Oleh. Ragil Rahayu, S.E.
(Kontributor Muslimahtimes.com)
Muslimahtimes.com–Tiba-tiba saja Sekretaris Kim ingin berhenti dari pekerjaannya. Si bos, yaitu Lee Young-joon pun bingung, ada apa dengan Sekretaris Kim? Ternyata Kim Mi-so ingin menikah dan membangun rumah tangga. Di akhir kisah “What’s Wrong with Secretary Kim”, keduanya pun menikah. Wah, romantis, ya. Sayangnya, kisah romantis itu hanya ada di drama. Nyatanya, para oppa dan eonnie saat ini justru sedang mengalami keengganan untuk menikah dan memiliki keturunan. Akibatnya, Korea Selatan saat ini menjadi salah satu negara di Asia Timur yang tengah menghadapi krisis populasi. Tingkat kesuburan di Korea Selatan hanya 0,81%. Padahal, idealnya, untuk menjaga populasi, tingkat kesuburan suatu negara adalah 2,1%.
The Guardian mengungkap bahwa para wanita muda Korea lebih suka melajang dan berkarier. Sedangkan pria muda di sana, selain lebih suka melajang, juga khawatir tidak mampu menafkahi keluarga. Sementara itu, pasangan yang sudah menikah pun enggan memiliki anak karena dianggap menghambat karier.
Jika kita bandingkan, pada tahun 1996 ada 430 ribu pernikahan, sedangkan tahun lalu hanya ada 193 ribu pernikahan. Sungguh penurunan yang amat drastis. Pada 1971, terjadi 1 juta kelahiran bayi, sedangkan pada tahun lalu hanya 260 ribu kelahiran. Perbandingannya mencapai 4:1.
Melanda Asia
Ternyata, krisis populasi tidak hanya menimpa Korea Selatan. Beberapa negara Asia lainnya juga mengalami hal yang sama. Salah satunya adalah Jepang. Pada 2021, Jepang telah mengalami pecah rekor jumlah pria dan wanita terbanyak yang tidak ingin menikah. Berdasarkan data Institut Nasional Kependudukan dan Jaminan Sosial Jepang, sebanyak 17,3% pria dan 14,6% wanita berusia 18—34 tahun menyatakan tidak berniat menikah. Akibat dari keengganan menikah ini, Jepang telah mengalami pertumbuhan penduduk yang negatif. Hal ini merupakan ancaman populasi dan sekaligus ekonomi. Bahkan, jika kondisi ini terus berlanjut, pada 2060 Jepang akan kehilangan sepertiga populasinya.
Selain Korea Selatan dan Jepang, negara Asia lainnya yang mengalami krisis populasi ada Cina. Wah, ini tentu mengagetkan, karena Cina selama ini dikenal sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Saking banyaknya, orang Cina terdiaspora ke mana-mana, ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke Indonesia.
Namun, kini Cina ternyata mengalami krisis populasi. Dalam sepuluh tahun terakhir, angka kelahiran telah merosot hingga titik terendah sejak 1960. Dulu Cina membatasi hanya satu anak saja dalam satu keluarga, tetapi kini Cina justru mendorong rakyatnya untuk memiliki anak lebih dari satu. Sayangnya, separuh dari wanita muda Cina enggan menikah karena tidak punya biaya untuk menikah, juga karena beratnya beban finansial setelah menikah.
Satu lagi negara Asia yang mengalami krisis populasi adalah Singapura. Negara kota ini memiliki kebijakan membolehkan para wanita membekukan sel telurnya, karena alasan kesehatan. Namun, selanjutnya hal ini menjadi bumerang. Para wanita menunda menikah dan punya anak, mereka memilih membekukan sel telurnya sebagai tindakan jaga-jaga jika suatu saat ingin menikah dan punya anak.
Akibat Kapitalisme
Krisis populasi yang terjadi di beberapa negara Asia tersebut adalah buah pahit penerapan sistem kapitalisme. Dalam kapitalisme, makna kebahagiaan adalah teraihnya materi. Itulah sebabnya masyarakat kapitalis menghabiskan hidupnya untuk bekerja mengejar materi sebanyak mungkin. Apalagi, dengan penerapan sistem ekonomi kapitalisme, tidak terwujud kesejahteraan yang hakiki. Memang negara tampak maju peradaban fisiknya, tetapi biaya hidup yang harus ditanggung penduduknya juga sangat besar. Dengan demikian, para pemuda harus berjuang mati-matian untuk bertahan hidup. Akibatnya, pernikahan dan memiliki anak dianggap sebagai beban, bukan sesuatu yang membahagiakan.
Demikianlah pandangan masyarakat yang tidak mendasari hidupnya dengan akidah Islam. Makna kebahagiaan yang salah dan sistem yang rusak telah merenggut sisi kemanusiaan mereka. Secara alami, manusia diciptakan memiliki naluri melestarikan jenis (gharizah nau’) sehingga mereka menyukai lawan jenis, ingin menikah, ingin punya anak, menyayangi keluarga, dan seterusnya sehingga terbentuk bangunan keluarga yang kukuh. Selanjutnya, keluarga-keluarga ini akan membentuk masyarakat yang kukuh pula.
Dengan terjaganya naluri melestarikan jenis, eksistensi manusia di muka bumi akan terjaga. Lebih dari itu, bangunan keluarga yang kukuh akan menjadi penopang peradaban yang cemerlang.
Islam Menjaga Kelestarian Manusia
Maha Benar Allah yang telah menciptakan manusia dan menetapkan mekanisme untuk menjaga kelestarian manusia. Allah Swt. berfirman,
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” (QS al-Hujurat: 13)
Allah Swt. menetapkan pernikahan sebagai jalan manusia memenuhi naluri seksualnya secara halal dan merasakan kebahagiaan. Allah Swt. berfirman,
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS ar-Rum: 21)
Dengan syariat pernikahan, manusia merasakan kebahagiaan berkeluarga. Dia juga memiliki keturunan yang meneruskan darahnya. Masyarakat dan negara juga tidak akan kekurangan sumber daya manusia, karena dari keluarga muslim akan lahir generasi Islam. Itulah sebabnya, di negeri muslim seperti Indonesia, masyarakat masih menjunjung tinggi syariat pernikahan. Hasilnya, angka kelahiran di Indonesia tinggi hingga diprediksi memperoleh bonus demografi pada 2030. Ini merupakan karunia yang harus disyukuri.
Namun, yang harus diperhatikan adalah pembangunan sumber daya manusia. Banyaknya manusia akan menjadi masalah jika kualitasnya rendah. Oleh karena itu, kita harus mendidik generasi muda muslim dengan ajaran Islam sehingga mereka menjadi generasi berkepribadian Islam. Mereka adalah generasi yang bertakwa dan sekaligus menguasai iptek untuk kebangkitan umat manusia. Ini harus menjadi agenda bersama seluruh umat Islam, karena para pemuda muslim inilah calon pemimpin dunia pada masa depan. Wallahualam. []