Oleh. Novita Sari, S.I.Kom
Muslimahtimes.com–Lagi dan lagi, bentuk islamofobia ditunjukkan secara terang-terangan oleh para pembenci Islam. Al Qur’an, yang merupakan kitab suci umat Islam, kembali dilecehkan dengan cara dirobek dan dibakar oleh seorang pemuda asal Irak yang pindah ke Swedia bernama Salwan Momika dengan dalih mengkritik Islam, dan menganggap Islam adalah ancaman terhadap nilai-nilai di Swedia.
Kejadian ini tentu saja memancing emosi jutaan umat muslim di seluruh dunia. Kecaman dan hujatan atas tindakan yang menghinakan Islam tersebut sangat ramai baik secara langsung maupun melalui media sosial. Kementrian Luar Negeri Indonesia dalam cuitannya “mengecam keras aksi provokatif” dan menyatakan “tindakan ini sangat mencederai perasaan umat Muslim dan tidak bisa dibenarkan” (bbc.com/Indonesia – 30/06/2023)
Negara-negara mayoritas penduduk Muslim seperti Turki, Maroko dan Irak pun turut mengecam tindakan ini. Sejumlah pejabat Turki mengutuk keputusan pihak berwenang Swedia yang mengizinkan tindakan yang menghinakan Al Qur’an tersebut. Irak menyebut aksi tersebut sebagai tindakan “rasis” dan “tidak bertanggung jawab”. Maroko juga mengecam pembakaran Al Qur’an dan memanggil pulang duta besarnya untuk Stockholm. (voaindonesia.com – 30/06/2023)
Namun, apakah cukup hanya dengan kecaman, kutukan, kemarahan? Apakah cukup hanya dengan menarik duta besar Negara? Apakah cukup dengan menarik diri dari kerja sama antarnegara yang melakukan penghinaan tersebut? Rasanya sudah terlalu banyak bentuk penghinaan yang dilakukan oleh para pembenci Islam. Mulai dari membuat karikatur Rasulullah saw, menghina beliau saw, membakar Al Qur’an, memfitnah Al Qur’an dan lain sebagainya. Bahkan tidak sedikit pula dari tindakan yang menghinakan Islam itu mendapatkan izin dan legalitas dari pemerintahan negara terkait.
Dengan begitu banyaknya penghinaan yang dilakukan terhadap Islam, para pemimpin hanya mampu bertindak sebatas pada kecaman. Mereka tidak ada yang mampu bertindak tegas terhadap para penghina Islam dengan dalih menyerahkan pada kedaulatan hukum masing-masing Negara yang bersangkutan. Bahkan di Indonesia sendiri ada yang berpendapat untuk tidak perlu marah-marah dalam menanggapinya karena Al Qur’an tetap akan hidup. “Mereka itu tidak tahu isinya, jawab saja dengan prestasi keilmuan dan peradaban” kata Prof. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). (bbc.com/Indonesia – 30/06/2023)
Jika demikian, maka tentu kita mempertanyakan, di mana peran para pemimpin dalam membela Islam? Jika pemimpin tidak bertindak tegas, maka siapa lagi yang akan menjaga kehormatan Islam dari para pembencinya? Inilah kondisi yang dihadapi umat saat ini. Kehormatan pemimpin dalam memberikan perlindungan terhadap urusan agama nihil. Sehingga umat kehilangan perisai sementara pembenci merasa bebas menghina dan menyudutkan Islam.
Maka tidak heran jika Rasulullah saw pernah bersabda, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas hidangan.” Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya jumlah kami saat itu?” Beliau bersabda, “Bahkan, kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kalian seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud)
Padahal di dalam Islam, memberikan perlindungan, menjaga kehormatan Islam dan umatnya, itu menjadi tanggung jawab pemimpin. Tidak sedikit sejarah mencatat bahwa saat Islam ditegakkan, kehormatan, keamanan dan perlindungan terhadap Islam dan umatnya begitu dijaga oleh para pemimpinnya. Banyak penaklukan bangsa-bangsa yang dilakukan oleh kepemimpinan Islam, karena kecerobohan mereka dan penguasanya menghina Islam dan umatnya. Ketegasan pemimpin Islam membuat bangsa lain tidak berani bertindak semena-mena terhadap Islam dan kaum Muslim. Dengan penuh wibawa dan keberanian, penguasa Muslim senantiasa siap mengangkat senjata bilamana Islam ataupun kaum Muslim diusik.
Kepemimpinan ideal seperti ini, hanya akan hadir ketika umat menyadari akan pentingnya menerapkan Islam secara sempurna. Sebab, Islam tidak hanya sekadar agama biasa, melainkan seperangkat sistem kehidupan yang tegak atas asas yang lurus yang memancarkan aturan kehidupan dan menunjukkan umat menuju peradaban yang cemerlang.
Maka saat ini kita harus membangkitkan kesadaran umat akan pentingnya penerapan Islam secara sempurna, agar kemudian hadir sosok pemimpin yang siap memberikan perlindungan terhadap Islam dan umat Muslim. Pemimpin yang memimpin dengan aturan yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah. Tentu proses menyadarkan umat ini memerlukan upaya dakwah secara massif agar umat semakin paham betapa pentingnya penerapan Islam secara sempurna. WalLah a’lam bi ash-shawab