.
Belum lagi, berbagai kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat, menjadikan rakyat kian terbelit oleh kesulitan hidup, seperti pungutan pajak di segala bidang, kenaikan harga kebutuhan pokok, mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan, dan lain-lain. Di sinilah tampak berlaku hukum rimba, yang kuat yang akan survive, sementara yang lemah harus rela tergerus oleh keadaan bahkan mati perlahan-lahan.
Dapat dikatakan bahwa kemiskinan yang tercipta saat ini adalah faktor sistemis, yakni adanya salah urus negara terhadap rakyatnya. Negara dalam naungan sistem kapitalis lebih memprioritaskan para pemilik modal daripada rakyat kecil. Para pemangku kekuasaan pun lebih banyak mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya ketimbang kesejahteraan rakyat. Bahkan tak sedikit uang rakyat dikorupsi, termasuk dana bantuan sosial untuk rakyat ikut diembat. Miris!
Sistem Islam Harapan Kesejahteraan
Islam memandang bahwa penguasa adalah pemelihara atas rakyatnya. Ia bertanggung jawab atas seluruh rakyat yang dipimpinnya. Maka, sungguh berat beban amanah yang dipikul oleh penguasa, karena sejahtera atau tidak rakyatnya akan dipertanyakan di hadapan Allah kelak. Oleh karena itu, menjadi penguasa tidaklah menjadi ambisi bagi para Sahabat di masa Rasulullah, karena betapa berat pertanggungjawabannya di hadapan Allah. Justru ketika seseorang berkuasa lantas menjadikan rakyatnya menderita dan terzalimi, maka itu adalah sebuah kehinaan.
Dengan demikian, dalam Islam seorang penguasa wajib memerintah sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena pada keduanyalah terdapat aturan yang sahih berasal dari Allah Swt. Dengan begitu, penguasa akan mampu mengurus rakyatnya secara adil sesuai tuntunan wahyu, bukan hawa nafsu.
Rasulullah saw telah mengingatkan di dalam hadisnya, “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan benar dan melaksanakan tugas dengan baik.”(HR. Muslim)
Maka, dalam pandangan Islam, negara wajib memastikan bahwa semua rakyatnya mendapatkan pelayanan dan pengurusan yang baik dari negara. Di bawah sistem pemerintahan Islam, negara akan mengelola harta kepemilikan umum, yakni sumber daya alam yang depositnya besar dan tak terbatas secara mandiri, tidak menyerahkannya kepada pihak swasta. Hasil pengelolaan itu akan dikembalikan untuk memenuhi kemaslahatan hidup rakyat. Jadi, dalam sistem Islam negara tidak akan berlepas tangan terhadap urusan rakyatnya dan tidak membiarkan rakyatnya berjuang sendiri menggapai sejahtera.
Hal tersebut tercermin saat kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Beliau senantiasa blusukan di malam hari tanpa diiringi sorot kamera media, menyisiri setiap jengkal wilayah kekuasaannya dan memastikan bahwa setiap rakyatnya telah tercukupi kebutuhannya. Adakah pemimpin demikian di sistem saat ini? Tidaklah tampak peran pemimpin hari ini kecuali tampak wujudnya di tengah rakyat saat jelang pemilu.
Sungguh benarlah adanya bahwa kepemimpinan yang adil dan mampu menciptakan kesejahteraan adalah yang berpegang teguh kepada wahyu Allah. Artinya, kepemimpinan tersebut berjalan sesuai dengan aturan Islam yang sempurna. Sebagaimana Allah telah mengingatkan dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya ayat 73, “Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan salat dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah.”
Selain itu, penerapan sistem Islam juga akan menciptakan masyarakat yang peduli terhadap sesama, tidak bersifat individualistik sebagaimana halnya di sistem kehidupan hari ini. Sehingga setiap orang akan peka terhadap persoalan di sekitarnya, termasuk kondisi tetangganya. Setiap orang tidak akan membiarkan tetangganya kelaparan. Karena Islam mengamanatkan untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya.”
Oleh karena itu, problem kemiskinan sejatinya hanya akan terselesaikan jika sistemnya dibenahi hingga ke akarnya. Adapun sistem terbaik dan sahih adalah sistem Islam. Maka, umat Islam harus bersinergi dalam perjuangan menegakkan Khilafah Islamiah, yakni institusi yang akan menerapkan sistem Islam secara kaffah. Wallahu’alam bis shawab.