Oleh: Kholda Najiyah
Founder Salehah Institute
Muslimahtimes.com–Belum lama ini trending nikah di KUA, tanpa menggelar resepsi pernikahan setelah akad. Hanya ijab qabul, lalu foto-foto dan selesai. Hal Ini menjadi tren sejak era pandemi, yang mana memang ada banyak batasan jika mengadakan resepsi. Akhirnya, generasi milenial dan Z mulai menerima bahwa tidak masalah menikah hanya di KUA. Benarkah sekadar yang penting sah?
Perubahan Sudut Pandang
Banyak pertimbangan bagi seseorang dalam memilih jenis pernikahan. Ada yang ingin pernikahan megah dan mewah. Alasannya, menikah hanya satu kali seumur hidup. Harus dirayakan secara meriah. Undang sebanyak mungkin teman dan kerabat. Pilih gaun pengantin dan lokasi menikah yang diimpikan.
Segala sumber daya dikerahkan. Walaupun biayanya mahal, bahkan sampai berutang. Yang penting bisa menjamu banyak tamu undangan. Relasi dari pihak orang tua, mertua maupun kedua belah pengantin. Sayang, terkadang disusupi niat demi gengsi, atau agar balik modal.
Di sisi lain, ada juga yang punya prinsip bahwa menikah itu yang penting sah. Sebab, setelah sah, akan menanti perjalanan panjang rumah tangga yang membutuhkan materi. Daripada menghamburkan untuk pesta semalam, lebih baik untuk DP rumah, membeli furnitur atau biaya jalan-jalan berbulan madu misalnya. Intinya menghemat biaya dan dialokasikan untuk yang lain. Kadang terselip sikap pelit untuk menjamu tamu, meski sebenarnya mampu. Padahal resepsi juga anjuran agama.
Perlu diketahui, di masa lalu di era 80-90-an, masyarakat yang menikah di KUA saja, dipandang negatif. Dianggap miskin, menyembunyikan pernikahan, bahkan bisa difitnah hamil duluan. Bisa juga niat nikah siri alias tidak ingin diketahui pernikahannya.
Sekarang nikah di KUA malah dipopulerkan kembali dan disambut positif netizen. Dianggap keren, lebih sakral, lebih intim dan hemat biaya. Demikianlah budaya, akan selalu berubah. Hasil pemikiran manusia memang tidak abadi. Sesuatu yang dulu dibenci dan dicaci, bisa berubah digandrungi. Hal itu disebabkan oleh terjadinya pergeseran sudut pandang. Namun, budaya yang mana yang sebaiknya diterapkan, tentu harus diselaraskan dengan Islam.
Intimate Wedding
Generasi milenial dan Z, memiliki karakter yang berbeda dengan generasi baby boomers dan generasi X. Anak-anak muda itu cenderung lebih akrab dengan gadget dibanding berinteraksi dengan masyarakat luas. Mereka lebih banyak teman di dunia maya, dibanding di dunia nyata. Berbeda dengan generasi orang tua mereka yang memiliki banyak kerabat, teman dan kenalan yang luas di dunia nyata. Sebab, waktu itu belum ada internet.
Tampaknya hal itu juga berpengaruh terhadap konsep pernikahan. Misalnya, mengadakan resepsi sederhana dengan mengundang sedikit orang, atau yang populer disebut intimate wedding. Berkapasitas kecil, hanya dihadiri keluarga, kerabat dan teman dekat. Alasannya, lebih mengutamakan kualitas, seperti kehangatan suasana dan keakraban dengan tamu, serta hemat biaya. Meskipun, jika diadakan secara mewah, bisa saja anggaran juga membengkak.
Kelemahan intimate wedding ini, tentu saja masyarakat kecil tidak masuk list undangan. Padahal dalam Islam ada anjuran untuk mengundang tidak hanya orang-orang kaya, tapi juga faqir miskin. Selain itu, faktanya terjadi campur baur laki-laki dan perempuan, baik keluarga maupun tamu nonmahram secara intens. Seperti jogat-joget atau permainan seru agar pernikahan memorable.
Konsep pernikahan intim seperti ini, pernah muncul saat dunia dilanda Great Depression 1929-1939, yaitu karena kondisi ekonomi sulit. Akhirnya pernikahan tidak dirayakan karena tidak ada dana. Hal itu terulang di era pandemi pandemi 2019 lalu, sampai sekarang. Ada beberapa tokoh publik yang memilih intimate wedding ini hingga mulai populer sebagai budaya baru.
Populerkan Walimah Syar’ie
Sejatinya, sejak Islam datang, pernikahan yang bersifat sederhana sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw beserta sahabat dan kerabatnya. Misalnya pernikahan Nabi sendiri dengan istri-istrinya, atau pernikahan Fatimah az-Zahra putri beliau dengan Ali bin Abi Thalib.
Namun, tentu saja berbeda dengan intimate wedding zaman now, pernikahan digelar secara syar’ie. Karena itu, boleh saja memilih konsep pernikahan sederhana, namun harus jelas konsep dan fakta intimate wedding yang diselenggarakan. Apakah selaras dengan rambu-rambu Islam atau tidak. Apakah justru mengadopsi cara pernikahan ala Barat, seperti tidak menutup aurat secara sempurna, ada dansa-dansi, ciuman pengantin dan permainan yang menimbulkan ikhtilath.
