Oleh. Widi Yanti, SE
(Tim Redaksi Muslimahtimes.com)
Muslimahtimes.com —Dalam menjalankan pemerintahan di suatu desa, pemerintah desa tentu memerlukan sejumlah dana. Berdasarkan Pasal 72 UU 6/2014jo. Perppu 1/2020, desa memiliki beberapa sumber pendapatan. Jika dirinci, pendapatnya berasal dari pendapatan asli, alokasi APBN, bagian hasil pajak dan retribusi daerah, bantuan keuangan dari APBD provinsi dan APBD kabupaten/kota, hibah dan sumbangan dari pihak ketiga, serta dana desa. (hukumonline.com). Dana desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi yang ditransfer melalui APBD kabupaten dan kota yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan. Prioritasnya masih akan diarahkan untuk pengentasan kemiskinan ekstrem, stunting, kemudian ketahanan pangan.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023 pemerintah sendiri menganggarkan dana desa sebesar Rp70 triliun. Jumlah tersebut meningkat 3,09 persen dibandingkan dalam outlook 2022 yang sebesar Rp67,9 triliun. Besaran dana desa selama ini dianggarkan setara dengan 2,28% dari target belanja negara. Setiap tahun diperkirakan sejumlah Rp1 miliar lebih bagi tiap desa.
Meski dana itu cukup besar, namun Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) menuntut agar dana desa sebesar 10 persen bersumber dari APBN. Dana itu juga dinilai berfungsi mendukung program nasional dan daerah, di antaranya adalah penanganan stunting, pengentasan kemiskinan, dan penciptaan lapangan pekerjaan. Hal ini ditanggapi positif oleh Badan Legislatif DPR RI. Dengan mengusulkan kenaikan besaran dana desa dan menyepakati masuknya 19 poin perubahan dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (RUU Desa). Salah satu poin revisi UU itu yakni penambahan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun.
Mengamati dari fakta yang terjadi, kuat dugaan bahwa upaya merevisi UU Desa, berkaitan erat dengan kepentingan jelang Pemilu 2024. Upaya mendulang suara melalui institusi desa. Dengan kebijakan kenaikan jumlah dana desa dan bertambahnya masa jabatan kepala desa akan menjadi cara untuk mendapatkan “imbalan” melalui dukungan warga desanya.
Di sisi lain, peluang penyimpangan penggunaan dana desa sangat besar. Mengutip laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), pada 2022 ada 155 kasus korupsi yang terjadi di sektor ini dengan 252 tersangka sepanjang tahun lalu. Jumlah itu cukup membuat miris, karena angka korupsi dana desa setara dengan 26,77% dari total kasus korupsi yang ditangani penegak hukum pada 2022. Kemudian baru disusul korupsi di sektor utilitas, pemerintahan, pendidikan hingga sumber daya alam. Angkanya pun meningkat satu kasus dibandingkan pada 2021 yang sebanyak 154 kasus korupsi di sektor desa.(katadata.com)
Permasalahan menjadi kompleks. Tidak hanya tentang pengurusan masalah pemenuhan kebutuhan masyarakat yang salah sasaran tersebab keinginan memperkaya diri, namun sistem demokrasi yang mengarah pada politik transaksional. Peran dari tatanan kehidupan sekuler menjadikan individu berperilaku sesuai kata hati. Tidak menjadikan standar halal haram dalam perbuatannya. Godaan gemerlap duniawi mampu mengalahkan keyakinannya akan aturan Allah.
Dalam urusan ekonomi, Islam mempunyai pandangan yang khas. Pengelolaan APBN, dilakukan oleh lembaga khusus tempat menerima dan mengeluarkan, yaitu Baitulmal. Dalam penyusunannya, pos pendapatan dan pengeluaran telah ditetapkan oleh syariah. APBN yang telah disusun dan ditetapkanakan menjadi UU, yang harus dijalankan oleh seluruh aparatur pemerintahan. Pengaturan keuangan bersifat terpusat. Sehingga akan mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga negara, baik pangan, papan dan sandang.
Islam menetapkan adanya jaminan negara dalam memberikan pelayanan, kesehatan, pendidikan dan keamanan bagi seluruh warganya. Dana yang akan dipergunakan diperoleh melalui pengelolaan milik umum. Seperti hasil tambang dalam jumlah besar, misal : minyak bumi, emas, perak, besi, tembaga, nikel, dll. Pengelolaannya dijalankan sesuai ketentuan syariah, tidak boleh dimiliki individu. Sehingga distribusi kekayaan dan kemakmuran akan merata. Setiap individu di dorong untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara yang halal dengan bekerja. Disamping ada anjuran untuk bersedekah, hibah dan pinjam meminjam tanpa riba. Jika ada yang tidak mampu, maka negara akan menanggungnya.
Pengaturan ekonomi tersebut hanya ada dalam sistem Khilafah. Sebagai institusi pelaksana hukum-hukum Islam secara keseluruhan.
Dalam sistem pemerintahannya, setiap penguasa yang berada di bawah komando Khalifah akan dipilih secara langsung oleh khalifah, seperti wali (setingkat gubernur), amil (setingkat kab/kota), dan mudir (setingkat desa). Tidak ada pemilihan kepala per desa atau wilayah sebagaimana praktik pemilu demokrasi. Selain untuk efisiensi dan efektivitas waktu, hal itu mencegah terjadinya politik uang, transaksional, dan korupsi.
Dengan demikian, kebijakan untuk menaikkan anggaran dana desa bukan merupakan solusi mendasar dari berbagai ketimpangan di tengah masyarakat. Namun hanya dengan pelaksanaan hukum-hukum Allah secara total yang secara pasti menjanjikan kesejahteraan.