Oleh. Widi Yanti
(Tim Redaksi Muslimahtimes.com)
Muslimahtimes.com–Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI memberikan remisi sebagai kado di hari Idul Fitri 1 Syawal 1444 H tahun 2023 M. Remisi merupakan pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana yang berkonflik dengan hukum yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam perundang-undangan. Direktorat Jenderal Hukum dan Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kemkumham menyampaikan, 146.260 dari 196.371 narapidana beragama Islam di Indonesia menerima remisi khusus (RK) Idul Fitri 2023. Dalam pemberian remisi khusus ini, sebanyak 66.886 napi di antaranya merupakan pelaku tindak pidana umum. Dari segi kategori remisi khusus, terdapat 661 napi menerima RK II atau langsung bebas. (Kompas.com)
Terkait dengan wilayah penerima remisi, Sumatra Utara tercatat sebagai wilayah dengan narapidana penerima remisi terbanyak, yakni 15.515 orang. Disusul oleh Jawa Barat sebanyak 15.475 orang, dan Jawa Timur sejumlah 15.408 orang. (katadata.co.id)
Pemberian remisi merupakan penghargaan negara kepada narapidana yang selalu berusaha berbuat baik, memperbaiki diri, dan menjadi masyarakat yang berguna. Harapannya, remisi yang diberikan dapat memotivasi warga binaan untuk terus memperbaiki diri dan menghindari perbuatan yang melanggar hukum. Pada faktanya remisi bagi narapidana kasus korupsi berpotensi mengganggu stabilitas pemberian efek jera dalam sistem peradilan pidana. Sebagaimana disampaikan oleh peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Ramadhan Kurnia, keberadaan lembaga pemasyarakatan (Lapas) dimaknai sebagai hilir pemberian efek jera. Bila terus terjadi kelonggaran dalam pemberian remisi, kinerja penegak hukum mulai ranah penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dan peran institusi kehakiman bakal menjadi sia-sia.
Para mantan napi masih ada yang belum jera. Tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup dimasa sulit mendapatkan pekerjaan membuat gelap mata dan melakukan tindakan kriminal lagi. Ditengah masyarakat kapitalis yang memunculkan sikap hedonis dan individualis merajalela. Di samping itu paham sekuler yang melingkupi, menjadikan suasana keimanan dan ketakwaan individu melemah. Aturan agama (Islam) dianggap hanya mengatur ranah ibadah saja. Tentang perilaku bermasyarakat, dikembalikan pada kata hati masing-masing individu.
Jika dikembalikan pada pandangan pemerintah dalam hal Pemberian Remisi Hari Raya Idul Fitri tahun 2023 juga berdampak pada penghematan anggaran. Pemberian remisi akan mengurangi masa hukuman seorang narapidana sehingga memangkas biaya belanja bahan makanan narapidana tersebut. Jika demikian maka sangat disayangkan, demi penghematan namun disisi lain keamanan masyarakat kembali terganggu oleh ulah kriminal mantan napi.
Padahal peran negara sangat vital sebagai institusi penjamin keamanan dan kenyamanan warganya. Terbebas dari tindakan kriminal warga tak bertanggung jawab. Lalu bagaimana pandangan Islam tentang hal ini? Dilihat dari definisi tindakan kriminal adalah perbuatan tercela, dipandang dari hukum syarak (hukum Islam). Jika manusia melanggar perintah maupun larangan Allah, maka terkategori telah melakukan tindakan kriminal. Sehingga akan dijatuhi hukuman atau sanksi sebagai konsekuensi pelanggaran hukum Allah.
Dalam syariat Islam, pelaku kriminalitas akan mendapatkan sanksi, baik di dunia maupun di akhirat. Allah akan mengazabnya di akhirat dengan hukuman nyata, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al An’am: 115.
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّعَدْلًاۗ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمٰتِهٖ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
Artinya : “Dan telah sempurna firman Tuhanmu (Alquran) dengan benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah firmanNya. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui”
Dalam pandangan Islam, wewenang pelaksanaan hukuman ada pada tangan pemimpin negara yaitu Khalifah dan para hakim dalam institusi Khilafah. Hukuman yang dijatuhkan akan dapat menggugurkan siksaan di akhirat bagi pelaku kriminal. Hal ini disebut dengan istilah jawabir. Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda, “Kalian berbai’at kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak membuat-buat dusta yang kalian ada-adakan sendiri dan tidak menolak melakukan perbuatan yang ma’ruf. Siapa saja menepatinya maka Allah akan menyediakan pahala; dan siapa saja yang melanggarnya kemudian dihukum di dunia maka hukuman itu akan menjadi penebus (siksa akhirat) baginya. Dan siapa saja yang melanggarnya kemudian Allah menutupinya (lolos dari hukuman dunia), maka urusan itu diserahkan kepada Allah. Jika Allah berkehendak maka Dia akan menyiksanya; dan jika Dia berkehendak maka akan memaafkannya.” [HR Bukhari dari ‘Ubadah bin Shamit].
Sedangkan pemberlakukan hukuman akan menjadi sarana pencegah terjadinya perbuatan tindak kriminal yang baru, inilah yang disebut sebagai Jawazir. Sebagai contoh, ketika diterapkannya hukum qishash, maka qishash tersebut akan mencegah terjadinya tindakakan balas dendam kepada keluarga korban kepada pelaku atau keluarga pelaku.
وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيٰوةٌ يّٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Allah swt berfirman : “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” [TQS al Baqarah ayat 179]
Al-Alusi berkata dalam tafsirnya, Ruhul Ma’ani (2/1130), mengatakan, “Makna qishash sebagai jaminan kelangsungan hidup adalah kelangsungan hidup di dunia dan di akhirat. Jaminan kelangsungan hidup di dunia telah jelas karena dengan disyariatkannya qishash berarti seseorang akan takut melakukan pembunuhan. Dengan demikian, qishash menjadi sebab berlangsungnya hidup jiwa manusia yang sedang berkembang. Adapun kelangsungan hidup di akhirat adalah berdasarkan alasan bahwa orang yang membunuh jiwa dan dia telah diqishash di dunia, kelak di akhirat ia tidak akan dituntut memenuhi hak orang yang dibunuhnya.”
Demikianlah Islam mengatur, untuk terwujudnya kenyamanan bermasyarakat. Jika ada pelanggaran akan ada sanksi yang menjerakan. Ini hanya akan bisa terlaksana di bawah kepemimpinan tunggal Khilafah Islamiah.