Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)
Muslimahtimes.com–Panggung sejarah umat manusia, tak pernah sepi dari kisah seorang pria yang dikelilingi banyak wanita. Sampai sekarang, kultur seperti itu sangat sulit dihapuskan. Selalu ada satu pria yang tak bisa mencukupkan diri dengan satu wanita. Bahkan, sekalipun konstitusi melarangnya, baik konstitusi agama maupun negara.
Di negara-negara yang konstitusinya resmi melarang poligami, praktiknya tetap terjadi. Seperti di Vietnam, Thailand, Laos, Myanmar, dan Kamboja. Negara lain seperti Swedia, Swiss, Jerman, Tunisia dan Australia, juga menganggap poligami ilegal. Pelakunya bahkan diancam penjara. Belum jelas datanya, apakah ada yang nekad poligami atau tidak.
Jika mau usil membandingkan, justru muncul pertanyaan, apakah pelacuran, perselingkuhan dan perzinaan tidak ada di sana? Apakah tidak ada laki-laki yang menggauli banyak wanita di negara yang melarang poligami? Dijamin malah semakin marak.
Thailand yang melarang poligami, terbukti warganya juara nomor satu di Asia Tenggara dalam hal selingkuh. Menurut aplikasi Justdating, sebanyak 50 persen warganya pernah selingkuh. Artinya, melarang poligami hanya akan membuka perzinaan. Karena, sekali lagi, kultur di dunia pria, akan selalu ada dari kalangan mereka yang tak cukup dengan satu wanita. Itu sebabnya rumors tentang selir selalu ada di kalangan penguasa zaman kuno hingga sekarang. Hanya istilahnya saja yang berbeda.
Poligami Bukan Bersumber dari Islam
Kalimat tersebut bukan sebagai bentuk penyangkalan, tetapi sekadar mendudukkan persoalan secara adil. Merujuk pada sejarah umat manusia, pada masa jahiliah, perempuan kerap ditempatkan sebagai budak nafsu. Khususnya oleh laki-laki yang punya kekuatan dan kekuasaan.
Apakah kondisi saat ini sudah lebih baik? Ternyata tidak. Dehumanisasi kaum perempuan melalui eksploitasi sensualitas mereka bahkan semakin menggila. Di era ketika perempuan konon punya hak atas tubuhnya, mereka justru terjerumus pada perbudakan modern, bahkan tanpa mereka sadari.
Isu panas soal perselingkuhan yang silih berganti menghiasi laman pemberitaan, bukti ketertundukan perempuan pada laki-laki hidung belang yang tiada habisnya. Kamar-kamar prostitusi masih eksis, ditunjang prostitusi online yang mana perempuan begitu mudah dinikmati sembarang laki-laki. Entah sekadar menjadi pemuas syahwat, pelacur atau pelakor secara terang-terangan.
Banyak gadis tapi sudah tidak perawan, enggan menikah atau dinikahi. Memilih lajang tapi dijadikan mainan oleh suami orang. Lebih parah dari zaman jahiliah, ketika model pernikahan poligami tanpa batasan jumlah istri merajalela. Jadi, poligami itu sama sekali bukan kultur Islam semata. Bukan lahir dari peradaban Islam. Bukan inspirasi utama dalam pembangunan keluarga.
Jauh sebelum Islam, budaya menggauli atau menikahi banyak wanita itu sudah ada sejak lama. Sejak zaman Yunani. Karena itu, istilah poligami pun bukan berasal dari Islam. Poligami berasal dari Bahasa Yunani, polos, polus atau polys yang berarti banyak dan gamein atau gamos, yang berarti kawin. Jika yang kawin banyak adalah laki-laki, disebut poligini. Jika yang kawin banyak adalah perempuan, disebut poliandri.
Adapun dalam bahasa Arab, pernikahan berbilang disebut ta’did zaujah (bilangan pasangan). Allah berkehendak menurunkan ayat poligami untuk mengatur dan membatasi praktik jahiliah yang di zaman Nabi masih eksis. Bila sebelumnya jumlah istri berbilang itu tanpa batasan –karena kultur masyarakat sudah begitu secara turun temurun– maka Islam membatasi poligami dengan maksimal empat istri.
Sampai di sini jelaslah, salah alamat jika mengidentikkan poligami dengan Islam. Salah alamat jika menuduh Islam melanggengkan dehumanisasi perempuan melalui poligami. Model perkawinan dalam Islam sesungguhnya satu istri atau monogami, akan tetapi Allah tidak melarang andai ada pria yang mampu, lantas memiliki berbilang istri yaitu maksimal empat. Tidak melarang, berbeda maknanya dengan memerintahkan.
Poligami adalah model perkawinan yang tua sekali. Hampir seluruh bangsa di dunia, sejak zaman dulu kala tak asing dalam praktiknya. Sebelum Islam, poligami juga dikenal di agama lain. Hindu atau Yahudi misalnya. Bangsa Israil, Persia, Romawi, Babilonia, hingga bangsa Arab, serupa tapi tak sama. Di era Nabi Musa, jumlah istri belum dibatasi. Nabi Daud punya 99 istri, dan Nabi Sulaiman seribu istri. Nabi Ibrahim beristeri dua dan Nabi Ya’qub beristri empat. Barulah Kitab Talmud membatasi jumlah isteri. Demikian pula Islam ketika datang ayat poligami.
