Oleh. Uqy-Chan
(Komunitas Ngopi, Ngobrol Seputar Opini)
MuslimahTimes.com – Akhir-akhir ini, perkara hijab dipersoalkan kembali. Kali ini penggunaan hijab terhadap pramugari yang seolah diskriminasi. Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) menyayangkan masih adanya maskapai penerbangan Indonesia yang melarang awak kabinnya mengenakan jilbab.
Ketua Umum Ikadi, KH. Ahmad Kusyairi, mengatakan adanya layangan mengenakan jilbab oleh maskapai penerbangan merupakan perlakuan diskriminatif berdasarkan agama. “Munculnya kasus maskapai penerbangan di Indonesia yang melarang pramugarinya berjilbab menimbulkan kesan bahwa seolah-olah ada perlakuan diskriminasi yang diterapkan oleh terhadap pramugari yang mendasarkan pada agama. Padahal sejak era reformasi yang diawali dengan dilakukannya amandemen konstitusi (UUD 1945), Indonesia menjadi salah satu negara yang juga berupaya untuk selalu menjunjung HAM.” (republika.co.id/22/01/2023).
Ironis, pelarangan hijab membuktikan bahwa hal itu merupakan bentuk diskriminasi terhadap pramugari. Sebenarnya di manakah letak HAM yang benar-benar menjunjung tinggi hak manusia dalam kebebasan beragama ?
HAM Membungkam Kebebasan Beragama
Siapa pun berhak mendapatkan hak dasar yang mutlak termasuk hak hidup, hak kebebasan berpendapat, dan hak memeluk agama sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi UUD 1945. Semua itu merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang wajib dilindungi dan dijunjung tinggi tanpa memandang status, suku, ras, dan agama. Meskipun pada kenyataannya seringkali ditemukan pelanggaran HAM seperti diperlakukan tidak adil alias diskriminasi. Anehnya, walaupun ada yang melangar HAM namun tak jarang berdalih atas nama HAM pula untuk melindungi dirinya dari berbagai jeratan hukum. Seperti pelanggaran konstitusi yang dilakukan dunia Barat terhadap Palestina adalah bentuk nyata kebencian terhadap umat Islam.
Selama ini dunia selalu mengagungkan HAM dan meminta dunia untuk menghormatinya. Padahal standar HAM tidak jelas ke mana arahnya. Sebab HAM lahir dari sistem sekuler liberal yang memisahkan agama dari kehidupan. Ide kebebasan bisa kebablasan, bisa salah menempatkan, bisa dijunjung tinggi dan bisa ditindas semaunya dari sang pemilik wewenang dan sang pemilik uang. Tak heran, bila masalahnya HAM lagi HAM lagi. Karena HAM nyatanya tidak memihak pada umat Islam, sebaliknya memihak pada kapitalis Barat yang sekuler. Sebab standar yang dipakai bukan lagi benar dan salah serta halal dan haram. HAM dapat membungkam kebebasan seorang muslim yang hendak taat menjalankan perintah Allah Swt.
Beberapa waktu lalu, azan dipersoalkan tidak boleh dengan pengeras suara alasannya mengganggu kenyamanan. Kemudian tidak boleh menggunakan atribut yang mengandung simbol agama karena menghormati penganut agama lain. Ceramah ustaz juga dibatasi, tidak boleh yang mengandung politik. Kini pemakaian hijab pun dilarang dan kembali dipersoalkan. Lalu apa gunanya narasi HAM ?
Fakta di atas telah menunjukkan bahwa faktanya HAM tidaklah murni menjunjung tinggi hak asasi manusia. Justru opini HAM menjadi alat untuk membungkam apa saja yang dianggap merugikan. Hal ini menunjukkan secara nyata permusuhan terhadap umat Islam yang ingin menjalankan aturan agamanya sendiri. Agama Islam menjadi tersudutkan, penganutnya mengalami diskriminasi, ayat-ayat Al-Qur’an diinjak-injak dan syariat Islam dilecehkan.
Miris dan geram hidup dalam negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini, justru jauh dari identitasnya sebagai muslim. Seolah tidak mengenal perintah dan larangan dari agamanya sendiri. Inilah bukti sistem kapitalis sekuler yang diterapkan di negeri ini, aturan Islam pun susah dijalankan. Karenanya umat Islam butuh suatu institusi yang dapat menerapkan Islam secara kaffah agar terikat dengan hukum-hukum Allah Swt.
Hijab Perintah Allah
Saat ini, hijab bukan lagi sesuatu yang asing dilihat dan dipakai oleh para muslimah, bahkan hijab dipakai bukan untuk kalangan tertentu apalagi untuk acara tertentu. Hijab merupakan perintah Allah Swt, sekaligus pelindung bagi kaum muslimah yang mengenakannya. Pun membedakannya dengan orang kafir.
Dalam QS. Al Ahzab : 59 “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“
Perintah Allah Swt dalam ayat di atas berlaku bagi semua muslimah yang sudah baligh atau dewasa. Perintah hijab bukan untuk diterapkan di negeri tertentu, namun semua negeri Islam. Dahulu, ketika turun kabar tentang perintah menutup aurat, maka seketika Shahabiyah Rasulullah saw bersegera melaksanakannya. Berikut hadis tentang wajibnya seorang wanita memakai jilbab ketika keluar rumah. Hadis riwayat Ummu Athiyah yang menuturkan,
“Rasulullah saw. memerintahkan kami untuk mengeluarkan para perempuan pada Hari Idulfitri dan Iduladha; para perempuan yang punya halangan, perempuan yang sedang haid dan gadis-gadis yang dipingit. Adapun perempuan yang sedang haid, mereka memisahkan diri dari shalat dan menyaksikan kebaikan dan seruan kepada kaum Muslim. Aku berkata, “Ya Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.” Rasul saw menjawab, “Hendaknya saudaranya meminjami dia jilbab.” (HR. Muslim)
Begitulah sikap Shahabiyah pada masa Rasul yang bersegera melaksanakan perintah berhijab dalam kondisi apa pun. Maka dalam kondisi saat ini tak ada alasan bagi muslimah untuk tidak berhijab. Pun tak boleh ada larangan bagi muslimah untuk berhijab. Karena hal itu sama dengan mengekang kebebasan beragama. Selain itu mengundang fitnah di mana-mana. Negara harus mendukung menerapkan perintah hijab ini dengan memberikan pemahaman yang benar tentang hijab. Apalagi dalam kondisi saat ini, sudah saatnya muslimah berhijab sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an, bukan karena tuntutan pekerjaan atau lainnya. Adapun larangan hijab maka hal itu sama dengan membuka kemaksiatan di segala sisi yang berakibat pada kerusakan moral di mana-mana.
Wallahua’lam bisshowab.