Oleh. Ari Sofiyanti
(alumni Biologi Unair)
MuslimahTimes.com – Allah telah menciptakan hutan, sebuah ekosistem kompleks yang sangat penting dan berkaitan dengan seluruh mekanisme kehidupan di muka bumi. Allah juga telah menurunkan dan menjelaskan aturan-aturan untuk menjaga kelestarian hutan, bagaimana manusia mengelola dan memanfaatkan hutan sehingga keseimbangan alam tetap terjaga.
Namun miris, pemanfaatan hutan kini dikuasai oleh sebagian manusia yang tidak bertanggung jawab. Seakan mengesampingkan dampak buruk yang terjadi akibat eksploitasi hutan untuk keuntungan sebesar-besarnya.
Di negeri Indonesia, negeri yang kaya akan ekosistem hutannya juga merupakan negara dengan tingkat kejahatan hutan yang tinggi. Perambahan hutan telah terjadi di negeri ini selama bertahun-tahun. Karhutla akibat pembukaan lahan kelapa sawit terjadi hampir setiap tahun. Berdasarkan data dari KLHK dari Januari hingga Juni 2023 ada 28.019 hektare hutan dan lahan yang terbakar. Di antaranya hutan Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil (GSK) Bengkalis.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Uli Arta Siagian, menyebut karhutla sebagai konsekuensi dari perubahan iklim yang memburuk. Aktivis lingkungan hidup bahkan khawatir kebakaran hutan tahun ini akan lebih buruk ketimbang 2015 dan 2019. Akan tetapi, kita tidak bisa melupakan akar masalah dari karhutla yang berulang dan akhirnya memperparah perubahan iklim juga, yaitu ekspansi pemberian izin yang masif terhadap korporasi. Data WALHI menyebutkan “titik-titik api karhutla masif terjadi di wilayah-wilayah konsesi perusahaan”, baik di konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun di konsesi perkebunan sawit.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata, juga telah menyampaikan penyebab dominan kebakaran hutan dan lahan, yakni kerusakan ekosistem gambut. proyek-proyek perusahaan besar seperti sawit dan food estate inilah yang memperparah kerusakan ekosistem gambut. Anehnya, pemerintah tidak pernah tegas mengatasi akar masalah ini. Buktinya Menko Marves, Luhut Binsar Panjaitan, malah mengatakan pemerintah akan memutihkan 3,3 juta hektare kebun sawit dalam kawasan hutan. Pengampunan terhadap korporasi yang beraktivitas ilegal ini telah dilegalisasi dalam undang-undang dan peraturan pemerintah. Artinya pemerintah mengizinkan korporasi-korporasi itu tetap beraktivitas mengambil keuntungan dalam kawasan hutan walaupun telah melakukan pelanggaran, seperti pembakaran hutan dan lahan serta perampasan tanah yang menyebabkan konflik dengan masyarakat.
Tak hanya itu, kejahatan lingkungan yang mereka lakukan telah menyebabkan bencana banjir, longsor, kekeringan dan kebakaran. Semua kerugian ini lagi-lagi rakyat yang menanggung. Maka tak heran jika Walhi menganggap langkah itu adalah tunduknya pemerintah kepada korporasi sawit dan rentan jadi ruang transaksional di tahun politik.
Kejahatan terhadap alam akan terus terjadi tanpa penyelesaian berarti selama kita tetap mengadopsi sistem sekulerisme kapitalisme. Buktinya jelas, motif dari eksploitasi hutan adalah keuntungan materi yang didukung oleh legalitas undang-undang. Meskipun banyak dari rakyat berharap undang-undang dan kebijakan akan lebih memperhatikan kelestarian lingkungan, tapi nyatanya pasal-pasal itu mudah saja dibeli oleh kapitalis. Lantas, kepada siapa lagi kita berharap?
Kembali di awal paragraf pembahasan tulisan ini, tentu saja jawabannya adalah kembali kepada Allah yang sudah menciptakan hutan, alam dan seisinya. Jangan lupa, bahwa Allah juga telah menurunkan aturan Islam sebagai mekanisme untuk manusia menjalankan kehidupannya di bumi termasuk juga bagaimana interaksi kita dengan alam. Maka, kaidahnya undang-undang itu adalah syariat Islam dari Allah. Manusia tidak bisa membuat aturan-aturan sendiri yang menyimpang dari syariat. Peran manusia adalah mengadopsi hukum-hukum syariat itu.
Manusia yang berhak melegalisasi syariat Islam agar dijalankan oleh rakyat adalah pemimpin, yaitu Khalifah. Khalifah bertanggungjawab mengurusi urusan umat dan melindungi rakyat.
“Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bagaikan perisai, Khalifah berdiri di depan umat dan menjadi tameng pelindung kita, tak terkecuali melindungi alam. Contohnya adalah Khalifah Umar bin Khattab. Beliau pernah menemui lubang di jalanan lalu beliau menuturkan, “Seandainya seekor keledai terperosok ke sungai di Kota Baghdad, nicaya Umar akan dimintai pertanggungjawabannya dan ditanya, ‘Mengapa engkau tidak meratakan jalan untuknya?’“. Begitulah perlindungan Khalifah terhadap negaranya. Sekalipun itu adalah seekor fauna.
Telah banyak teladan sejarah Khalifah-Khalifah terdahulu yang berupaya menjaga kelestarian lingkungan karena mereka memahami perintah Allah dan Rasul agar mencintai lingkungan. Tidak ada satu pun ayat atau hadis yang melegalkan perusakan alam atau eksploitasi alam. Apalagi menyerahkan eksploitasi itu kepada korporasi asing. Islam mewajibkan pengelolaan alam untuk diambil manfaatnya dalam batas-batas tertentu sehingga tidak sampai merusak keseimbangan ekosistem. Dalam batasan pengelolaan itu, pasti cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan manusia. Karena dalam Islam kita akan diajarkan konsep kebutuhan dan qona’ah, jadi rakyat tidak akan memiliki perilaku hedonisme dan konsumtif. Inilah perisai yang melindungi hutan. Mewujudkan perisai ini adalah satu-satunya solusi sahih. Terlebih lagi, ini adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslim.
Wallahu a’lam.