
Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)
MuslimahTimes.com – Problem kusut masalah perburuhan belum juga tuntas. Salah satu yang kurang mendapat perhatian luas adalah soal pekerja anak. Jumlahnya tidak main-main. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, pekerja anak di Indonesia masih ada 1,01 juta pada 2022. Angka ini turun tipis dibanding tahun 2021 di angka 1,05 juta. Mereka berusia 5-17 tahun.
Sebanyak 1,81% anak berjenis kelamin laki-laki dan 1,68% anak perempuan. Jumlah pekerja anak dengan rentang usia paling muda yaitu 5-12 tahun sebanyak 1,52%, lalu umur 13-14 tahun sebanyak 2,04% dan sisanya 2,12% adalah pekerja anak berumur 15-17 tahun. Tentu saja, mayoritas atau 16,32% mereka sudah tidak sekolah. Sebanyak 1,31% masih sekolah dan 0,32% tidak/belum pernah sekolah.
Sebenarnya, pemerintah sudah mencanangkan visi Indonesia bebas dari pekerja anak pada 2022 lalu. Namun melihat masih ada sejuta lebih pekerja anak, artinya program belum berhasil. Mengingat masih kecil, bekerjanya anak-anak ini rawan membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral.
Dan yang paling bahaya adalah jika anak-anak terjerumus di lembah hitam. Seperti penjualan anak, pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran dan produksi atau pertunjukan porno. Na’udzubillahi mindzalik.
Eksploitasi Fisik dan Waktu
Salah satu jenis pekerjaan anak yang angkanya tersembunyi adalah sebagai pembantu rumah tangga. Survei Nasional mengenai Ketenagakerjaan 1999 menunjukkan bahwa 199.860 anak-anak berusia antara 10-18 tahun bekerja sebagai PRT (fisipku.tripod.com). Namun, banyak yang meyakini jumlah sesungguhnya jauh lebih besar. Tentu ini patut menjadi perhatian.
Tak hanya di Indonesia, anak-anak sebagai PRT ini juga marak di seluruh dunia. Pekerjaan ini tidak mensyaratkan usia, tidak mementingkan ijazah dan kecakapan khusus selain pekerjaan rumah tangga. Tidak butuh modal penampilan cantik dan kecerdasan otak juga. Yang penting mau dibayar untuk beres-beres rumah dan atau memasak.
Namun, jenis pekerjaan ini cukup rentan dengan eksploitasi. Hal ini karena relasi PRT dan majikan kerap menerapkan tatanan feodal patron-klien, bukan akad kerja yang sejajar. Majikan berada di posisi lebih tinggi dan berkuasa penuh atas PRT. Tanpa ada akad kerja dan kesepakatan tertulis sebagaimana karyawan dalam sebuah perusahaan.
Di sinilah kerap terjadi eksploitasi fisik, mengingat tak sedikit yang akadnya tidak menyebutkan dengan jelas jenis pekerjaannya. Akibatnya, hampir seluruh jenis pekerjaan rumah tangga dipegang. Apapun yang diperintahkan majikan, harus dilakukan.
Demikian pula terjadi eksploitasi waktu, khususnya bagi PRT anak yang menginap. Di sini tidak ada batasan jam kerja yang jelas. Akibatnya, mereka tidak punya waktu untuk istirahat. Bahkan seperti budak yang melakukan apa saja, hanya karena majikan memerintah.
Kondisi para PRT anak ini paling sulit untuk dijangkau dan diberi perlindungan. Karena tempat kerjanya di rumah-rumah dan bukan di pabrik-pabrik, sehingga tidak terdata. Tidak terdeteksi. Kerap kali juga tidak terakomodasi hak-haknya, karena tidak ada kontrak hitam di atas putih. Mereka dipekerjakan atas dasar kekeluargaan.
Beruntung jika majikan baik. Para PRT anak cenderung terikat dengan mereka. Ada yang bekerja sejak belia hingga belasan tahun lamanya, sampai sang majikan beranak-cucu. Mulai dari dipanggil mbak-mbak, sampai nenek-nenek. Bahkan, jika cocok dengan majikan, bisa turun temurun mengabdi di rumah majikannya. Anak cucunya kelak juga menjadi pembantu yang mengabdi di rumah itu. Semua ini disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan, sehingga saat belia tidak sempat mengejar impiannya sendiri. Di sinilah lingkaran kemiskinan tidak pernah terurai.
Hak Terabaikan
Mengapa anak-anak bekerja? Kebanyakan bukan keputusan sendiri, melainkan karena perintah orang tua. Tak sedikit anak-anak yang dipaksa untuk membantu perekonomian keluarga. Mereka hanya menjadi objek dan orang tuanya sebagai subjek yang memutuskan nasib mereka.
