Oleh. Fathiya Puti Khaira
(Siswi SMA Sekolah Tahfidz Tangerang)
Muslimahtimes.com– Mahasiswa, satu gelar yang mungkin diimpikan oleh banyak orang. Mahasiswa didefinisikan sebagai orang yang belajar di perguruan tinggi, sedangkan secara bahasa, ‘Maha’ berarti besar, agung, atau mulia, dan ‘Siswa’ bermakna seorang pelajar, jadi ketika kita menggabungkan keduanya akan didapatkan arti bahwa mahasiswa adalah sesosok siswa yang memiliki sifat besar dalam berpikir. Mahasiswa disebut sebagai orang yang rasional, analitis, kritis, universal, sistematis, inovatif, dan revolusioner. Mahasiswa digambarkan menjadi sosok yang seharusnya sangat hebat dan berjasa bagi masyarakat.
Dalam sebuah literatur dikatakan, fungsi mahasiswa dibagi menjadi tiga, yaitu sebagai social control (pengontrol di suatu kehidupan sosial dalam masyarakat), agent of change (pelaku perubahan), dan iron stock (penerus bangsa yang memiliki keterampilan dan akhlak bukan hanya pada bidang intelektual, namun juga dalam hal soft skill). Rasanya sungguh hebat mahasiswa jika kita baca dari segi teori, mahasiswa ibarat sebagai sebuah tonggak keberhasilan yang di sanalah masyarakat dan pemerintah menaruh harap. Namun, jika kita menulusuri fakta dan berita yang ada, mengapa rasanya teori dengan realita tentang mahasiswa tidak bersesuaian? Bahkan tampaknya, tidak ada yang beririsan sema sekali?
Banyak sekali masalah yang mewarnai kehidupan mahasiswa, mulai dari perundungan, penipuan, pelecehan, tawuran, hingga bunuh diri ataupun pembunuhan, dan itu menjadi hal yang sangat lumrah. Rasanya sangat miris, jika kita benar-benar menyandingkan halaman teori dengan halaman berita, semua seakan bertolak belakang, semua seakan menunjukkan bahwa realita tak pernah seindah itu.
Baru-baru ini, ratusan mahasiswa IPB terjerat kasus pinjaman online (pinjol). Disebutkan bahwa mereka melakukan kerja sama dengan toko online dengan penjualan barang fiktif. Aplikasi yang memberikan peminjaman kepada mahasiswa bukan pinjol, melainkan perusahaan pembiayaan (multifinance). Jadi, proses yang terjadi adalah pembelian barang dari perusahaan multifinance yang ternyata barang fiktif, tetapi uangnya mengalir kepada pelaku penipuan. (detikFinace, 17-11-2022)
Tulisan kali ini bukan untuk mengusut bagaimana proses penipuan itu terjadi, tetapi mari membahas apa penyebab ratusan mahasiswa IPB terjerat pinjol. Biasanya, ketika seseorang meminjam uang, itu bertanda bahwa ia tak mampu atau kurang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (sandang, pangan, dan papan), namun nyatanya hari ini banyak orang yang melakukan peminjaman uang bukan karena benar-benar kekurangan, tapi karena keinginan yang meluap-meluap. Begitupun peristiwa yang terjadi pada ratusan mahasiswa IPB tadi. Mungkin ada mahasiswa yang benar-benar tak punya, namun ada juga mahasiswa yang meminjam sekadar untuk memenuhi kesenangan dan kepuasan diri, sebab kebanyakan mahasiswa pasti masih ditanggung hidupnya oleh orang tua mereka.
Inilah yang terjadi pada masa sekarang ini, keberlimpahan barang yang menyebabkan banyak orang dari semua kalangan tergiur untuk mengonsumsinya. Disebut sebagai budaya konsumerisme, yakni sebuah pemikiran yang mengubah perilaku manusia untuk selalu melakukan kegiatan konsumsi barang-barang secara berlebihan tanpa melihat nilai gunanya terlebih dahulu. Tak peduli penting atau tidak, berguna atau tidak, jika sudah tertarik maka semua akan dibeli, tak peduli persediaan uang masih cukup atau tidak untuk sebulan ke depan. Budaya ini muncul sebab pemenuhan keinginan yang lebih besar daripada pemenuhan kebutuhan, manusia memiliki keinginan yang tidak terbatas, namun kemampuan yang dimilikinya pasti terbatas.
