Oleh. Ari Sofiyanti
MuslimahTimes.com–Manusia memiliki kemampuan berpikir dan belajar dari pengalaman agar tak jatuh pada permasalahan yang sama untuk kedua kalinya. Peribahasanya, “Keledai saja tak jatuh dalam lubang yang sama”. Tapi tampaknya hal ini tak berlaku pada kasus kebakaran fasilitas vital Pertamina. Insiden kebakaran pada instalasi penting Pertamina telah terjadi berulang kali. Seperti yang pernah melanda pada tangki bahan bakar minyak (BBM) Balongan, Indramayu dan Jabar. Kemudian insiden kebakaran kilang BBM di Cilacap, Balikpapan, Riau dan beberapa fasilitas Pertamina lainnya.
Pada 2023 ini, insiden kembali terjadi di depo penyimpanan BBM Plumpang, Jakarta. Dampaknya, kerugian besar bukan hanya dialami oleh Pertamina tetapi juga warga yang tinggal di sekitarnya. Mereka harus kehilangan harta, benda bahkan menelan belasan korban jiwa dan puluhan lainnya yang masih dirawat di rumah sakit.
Kasus-kasus yang berulang terjadi ini seharusnya menjadi evaluasi mengenai tanggung jawab safety atau standar keamanan pada aset strategis dan berisiko tinggi. Ahli energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, mengatakan bahwa insiden berulang ini membuktikan adanya pengabaian terhadap sistem keamanan. Seharusnya Pertamina menggunakan sistem keamanan yang berstandar internasional, yakni dengan menerapkan sistem keamanan yang berlapis. Semua ini tentu memerlukan peran negara.
Selain lemahnya sistem keamanan dalam instalasi, ternyata terungkap pula bahwa standar jarak aman antara depo Plumpang dengan perumahan warga tak memenuhi syarat. Pada mulanya, depo Plumpang telah beroperasi dari tahun 1974. Saat itu hingga tahun 1980 buffer zone depo Plumpang dinilai masih sangat aman. Seiring meningkatnya urbanisasi, penduduk pun mulai memadati wilayah Tanah Merah. Populasi penduduk semakin banyak bagai jamur di musim hujan. Mereka mendirikan rumah-rumah di atas tanah yang seharusnya menjadi buffer zone secara ilegal. Kemudian warga pun diberikan surat Izin Mendirikan Bangunan. Surat IMB inilah yang menjadi alasan warga bahwa mereka telah legal tinggal di sana. Lantas, mengapa mereka diberikan izin? Padahal jelas berbahaya jika warga menempati area buffer. Para pakar pun mendesak untuk mengusut masalah perizinan berujung petaka ini.
Para warga enggan untuk direlokasi dari tempat tinggalnya. Padahal mereka mengerti bahaya selalu mengintai mereka. Apalagi tahun 2009 silam kebakaran serupa memang sudah pernah terjadi di depo Plumpang. Di antara kekukuhan itu, ada kekhawatiran terhadap nasib mereka. Relokasi artinya mereka harus mengais dari awal. Membangun rumah, mencari lapangan kerja, semua merintis dari dasar. Sementara, itu semua harus mereka lakukan sendiri, dengan tangan dan kekuatan mereka sendiri. Mereka tak bisa berharap negara akan melakukannya untuk mereka. Tengok saja ke belakang, saat mereka berbondong-bondong urbanisasi ke Jakarta, lalu menemukan Tanah Merah. Kesulitan ekonomi dan harapan memperoleh kesejahteraan di ibukota selalu menjadi pendorong warga melakukan urbanisasi. Mengapa mereka mengalami kesulitan ekonomi? Apakah di daerah mereka tak ada pekerjaan? Apakah mereka yang tak punya skill kerja? Jika diruntut, semua pertanyaan ini akan membuat kita sadar bahwa ekonomi, sosial, pendidikan dan bidang-bidang kehidupan lainnya tak berjalan. Atau dengan kata lain, negara tak berfungsi ideal.