Memang, tidak ada salahnya membantu ekonomi orang tua ketika keduanya kondisi renta. Masalahnya, ini terjadi karena sistem sekuler kapitalis gagal memampukan para orang tua untuk menafkahi anak-anaknya. Orang tua atau wali banyak yang miskin hingga tidak mampu memberikan nafkah yang layak pada buah hati tercinta.
Orang tua ini masih gagah, mampu bekerja dan seharusnya bertanggung jawab penuh atas kehidupan dan kesejahteraan anak-anaknya. Namun, sulitnya mendapatkan pekerjaan dan gaji yang layak telah mereduksi peran ini. Ditambah negara juga tidak ambil peran strategis untuk mengentaskannya.
Dengan bekerja, hak anak-anak otomatis terabaikan. Selain tenaga dan pikirannya diperas, anak-anak kehilangan waktunya di masa kecil untuk giat belajar, bermain dan mengembangkan kreativitas.
Padahal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, jelas menyebutkan bahwa hak anak adalah mendapatkan hak hidup, dan hak tumbuh kembang. Hak anak adalah menyelesaikan pendidikan dasar pada usia 15 tahun.
Menurut UU tersebut, boleh saja anak-anak pekerja, namun dengan ketentuan ketat, yaitu saat sudah berumur antara 13 dan 15 tahun. Itu pun tidak boleh melakukan pekerjaan yang menghambat atau mengganggu perkembangan fisik, mental, dan sosial anak. Namun faktanya, hal itu jauh dari harapan.
Islam Generasi Produktif
Dalam Islam, anak-anak sampai usia baligh tidak punya kewajiban untuk menafkahi dirinya sendiri maupun orang tuanya. Mereka tidak menanggung dirinya, melainkan orang tua atau walinya. Jika orang tua atau walinya tidak ada atau tidak mampu, negaralah penanggung-jawabnya.
Apakah anak-anak ini boleh sambil bekerja? Sejatinya, Islam tidak membatasi usia ketika berbicara soal tenaga kerja. Di masa lalu, anak-anak biasa ikut menggembalakan binatang atau berdagang. Anak-anak boleh saja turut bekerja dalam makna menghasilkan uang.
Zaman sekarang, banyak anak-anak berbakat dan potensial yang mampu menghasilkan uang dengan kecakapannya. Ada yang sejak kecil sudah tampak bakat menulisnya hingga menghasilkan buku lalu mendapat uang. Ada yang menjadi content creator dan menghasilkan cuan.
Namun, merujuk pada kewajiban nafkah, tidak ada kewajiban anak-anak untuk menafkahi dirinya sendiri. Orang tua tetap wajib menafkahi anak hingga baligh dan mampu mencari nafkah sendiri, khususnya anak laki-laki.
Adapun anak perempuan, selamanya dia berada di bawah tanggung jawab orang tua atau walinya. Nafkah lepas dari keduanya saat si anak perempuan menikah dan berpindah ke pundak suaminya.
Maka, lebih utama jika anak-anak tidak dibebani pekerjaan untuk mencari uang. Tugas utama mereka adalah belajar, mempersiapkan diri menjadi generasi penerus yang kelak bermanfaat bagi umat, bangsa dan negara.
Oleh karena itu, arah pengentasan pekerja anak-anak adalah mengembalikan mereka pada habitat utamanya yaitu dunia pendidikan. Bukan sekadar mengalihkan jenis pekerjaan, dari yang berbahaya atau kurang menghasilkan, ke sektor kreatif yang lebih nyaman dan menjanjikan, misalnya.
Anak-anak harus dibina menjadi pribadi yang selalu haus ilmu. Belajar dan mengejar mimpi adalah orientasi hidupnya. Bukan mengejar materi sebagaimana anak-anak yang dididik di bawah asuhan ideologi sekuler kapitalisme saat ini. Belajar, bersekolah dan bekerjanya mereka semata-mata berorientasi materi. Lihat saja, ada yang setelah sukses menghasilkan kekayaan, lantas enggan menuntut ilmu ke jenjang yang lebih tinggi.
Beda dengan sistem Islam yang melahirkan generasi anak-anak yang menjadi peletak dasar pembentukan peradaban mulia. Melahirkan generasi multitalenta dengan kemampuan luar biasa untuk berkreasi dan berinovasi bagi kepentingan umat. Belajar untuk menghasilkan temuan yang berguna. Bekerja untuk mencari bekal dalam belajar ke level selanjutnya. Demikianlah seharusnya poros hidup anak-anak masa dengan peradaban mulia ini.(*)