Konsumerisme bahasa formalnya, bahasa lainnya biasa kita sebut maruk alias semua mau dilahap. Mirisnya, konsumerisme telah menjadi sebuah budaya, yang jika diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah. Jika sudah sukar diubah, maka itu akan terus berkelanjutan hingga generasi-generasi selanjutnya.
Konsumsi yang tinggi memang sangat menguntungkan bagi seorang penjual ataupun pebisnis, meningkatkan penghasilan dan mampu mencukupi kebutuhan hidup mereka. Namun, dari sudut pandang sorang pembeli, orang tuanya pembeli, ataupun pasangannya pembeli, itu menjadi sebuah hal yang membuat elus dada setiap hari. Sudah pergi pagi pulang malam tanpa libur, malah dihabiskan hasil keringatnya untuk sesuatu yang sebenarnya tak ada guna. Uang habis, lari ke pinjaman online, terjerat penipuan, terikat bunga besar, hingga masalah tak juga terselesaikan, tetapi masih saja nafsu untuk membeli sesuatu yang baru.
Kondisi inilah yang menghantui para mahasiswa, dipaksa untuk memuaskan gairah belanja oleh diri sendiri, hingga lupa tugas utamanya sebagai agen perubahan. Memang tak banyak yang pergi ke pasar atau swalayan, tapi keranjang di toko onlinenya penuh dangan antrean barang yang menanti untuk dibayar. Gelar sebagai agen perubahannya seperti tak terasa, sibuk dengan urusan individu, memenuhi kesanangan dan kebutuhan, lalu mengerjakan tugas dari dosen yang tiada habisnya. Kehadirannya di tengah masyarakat hanya seperti tukang antar barang yang hanya menumpang lewat lalu kembali lagi, mahasiswa hanya menumpang lewat di tengah kerumunan warga sekitar, lalu keluar dari rumahnya menuju kampus atau masuk ke dalam rumahnya untuk berhibernasi di dalamnya.
Seorang sahabat Rasulullah berkata;
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كُنَّا نَغْزُوْ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَابٌ
Dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Kami ikut berperang bersama Rasûlullâh padahal saat itu kami masih muda.” [HR. Ahmad]
Ini perkataan seseorang yang masa mudanya digunakan untuk mengerahkan segala potensi untuk kemaslahatan umat, agama, dan negara. Pada saat itu Rasulullah memerintahkan para pemuda untuk berjihad, untuk ikut menyuarakan kebenaran, melawan kemungkaran, dan menjadi agen perubahan dengan tenaga dan hormonnnya yang benar-benar menggebu-gebu. Seharusnya, seperti inilah pemuda-pemuda saat ini, mengerahkan segala aspek terbaik untuk lingkungan sekitar, agama, dan dunia. Tak hanya terkungkung dalam nafsu, tetapi seharusnya menyalurkan gairah yang menggebu-gebu untuk keselamatan bersama. Sehingga nantinya, pemuda atau mahasiswa tak lagi dicap sebagai pembuat onar, tapi benar-benar menjadi seorang agen perubahan, benar-benar menjadi banyak sosok yang siap meneruskan bangsa lewat tangan-tangan kekar mereka.
Godaan hidup di era digital memang sangat banyak, semua bisa terjadi hanya dengan duduk di tempat mengandalkan jempol. Tetapi yang perlu diingat, ketika godaan banyak, maka tantangannya juga berat, dan usaha yang dikerahkan juga harus lebih berkeringat lagi. Jika muda sudah ternodai gairah belanja, bagaimana ketika tua? Bukankah pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan? Jangan sampai sepuluh sampai dua pulu tahun lagi, uang negara dipakai untuk membeli barang tak berguna karena pemimpinnya yang tak siap membentengi gairah diri. Cukup bentengi, jauhi, dan pergi, semoga atas izin Allah semua harapan masyarakat untuk para mahasiswa benar-benar terealisasi. Pemuda hari ini, penentu keberhasilan dunia di masa yang akan datang. Jaga aset kita, jaga pemuda, jaga dunia.