Oleh. Yulida Hasanah
(Aktivis Muslimah Brebes)
Muslimah times.com– “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (TQS. Al-Baqarah: 155-157).
Di dalam ayat ini, Allah Swt memberi informasi pada kita bahwa setiap hamba pasti akan didatangkan suatu ujian atau cobaan dengan sedikit ketakutan, takut sakit, takut miskin, takut akan masa depan, takut bangkrut, takut kehilangan, dan lain sebagainya. Ketahuilah bahwa hidup adalah merupakan perpindahan dari satu cobaan kepada cobaan yang lain. Cobaan atau ujian tidak selalu identik dengan kesusahan, sakit, bangkrut, kemelaratan dan lain-lain yang tidak menyenangkan hati, tapi cobaan bisa juga berupa kemudahan, kesuksesan, harta berlimpah dan jabatan yang tinggi.
Cobaan dan ujian bisa menjadi musibah atau nikmat tergantung cara bagaimana seseorang menyikapi (menerima) ujian tersebut. Hakikat musibah atau bencana adalah segala sesuatu (baik kesusahan maupun kemudahan) yang bisa menjauhkan manusia dari Allah swt. Sedangkan hakikat nikmat adalah segala sesuatu (baik kesusahan maupun kemudahan) yang bisa mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Jika diuji oleh Allah swt dengan kesusahan, menjadi semakin jauh dari Allah, maka kita telah gagal menghadapi ujian itu, sehingga menjadi sebuah musibah, seperti peribahasa: “sudah jatuh tertimpa tangga.” Sebaliknya jika diuji dengan kesusahan, semakin dekat kepada Allah maka kita telah sukses menghadapi ujian itu, sehingga menjadi nikmat dan anugerah. Jadi, pertanyaannya bukan mengapa Allah memberi kita ujian hidup? Tetapi bagaimana cara kita menghadapi ujian hidup ini?
Puasa di bulan suci Ramadan adalah sebagai momen terbaik untuk menahan hawa nafsu, melatih untuk bisa mengendalikan diri dan juga melatih kesabaran. Dan sebagai mukmin, kita mengetahui bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, meskipun penuh dengan ujian dan cobaan yang datang silih berganti. Tapi setidaknya ada dua hal yang kita usahakan dan terus kita latih agar bisa menjadi mukmin seperti yang Rasulullah saw sebutkan, beliau bersabda: “Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh perkara adalah baik baginya. Dan tidaklah didapati seorang pun hal tersebut melainkan pada diri seorang mukmin. Jika dia merasakan kesenangan maka dia bersyukur. Dan itu lebih baik baginya. Jika kesusahan menerpanya maka dia bersabar. Dan itu lebih baik baginya.” (HR. Muslim)
Berbicara tentang sabar, Imam Al-Ghazali di dalam kitab Ihya‘ ‘Ulumuddin memberikan pengertian sabar adalah sebuah ketahanan diri dalam menghadapi keadaan tanpa merasa gusar/gelisah, tidak mengeluh pada manusia. Baik keadaan itu senang ataupun susah. Imam al-Ghazali juga membagikan sabar menjadi tiga kelompok. Pertama, sabar dengan perintah-perintah Allah, yakni tidak mudah goyah dalam melaksanakan ketaatan pada Allah, atau konsisten dalam menjalankan perintah-perintah yang Allah wajibkan. Kedua, sabar dalam larangan-larangan Allah,yakni mampu bertahan untuk tidak melakukan kemaksiatan, kita tahu bahwa kemaksiatan itu bukan hanya tidak taat pada perintah Allah tapi juga melakukan apa-apa yang Allah larang, misalnya hal-hal yang mendekati zina. dan Ketiga, sabar dengan musibah Allah, ini ditunjukkan dengan sikap tidak mudah patah semangat dan mampu mencari solusi yang tepat dalam menghadapi musibah dan tidak mudah mengeluh.
Maka, melatih kesabaran di bulan ramadan ini, bulan yang menjadi madrasah terbaik bagi kita sangatlah penting karena semua manusia sejatinya dilahirkan tanpa kesabaran atau penuh keluh kesah. Dan kesabaran seorang muslim bisa meningkat dengan cara melatih diri dan pembiasaan.
Bulan ramadan juga menjadi momentum yang paling baik untuk meningkatkan kesabaran dengan cara menahan diri dari segala hal yang Allah larang, bukan hanya bersabar dalam menjalankan perintah puasa saja. Alquran menyebutkan kata sabar lebih dari 70 kali. Dalam banyak ayat, Allah memuji karakteristik kesabaran. Inilah salah satu sifat yang semestinya dimiliki orang-orang beriman. Baik dalam dimensi kesabaran seorang mukmin saat menghadapi ujian hidup maupun dimensi kesabaran dalam perjuangan menegakkan kebenaran.
Adapun dimensi kesabaran seorang mukmin saat ditimpa cobaan hidup. hal ini bisa kita temukan dalam kisah Nabi Ayyub A.S saat diuji dengan sakit dan penyakit selama 7 tahun, setelah Allah uji beliau dengan kehilangan putra putri tercintanya yang menjadi salah satu sumber kebahagiaan hidupnya, kehilangan kekayaan dan perniagaannya yang melimpah menjadi tidak tersisa sama sekali. Namun, beliau tak goyah keimanan dan ketaatannya pada Allah, bahkan semakin mendekat pada-Nya, memohon kekuatan agar mampu bersabar menghadapi ujian hidupnya.
