Oleh. Asha Tridayana
Muslimahtimes.com–Perkembangan teknologi telah memberikan bermacam kemudahan bagi masyarakat dalam beraktivitas, termasuk dalam hal bertransaksi. Salah satunya melalui marketplace yang memberikan fasilitas jual beli secara online dengan variasi transaksinya yang semakin memudahkan pengguna, baik penjual maupun pembeli. Jarak bukan lagi menjadi halangan untuk menjangkau ke seluruh penjuru dalam mengembangkan usaha atau berbelanja khas suatu daerah. Pembeli juga dapat leluasa berbelanja tanpa perlu berdesakan atau berkeliling dari toko ke toko. Sementara penjual pun cukup bermodal gambar yang menarik untuk bisa menawarkan barang dagangannya.
Seiring waktu, proses pembayaran online pun semakin banyak pilihan. Sebagai contoh, fitur paylater atau membayar di akhir telah mulai dipromosikan. Hal ini dilakukan dalam rangka menarik minat belanja di tengah krisis ekonomi. Tidak sedikit masyarakat yang menginginkan produk tertentu tetapi terkendala biaya. Oleh karena itu, paylater dianggap sebagai solusi yang dapat membantu memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen tanpa beban. Namun, apabila tidak berhati-hati, kemudahan transaksi ini dapat menjebak masyarakat untuk bersikap konsumtif hingga berakhir pada tumpukan utang.
Relawan Edukasi Anti Hoaks Indonesia (Redaxi), Irmawati Puan Mawar pun menjelaskan bahwa fasilitas paylater ini mirip dengan kartu kredit yang memberikan batas berbelanja. Hanya saja, jaminan untuk paylater lebih rendah sehingga lebih menarik konsumen. Di samping transaksinya cepat dan efisien, sistem paylater ini juga berisiko besar. Karena jika terjadi keterlambatan, konsumen akan masuk daftar hita sehingga konsumen mesti disiplin membayar tagihan secara berkala. (https://digitaldonat.republika.co.id 15/11/22)
Persyaratan pendaftaran paylater juga lebih mudah dibandingkan sistem peminjaman lain. Paylater hanya membutuhkan identitas dan persetujuan ketentuan dari calon konsumen. Setelah itu, konsumen dapat menggunakan fasilitas paylater sekaligus memperoleh bermacam penawaran hingga potongan harga. Hal ini menyebabkan berbagai kalangan termasuk generasi muda yang baru mendapatkan Kartu Tanda Penduduk dapat memakai paylater. Padahal kalangan muda ini masih usia sekolah yang dapat dikatakan belum berpenghasilan sendiri secara tetap. Adanya paylater ini semakin memicu gaya hidup hura-hura dengan pengeluaran yang melebihi kebutuhan. Ditambah minimnya pengetahuan finansial menjadikan mudah terjebak dalam lilitan utang. (https://www.tintahijau.com 11/12/22)
Kata data Insight Center dan Kredivo melakukan survei terhadap 3.560 responden pada Maret 2021. Hasil yang diperoleh terdapat kenaikan sebesar 55 persen jumlah pengguna baru paylater selama pandemi berlangsung. Menurut peneliti Institute for Development of Economic Studies (Indef), Nailul Huda, yang mengutip data Otoritas Jasa Keuangan bahwa kesulitan membayar paylater dialami oleh kalangan pengguna dengan usia yang semakin muda dan belum memiliki pendapatan. Paylater lebih efektif menyerang generasi muda untuk konsumtif. (http://www.bbc.com 29/12/22)
Kehidupan yang menuntut serba instan dan hanya memenuhi kesenangan menjadi kebanggan kalangan muda. Mereka tengah dilanda gaya hidup konsumerisme dan hedonisme sehingga dengan mudah dimanfaatkan oleh para rentenir masa kini. Melalui kecanggihan teknologi seperti paylater, tidak sedikit kalangan muda terjerat lilitan utang. Kemudahan akses dan rendahnya jaminan yang ditawarkan semakin memberikan peluang bagi generasi muda yang tengah terobsesi dengan kehidupan ala Barat ataupun budaya korea (korean wave).
Parahnya, kondisi ini mendapat dukungan dari negara. Sistem jual beli online dengan berbagai bentuk transaksi dilegalkan bahkan difasilitasi dengan promosi yang semakin gencar. Seperti telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan, minimnya jaminan bahkan tanpa syarat penghasilan. Sehingga bagi kalangan masyarakat terlebih generasi muda, paylater menjadi angin segar di tengah keuangan yang pas-pasan dalam memenuhi gaya hidup. Padahal sistem paylater ini bentuk penjajahan finansial yang pastinya akan merusak masa depan.
Hal ini terjadi tidak lain karena serangan kapitalisasi dan liberalisasi yang telah mengacaukan pemikiran generasi muda. Orientasi kehidupan mereka telah bergeser pada capaian materi dan kepuasaan akan kesenangan semata. Tidak cukup hanya pemuda, negara yang semestinya mampu membentengi dari pemikiran dan budaya asing pun justru menjadi pengikutnya dengan menerapkan sistem kufur tersebut dalam segala aspek kehidupan.
Negara tidak lagi memegang peranan utama dalam kemaslahatan masyarakat. Bahkan semakin berlepas tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Negara membiarkan masyarakat mencari sendiri solusinya, yang pada akhirnya terjebak dalam jeratan utang. Sehingga tidak mengherankan jika sistem paylater
dan sejenisnya yang sejatinya merugikan justru diminati masyarakat, terlebih generasi muda.
Jelas akan berbeda ketika Islam diterapkan dalam kehidupan di segala aspek dari level keluarga, masyarakat hingga negara. Setiap individu akan tersuasanakan dengan Islam sejak kecil. Konsep pendidikan berpondasikan akidah Islam sehingga pemuda senantiasa berpikir dan bersikap sesuai syariat Islam. Tidak mudah tergoda dengan gaya hidup ala kapitalis yang tentu merugikan lebih-lebih melanggar aturan Allah Swt.
Negara pun bertanggung jawab penuh atas kemaslahatan masyarakat termasuk memfasilitasi kebutuhan pemuda untuk giat belajar dan mengkaji Islam. Karena penerapan sistem Islam dalam level negara akan mampu membentengi masuknya budaya dan pengaruh asing. Negara juga berwenang menegakkan hukum-hukum Islam agar senantiasa diterapkan oleh seluruh elemen masyarakat. Sehingga bukan hal mustahil terwujud generasi muda berkualitas dan berakhlak mulia. Rasulullah saw bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Wallahu’alam bishowab.