Konsep walimah syar’ie punya ciri khas tersendiri yang tidak dilahirkan oleh budaya, tapi oleh syariat. Pernikahan inilah yang harus dipopulerkan di masyarakat agar menjadi budaya. Sebab, belum banyak masyarakat, bahkan muslim sendiri, yang paham. Mereka lebih didominasi mempraktikkan pernikahan berdasar adat dan budaya kesukuan.
Anjuran Walimah
Tujuan menikah adalah mengesahkan akad, berupa ijab qabul pernikahan oleh pihak berwenang. Mau di KUA atau di masjid atau di rumah, yang penting sesuai syarat dan rukun nikah. KUA hanyalah tempat. Namun, tidak cukup sah saja, Islam menganjurkan untuk mengadakan resepsi atau walimah. Hukumnya sunah muakad.
Dari Anas Bin Malik Ra: bahwa Nabi Saw melihat Abdurrahman Bin Auf ada bekas kuning, kemudian Nabi bertanya: Apa ini? Abdurrahman Bin Auf menjawab: saya telah menikah seorang perempuan dengan mahar emas lima gram, kemudian Nabi bertanya: semoga Allah memberkati. Adakanlah walimah walau hanya dengan menyembelih seekor kambing. (HR Bukhari).
Diriwayatkan pula dari Anas bin Malik RA, ia berkata, ‘‘Aku melihat Rasulullah SAW mengadakan walimah untuk Zainab, yang tidak pernah diadakan untuk istri-istri beliau lainnya, dan beliau menyembelih seekor kambing.’’
Dari Shaiyah binti Syainah, ia berkata: “Nabi S.A.W. menyelenggarakan pesta perkawinan dalam merayakan pernikahan dengan sebagian isteri-isterinya, dengan memasak makanan gandum dua mud (6 kg). Nabi SAW juga pernah mengadakan pesta perkawinannya dengan Siti Shafiyyah binti Huyayyin, cukup dengan hidangan bubur, samin, kurma, dan susu kental.” (HR Shahih Bukhari)
Jadi, usahakan setelah ijab qabul di KUA, tetap mengadakan resepsi walau sederhana. Karena, ada tujuan yang agung dalam walimah. Pertama, sebagai bentuk rasa syukur. Walimah dimaksudkan menghidangkan makanan untuk tamu. Makanan ini bersifat menjamu tamu dan sekaligus sedekah. Makanya yang diundang bukan hanya orang kaya, tapi juga faqir miskin.
Rasulullah saw bersabda, “Seburuk-buruknya hidangan adalah makanan walimah, yang diundang untuk menghadirinya hanyalah orang-orang kaya, sedangkan orang-orang fakir tidak diundang …” (HR Bukhari-Muslim)
Kedua, tujuan walimah adalah sebagai bentuk syiar atau pengumuman adanya pernikahan. Khususnya kepada teman dan kerabat. Dikumpulkan agar tahu. Meski saat ini sudah ada media sosial untuk meluaskan syiar pernikahan, namun tidak cukup. Sebab, ada tujuan ketiga, yaitu sebagai ajang silaturahmi dan menguatkan hubungan sosial. Dengan bertemu, saling mendoakan dan bercengkerama. Inilah tujuan walimah, mengapa penting adanya.
Satu lagi, saat resepsi, harus mengikuti rambu-rambu sistem pergaulan Islam: menutup aurat, tidak tabaruj, infishol sempurna (terpisah antara mempelai serta tamu untuk ikhwan dan akhwat), dan tidak ikhtilat. Harus pula memerhatikan adab, seperti makan tidak berdiri, menghabiskan hidangan yang diambil agar tidak terbuang sia-sia, tidak mengghibah pengantin maupun tamu lainnya.
Dukungan Sistem
Budaya walimah syar’ie belum dikenal luas di kalangan masyarakat. Terbukti masih dipandang aneh ketika mempelai dan tamu dipisah sempurna. Karena itu, harus dipopulerkan dan disosialisasikan seluas mungkin agar dipahami. Juga, dipraktikkan oleh umat Islam sehingga semakin membudaya. Tentunya ini lebih efektif jika ada dukungan sistem atau negara.
Melalui lembaga KUA, petugas bisa memberikan arahan kepada pengantin agar menggelar walimah syar’ie. Jika perlu difasilitasi, seperti penyediaan gedung yang murah atau bahkan gratis di lingkungan KUA, sehingga setelah selesai akad bisa menggelar resepsi di sana.
Namun, karena yang menikah dalam sehari bisa saja banyak, tentu tidak cukup. Sehingga, pernikahan di luar KUA juga hendaknya juga dipermudah. Misalnya akad di masjid. Lalu ada aula di lingkungan masjid yang bisa disewa murah atau gratis untuk resepsi.
Demikianlah, tak cukup menikah sah di KUA, usahakan ada anggaran untuk mengadakan walimah syar’ie, meski sederhana. Terpenting lagi, jangan sampai nikah sah di KUA justru didorong oleh tujuan seperti menyembunyikan pernikahan karena hamil duluan atau karena saking miskinnya alias tidak punya biaya.
Resepsi bisa tetap digelar dengan sumbangan kerabat dan tetangga, namun tidak dengan pamrih balik modal. Pernah Rasulullah SAW mengadakan walimah dan para sahabat mengumpulkan bahan makanan sebagai hidangan. Walhasil, jika konsep walimah syar’ie diterapkan, pernikahan akan jauh lebih berkah. Terbentuklah keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah sesuai harapan. Insyaallah.(*)