Oleh. Yuni Sulistiawati, S.E
Muslimahtimes.com–Demokrasi, itulah kira-kira sebutan bagi sistem pemerintahan yang dijadikan acuan mayoritas negara di dunia saat ini. Sistem yang menyatakan bahwa kedaulatan tertinggi ialah kedaulatan di tangan rakyat, sebagaimana founding father demokrasi, yakni Abraham Lincoln, Presiden AS ke-16 menuturkan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Indahnya slogan demokrasi tersebut membuat stigma seakan-akan dalam demokrasi suara rakyat adalah suara tertinggi dan kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat. Bahkan ikut berkembang juga istilah latin yang populer “Vox populi, vox dei” yang mengartikan bahwa dalam demokrasi suara rakyat adalah suara Tuhan. Namun benarkah demikian?
Selasa, 6 Desember 2022,Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) telah disahkan menjadi undang-undang oleh DPR-RI. Proses pengesahan RKUHP dihadiri oleh 18 anggota dewan dari setiap fraksi, adapun sisanya 108 anggota dewan hadir secara virtual dan lebih dari separuhnya yakni 164 anggota dewan lainnya, izin. Terdapat beberapa muatan pasal yang sangat mencolok, salah satu di antaranya ialah pasal 218 dan 240 yang intinya menyatakan bahwa penghinaan terhadap presiden dan pemerintah ataupun lembaga negara akan dikenai sanksi pidana. Pasal yang telah disahkan tersebut tentunya menuai kontroversi dari berbagai pihak, karena muatannya terindikasi sebagai pasal karet yang akan ditafsirkan secara bebas pada tiap rezim yang berkuasa. Suara dan kritik rakyat terhadap penguasa dapat dipidana atas nama penghinaan. Terlebih jika rakyat menyuarakan fakta ketidakadilan yang dirasakannya hari ini, tentunya sangat mudah untuk di mpidana.
Pengesahan undang-undang yang demikian telah menciptakan wajah pemerintahan yang antikritik dan merupakan aksi nyata pembungkaman terhadap suara rakyat di zaman ini. Sistem yang berslogan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat ini nyatanya tak seindah kedengarannya. Kenyataannya dalam sistem ini tak sedikit pun yang telah terpilih sebagai wakil rakyat mau melihat luka dan derita rakyatnya apalagi sekadar mendengar rintihan suara tangisan rakyatnya.
Kebijakan-kebijakan yang disahkan atas nama perwakilan rakyat justru jauh dari aksi demonstrasi yang diserukan rakyat. Hal demikian adalah wajar, sebab dalam sistem demokrasi, untuk mendapatkan suara terbanyak agar terpilih menjadi penguasa negeri tidaklah mudah, kampanye-kampanye harus masif disuarakan dan tentunya hal ini tidak memakan biaya yang sedikit.
Hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk mencalonkan diri sebagai bupati atau wali kota ialah sebesar Rp20 miliar sampai Rp30 miliar, sedangkan untuk gubernur atau wakilnya membutuhkan modal sekitar Rp100 miliar. Dengan biaya pencalonan yang begitu besar tidak segan-segan di antaranya berkoalisi dengan para elite kapital, pengusaha demi memenangkan suaranya. Selanjutnya utang budi pascakemenangan pemilu kepada elite kapital tak dapat dielakkan, janji manis yang dikampanyekan kepada rakyat telah sirna.
Penguasa berkongsi dengan pengusaha, mengesahkan segudang aturan yang pro kepada kalangan penguasa dan kalangan elite kapital. Termasuk dalam hal ini adalah mengesahkan kebijakan untuk memblokir suara-suara sumbang dengan klaim penghinaan demi memuluskan kebijakan-kebijakan pro oligarki. Mahal biaya demokrasi tentunya tak sebanding dengan penderitaan rakyat dan generasi. Lebih lagi, asas yang mendasari sistem ini adalah asas yang sekuler yaitu memisahkan agama dari kehidupan yang berarti menafikan Sang Maha Pencipta, Allah Swt., sebagai Al-Mudabbir yakni pengatur segala sendi kehidupan umat manusia. Sistem ini melegalkan manusia membuat hukum sesuai dengan keinginannya. Oleh karena itu, sifat manusiawi seperti serba terbatas, serba kurang inilah yang menjadikan aturan yang lahir dari tangan manusia ini sarat akan kepentingan segelintir golongan tertentu.
Hal ini sebagaimana telah disinggung juga oleh Gunnar Myrdal dalam bukunya yang bertajuk An America Dilemma bahwa demokrasi di tempat asalnya sekalipun yakni Amerika Serikat akan terus menciptakan pertarungan fanatisme antargolongan. Alhasil, pemerintahan dalam sistem demokrasi hanya akan memproduksi kebijakan yang pro pada segelintir golongan yang berkuasa, sementara sisi lainnya hanya sebagai regulator yang menambah beban derita golongan rakyat kecil yang nihil akan peri’ayahan.
Sudah semestinya umat beralih meninggalkan sistem rusak ini menuju sistem pengaturan yang hakiki, yakni sistem aturan yang dibuat langsung oleh Allah Azza Wa Jalla., Sang Khaliq yang menciptakan manusia dan yang Maha Mengetahui baik buruknya manusia. Maka menjadi suatu keharusan untuk menundukkan diri hanya kepada aturan Allah semata. Sejarah telah membuktikan, selama 13 abad lamanya sistem Islam yang memimpin umat manusia telah mencetak kegemilangan yang luar biasa. Dalam sistem Islam, setiap orang dapat mengemukakan pendapatnya secara bebas dengan berpedoman pada hukum syara yakni Al-Qur’an dan As-sunnah tanpa memandang status kedudukan mereka.
Hal ini tercermin dalam kepemimpinan para khalifah, salah satunya ialah tatkala amirul mu’minin, khalifah Umar bin Khattab mengeluarkan kebijakan pematokan mahar agar para wanita di zaman itu tidak berlebih-lebihan dalam meminta mahar hingga menyusahkan kaum Muslimin yang hendak menikah, sementara kemampuan ekonominya rendah. Mendengar kebijakan khalifah yang keliru tersebut, sorang wanita dari suku Quraisy bergegas mengingatkan sang amirul mukminin tentang kekeliruannya menetapkan kebijakan pembatasan jumlah mahar yang dilarang Allah swt., sebagaimana dalam surah An-Nisaa’ ayat 20. Maka, seketika itu khalifah Umar membenarkan perkataan wanita Quraisy itu dan mengakui kekeliruannya serta memohon ampunan kepada Allah Swt. Begitulah keadilan dirasakan oleh seluruh umat manusia dalam sistem Islam yakni Khilafah, sistem yang meletakkan kedaulatan tertinggi di tangan syarak, bukan di tangan manusia. Dengan begitu rahmat Allah akan dirasakan oleh seluruh alam, sebagaimana kalamullah dalam surah Al-Anbiya ayar 107.
Wallahu’alam bishawab.