Dalam hal ini kita bisa mengambil keteladanan dari Kesabaran Nabi Ayyub a.s bahwa beliau telah mengakses sinyal Allah terlebih dahulu, sehingga dirinya memiliki “kesabaran yang militan. Dan dari keteladanan ini juga kita bisa memahami bahwa sabar menunjukkan kata kerja aktif bukan pasif. Maka, sabar bukan berarti tidak berbuat apa-apa, pasif atau diam. Sabar adalah menuntut optimalisasi ikhtiar. Sabar juga bisa dilihat dari sikap ‘menikmati proses’ tanpa terganggu pada hasil akhirnya. maka saya yakin kehidupan ini penuh dan dekat dengan kebahagiaan, serta jauh dari kekecewaan. Dan bagi yang mampu melakukannya, jiwanya akan senantiasa diselimuti rasa syukur, karena sudah pasti proses yang dilakukan akan senantiasa memberikan kenikmatan dan rasa senang.
Begitupula sikap sabar pada dimensi ‘pejuangan’. Sabar menjadi harta paling berharga bagi para pejuang kebenaran, yakni pejuang Islam. Allah SWT berfirman:
﴿إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ﴾
Artinya:“Sungguh, Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (TQS. Az-Zumar: 10)
Telah berkembang opini yang rusak dan keliru atas konsep dan makna “sabar” di kalangan awam umat Islam di penjuru dunia. Kata sabar menjadi identik dengan diam atas kemungkaran dan kezaliman serta berpangku-tangan dari orang-orang zalim. Sikap mereka ini, mereka klaim sebagai bentuk dari keyakinan bahwa kesabaran akan berujung pada jalan keluar, bahwa Allah niscaya akan mengangkat kezaliman tersebut sebagai ganjaran atas kesabaran mereka.
Padahal begitu jelas hari ini umat Islam saat ini terpecah belah menjadi kurang-lebih 56 negara berbeda. Keseharian mereka berada dalam pengaturan yang bersumber dari aturan buatan manusia, kerusakan generasi muslim terjadi dimana-mana, ketertindasan umat Islam, pelecehan terhadap ajaran Islam, penghinaan terhadap Nabi Muhammad dan kitab suci Al- Qur’an. Semuanya dihadapi dengan sabar yang keliru. Yakni diam dalam kubangan kemaksiatan, kerusakan dan jauhnya umat Islam ini dari ketaatan pada Penciptanya. Maka, diam di hadapan kemungkaran bukanlah “sabar”, namun justru membantu orang zalim dengan kezalimannya. Bantuan itu berwujud membaur dan menganggap biasa kezaliman dan kemungkaran; karena diam adalah salah satu bentuk keridhoan.
Oleh karena itu, maksud dari sabar secara mutlak bukanlah berdiam diri dari menegakkan kewajiban-kewajiban. Karena, sabar terhadap kemaksiatan dan kemungkaran adalah haram. Maka, sabar dalam dimensi perjuangan adalah menegakkan kewajiban dan menjauhi keharaman dan “sabar” atas usaha ini dan “sabar” atas hasilnya. Maka, sabarnya umat adalah mengoreksi pemimpinnya sebagai amar ma’ruf nahi munkar, lalu bersabar terhadap apa yang mereka hadapi berupa perlawanan dan penolakan. Dengan demikian, terwujudlah makna sabar, yakni sabar di dalam ketaatan, bukan di dalam keharaman dan kemungkaran.
Maka, penting sekali kita meluruskan pemahaman terkait makna sabar ini agar tidak menjadi golongan orang-orang yang malah meridlai kezaliman, kemaksiatan dan kemunkaran yang ada. Sebagaimana Nabi Musa A.S dan para pengikutnya yang bersabar mhadapi kezaliman akut dari penguasa bernama Fira’un, yakni dengan memperjuangkan kebenaran hingga Allah memenangkan beliau dan para pengikutnya dan menghancurkan kekuasaan Firaun. Begitu juga kesabaran Rasulullah Muhammad dalam menegakkan Islam. beliau tidak diam dengan kerusakan akibat kejahiliyahan orang-orang kafir dan musyrikin. Hal ini dibuktikan dengan usaha mengubah tatanan kehidupan jahiliah menjadi tatanan kehidupan Islami yang dipenuhi keberkahan.
Semoga kita menjadi bagian dari orang-orang yang bersabar dalam ketaatan dan dalam menghadapi ujian akhir zaman. Sebagaimana yang Rasulullah saw. sabdakan, “Kelak akan datang suatu masa kepada manusia, saat orang-orang yang bersabar berpegang teguh dengan agamanya, di tengah-tengah mereka bagaikan orang-orang yang menggenggam bara api”.(HR. At Tirmidzi dan Asakir)
Kesabaran yang kita miliki teraktualisasi dalam upaya menyampaikan kebenaran, mengamalkannya, serta mampu menghadapi ujian di jalan Allah dengan tetap dalam ketaatan, tidak melakukan penyimpangan dan tidak lemah di dalamnya. Maka, akhwati yang dirahmati, bersabarlah hingga Allah Swt menyeru kita,
يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّةُ ٱرْجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً فَٱدْخُلِى فِى عِبَٰدِى وَٱدْخُلِى جَنَّتِى
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah pada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” Allahumma aamiin. Wallaahua’lam bishawab.