Terkuaknya masalah ini sekaligus membuka mata kita bahwa kesalahan ini tak hanya berasal dari satu faktor. Ini adalah masalah pelik sistemis. Dalam sistem hari ini, rakyat dibiarkan mengais kebutuhannya sendiri. Entah mampu atau tidak mampu. Sementara itu kebijakan investasi memudahkan SDA Indonesia diprivatisasi oleh swasta. Kekayaan alam yang melimpah itupun dinikmati oleh korporasi, lalu rakyat kebagian polusi. Belum cukup sampai disitu, rakyat masih harus memeras keringat untuk membayar pendidikan dan kesehatan yang mahal. Belum lagi pajak, listrik dan air.
Kita sebagai muslim meyakini bahwa seluruh permasalahan harus dikembalikan pada Allah. Jika kita mengkaji Islam, ternyata Allah mewajibkan negara meri’ayah rakyat berdasarkan perintah dan larangan Allah. Dalam Islam satu nyawa manusia amatlah berharga dan pemimpin negara lah yang memikul tanggung jawab untuk melindungi rakyatnya.
“Sesungguhnya seorang imam itu laksana perisai.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sebuah perisai akan selalu berada di depan, yang menghalau segala bahaya dan melindungi orang di belakangnya. Maka dalam kasus instalasi berisiko tinggi seperti pertamina harus benar-benar diperhatikan sistem keamanannya. Meskipun depo Plumpang telah ditetapkan akan dipindah ke area pelabuhan milik PT Pelindo, jika sistem keamanannya masih lemah maka kebakaran bisa jadi terulang kembali. Kemudian bagi instalasi lainnya yang berada di kawasan berpenduduk harus memperhatikan jarak aman yang bisa ditinggali rakyat dari instalasi tersebut.
Dalam masalah urbanisasi yang didorong sulitnya mendapat kesejahteraan di daerah asal, Islam memiliki aturan sempurna dan sistematis. Negara menjamin kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan dengan mekanisme penafkahan oleh wali. Maka, negara wajib menyediakan lapangan kerja. Jika ada rakyat yang tidak memiliki wali, maka negara yang akan memelihara mereka. Kebutuhan kolektif seperti pendidikan, kesehatan, transportasi dan fasilitas umum lainnya ditanggung negara, semuanya disediakan gratis. Negara tidak boleh memosisikan diri sebagai penjual dan rakyat sebagai pembeli. Rakyat juga tidak boleh dipalak dengan pajak. Karena pajak dalam Islam hanyalah pungutan momentumal jika Baitulmal (APBN negara Islam) benar-benar kosong, sedangkan ada kebutuhan mendesak. Itupun negara hanya menarik pajak dari warga yang kaya.
Infrastruktur dan fasilitas publik yang sudah disebutkan di atas wajib ada pemerataan hingga ke pelosok daerah dengan kualitas baik, pun sesuai kebutuhan. Ingat apa yang Khalifah Umar bin Khattab lakukan ketika ada jalan rusak yang memerosokkan kaki keledai. Khalifah Umar bersegera memperbaiki jalan itu dan tidak membiarkan adanya korban lain bahkan jika itu seekor keledai.
Saat itu, Umar adalah Khalifah yang memimpin negara Islam yang mulia. Beliau memimpin penerapan sistem Islam dalam negara. Dan beliau takut murka Allah jika mengabaikan urusan rakyatnya. Maka dengan sekuat tenaga beliau menegakkan syariat Islam.
Semua itu adalah bukti kebenaran sistem Islam yang akan membawa rahmat dalam kehidupan. Allah telah menunjukkan dalil-dalil berupa janji, bahwa rahmat dan ampunan Allah akan senantiasa turun untuk penduduk negeri yang beriman dan bertakwa. Maka, bukti apa lagi yg kita inginkan agar kita yakin bahwa Islam sajalah satu-satunya harapan kita?