Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)
MuslimahTimes.com – Lagi-lagi kekerasan dalam rumah tangga terjadi. Seorang suami berinisial HM (44), warga Lumban Sionang, Desa Pasaribu, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Provinsi Sumatera Utara, tega memutilasi istrinya berinisial NS (43), karena sakit hati. Kata pelaku, sang istri sering berucap kasar dan menghinanya (TVOne).
Kasus ini melengkapi deretan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan pada perempuan dan kekerasan pada umumnya. Seolah kekerasan telah menjadi watak masyarakat yang hidup dalam sistem sekuler kapitalisme ini. Masyarakat yang sakit secara sosial, menjadikan kekerasan sebagai solusi mengatasi persoalan.
Agresif dan Beringas
Maraknya kekerasan adalah bukti gagalnya sistem sekuler kapitalisme. Siapapun yang hidup dalam sistem ini, tidak bisa menghindar dari lingkaran setan kekerasan, baik sebagai pelaku, saksi maupun korban. Baik kedudukan dia sebagai seorang suami, istri, orang tua maupun anak-anak. Masyarakat saat ini begitu mudah tersulut emosi. Cenderung agresif dan reaktif.
Kekerasan merajalela, baik kekerasan fisik seperti penganiayaan maupun pembunuhan. Juga kekerasan psikis berupa kekerasan verbal, makian, hujatan hingga body shaming. Ditambah lagi kekerasan seksual yang angkanya sangat mengerikan. Dan juga kekerasan massal yang melibatkan masyarakat secara komunal.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebutkan, pada 2021 terdapat 8.730 kasus kekerasan seksual anak. Lalu pembunuhan pada 2020 mencapai 898 kasus. Salah satu kasus, belum lama ini, seorang anak laki-laki di Cianjur, menusuk anak perempuan 12 tahun, hanya untuk merampas HP-nya.
Sementara itu, kekerasan seksual juga melanda laki-laki sebagai korban. Ada 33 persen laki-laki mengalami kekerasan seksual. Demikian Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan Indonesia Judicial Research Society (IJRS).
Kekerasan Massal
Merajalelanya kekerasan, bukan hanya secara personal. Kekerasan juga dilakukan secara massal. Tawuran pelajar misalnya, marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2021, sebanyak 188 desa/kelurahan di seluruh Indonesia yang menjadi arena perkelahian massal antarpelajar atau mahasiswa. Jawa Barat menjadi provinsi dengan lokasi kasus tawuran pelajar terbanyak, yakni terjadi di 37 desa/kelurahan. Diikuti Sumatera Utara dan Maluku dengan masing-masing 15 desa/kelurahan.
Bukan hanya itu, kekerasan juga melibatkan aparatur negara. Data tahun 2020 menyebutkan, ada 263 kasus dan pada 2021 turun menjadi 217 kasus kekerasan yang melibatkan aparat. Kebanyakan pelakunya dari institusi Polri, disusul TNI, Satpol PP dan petugas Lapas. Mayoritas kasus penanganan demo, kriminalisasi, dan penyiksaan.
Tragedi Kanjuruhan pada 2022 yang diduga akibat tindakan represif aparat, memakan korban terbesar dalam sejarah. Total sebanyak 754 orang, yakni 132 meninggal, 596 orang luka ringan dan sedang, serta 26 luka berat.
Korban kekerasan sistemis ini, tentu saja sebagian besar juga perempuan, bahkan kaum ibu yang seharusnya dilindungi dan diayomi. Namun, kini para wanita mulia ini hidup dalam kondisi tidak aman, bahkan di rumahnya sendiri. Terancam, bahkan oleh orang-orang yang seharusnya memberi keamanan dan perlindungan.
Demikian pula anak-anak dan remaja, menjadi korban keganasan sistem, bahkan sejak sebelum dilahirkan. Di dalam kandungan diaborsi. Yang lahir dibuang. Yang mencapai masa kanak-kanak, dianiaya, dan bahkan dibunuh atau diajak bunuh diri orang tuanya. Sungguh nelangsa nasib generasi penerus di habitat hidup yang penuh kekerasan ini.
Faktor Pencetus
Memang, Allah menciptakan manusia dengan ragam watak, ada yang penyabar, ada yang pemarah. Ada yang temperamental dan emosional. Namun, jika watak ini ditundukkan pada syariat, insyaallah energi potensial ini bisa diredam. Dengan demikian, watak keras ini muncul akibat kegagalan dalam sistem pendidikan, yang tak mampu menanamkan karakter antikekerasan.
Kekerasan terjadi karena seseorang tidak paham tata cara mengendalikan amarah, tidak paham cara memperlakukan orang lain, dan tidak paham konsep ukhuwah atau ta’awun. Semua disebabkan jauhnya Islam sebagai pedoman hidup.
Selain itu, kekerasan juga dipicu oleh depresi akibat tekanan hidup, seperti karena himpitan ekonomi, relasi yang buruk dengan pasangan, keluarga yang tidak harmonis, ataupun lingkungan yang permisif terhadap kekerasan.
Tekanan hidup sangat tinggi. Hidup serba sulit, jauh dari kesejahteraan. Sistem menyebabkan kesenjangan sosial tinggi. Kekerasan menjadi budaya karena diciptakan oleh sistem hidup yang memisahkan agama dari kehidupan, sehingga semakin jauh manusia dari suasana keimanan,
Solusi Tuntas
Bagaimana memutus rantai kekerasan? Secara personal, semua orang harus mencoba menjadi pribadi yang tidak mudah tersulut emosi, dengan mendekatkan diri pada Allah. Paham syariat, terkait tata cara mengendalikan emosi dan cara berinteraksi dengan masyarakat. Paham tata cara menyelesaikan setiap persoalan hidup tanpa jalan kekerasan.
Lalu, sebagai bagian dari anggota masyarakat, harus memiliki perasaan yang sama. Menimbang segala hal dengan standar halal dan haram yang sama. Masyarakat harus menumbuhkan tradisi amar makruf nahi mungkar. Saling menegakkan kebenaran dan mengingatkan jika ada penyimpangan dari syariat dengan lemah lembut.
Selanjutnya, negara menegakkan syariat Islam dengan sempurna. Syariat Islam menutup celah bagi semua faktor pemicu kekerasan. Di sektor pendidikan, akidah Islam menjadi pondasi dalam seluruh aspek kurikulum, sehingga tertanamlah akhlak dan karakter kepribadian yang jauh dari sikap temperamental. Apabila temperamental, ditundukkan dengan syariat Islam.
Di sektor ekonomi, negara membuka lapangan kerja seluas-luasnya, membagikan harta dari Baitulmal untuk yang miskin, dan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat. Redam kekerasan jika perut terisi dengan kenyang.
Di sektor sosial, negara menegakkan tata pergaulan yang sehat. Memisahkan aktivitas laki-laki dan perempuan, sehingga tidak rawan terjadi interaksi yang tak diinginkan hingga rentan terjadi kekerasan. Di bidang hukum, Islam tegas menghukum pelaku kekerasan sehingga membuat jera dan menyadarkan pelaku agar bertobat, serta mencegah orang lain agar tidak melakukannya
Penerapan Islam secara kaffah akan menjadi jaminan rahmat dan kebaikan. Terjaga jiwa, akal, akidah, harta, kehormatan, serta wibawa negara. Hanya sistem Islamlah solusi tuntas untuk menjauhkan kekerasan dari peradaban manusia.(*)