Narasi Memojokkan Islam
Kini, ketika poligami dilakukan oleh kalangan umat Islam, berdengunglah narasi-narasi yang memojokkan umat Islam, seolah praktik demikian adalah buruk. Poligami dimonsterisasi dengan narasi-narasi yang sebenarnya lebih cenderung poligamifobia.
Khususnya narasi yang diembuskan oleh para perempuan, penggiat kesetaraan dan keadilan gender, atau oleh para Feminis dan orang-orang sekuler liberal yang sinis dengan Islam. Poligami menjadi pintu untuk menunjukkan kebencian mereka terhadap syariat Allah. Padahal, sekali lagi, poligami bukanlah monopoli ajaran Islam semata. Ajaran agama lain, sekte atau aliran kepercayaan, banyak yang mempraktikkan poligami.
Karena itu, umat Islam, khususnya kaum muslimah, mustinya tidak ikut membuat narasi-narasi yang mengarah pada poligamifobia. Sebab, hal itu justru memperkokoh bangunan narasi yang dihembuskan oleh kaum poligamifobia. Mereka tidak perlu capek-capek kerja keras untuk mendiskreditkan syariat Allah, karena ternyata para muslimah sendiri menunjukkan keengganannya menerima syariat ini. Ironis.
Berikut ini naras-narasi keliru yang harus diluruskan terkait poligami. Dikatakan, bahwa laki-laki yang berpoligami, pastilah tujuannya syahwat. Padahal tidak selalu, meski mungkin banyak. Lagipula, jika motifnya syahwat, apakah buruk? Tidak.
Justru kalau motifnya syahwat yang mendesak, untuk mencegah dari zina, itu juga tujuan yang mulia. Allah mengakomodir laki-laki yang tidak bisa menahan syahwat dengan menikah. Meskipun ia telah memiliki satu istri, tetapi jika ada alasan syahwat yang tidak ia dapatkan dari istrinya, lalu menikahi wanita ke 2, tetap baik dalam pandangan Allah.
Apalagi jika niatnya bukan semata syahwat, tapi benar-benar ingin membangun rumah tangga. Memperbanyak keturunan. Menolong para wanita. Menolong janda dan anak-anak yatim, atau tujuan mulia lainnya. Namun, perlu diingat, “poligami boleh asalkan dengan janda” ini juga narasi yang tidak benar.
Meskipun Rasulullah Saw, menikahi janda, namun beliau juga menikahi gadis muda belia. Jadi, narasi tersebut hanya pandangan bias dari sudut pandang istri pertama yang cenderung tidak rela suaminya memiliki istri lebih muda.
Narasi selanjutnya, poligami itu penindasan terhadap wanita, karena wanita hanya dijadikan sebagai sex provider. Para istri hanya menjadi penyedia layanan “bercocok tanam” bagi seorang laki-laki. Sungguh ini pandangan yang kejam lagi jahil yang dihebuskan kaum Feminis.
Mereka tidak akan pernah menjangkau hikmah poligami. Antara lain, dengan dinikahi satu laki-laki, justru wanita terjaga kemuliaannya. Manakah yang lebih mulia, gadis belia yang dizinahi pacarnya, bahkan dizinahi laki-laki mana saja yang dia suka, ataukah seorang istri yang dinikahi laki-laki meski sebagai istri ke 2, 3 atau 4?
Narasi jahiliyah lain yang dibangun adalah bahwa poligami itu artinya suami tidak setia alias mengkhianati cinta istri pertamanya. Padahal yang terjadi, seorang suami membangun banyak cinta dengan para wanita. Tidak ada yang dikhianati, selama masih terikad akad. Adapun kecintaan, kesetiaan dan keloyalan haruslah berdasar syariat. Berbasis kecintaan kepada Allah. Loyalitas dan kesetiaan manusia hanya kepada-Nya.
Narasi bias Feminisme berikutnya mengatakan, tidak ada satu pun wanita di dunia ini yang rela berbagi suami. Padahal, kenyataannya banyak wanita tangguh yang bisa menerapkan syariat poligami. Ingat, syariah Islam itu bersifat syariah basyariah alias kemanusiaan. Artinya, akan selalu ada manusia yang sanggup menerapkannya.
Syariat Islam bukan syariat utopia, yang mustahil diterapkan. Syariat Islam bukan diturunkan untuk para malaikat. Adapun jika para wanita cemburu, sedih, iri hati dengan suami atau madunya, sakit hati, tertekan, merasa terzalimi atau suasana hati buruk lainnya ketika suami yang dicintainya menikah lagi, itu adalah respons naluriah wanita yang lumrah saja terjadi.
Namun, ketika respons itu ditundukkan pada syariat, ia akhirnya akan rida dan menerima ketetapan Allah Swt dengan lapang dada. Ingat, manusia kadang membenci sesuatu yang menurutnya buruk, padahal itu baik baginya. Demikian pula dalam perkara ini. Karena itu, kaum muslimah, jangan ikut-ikutan terseret dalam narasi-narasi yang menguatkan opini kaum Feminis.
Termasuk, jangan terseret narasi yang menyebutkan bahwa poligami itu boleh asalkan sudah membahagiakan istri sampai maksimal, seperti sudah menghajikan istri dan orang tuanya. Ini adalah pandangan yang dipengaruhi sekuler kapitalisme, yang memandang kebahagiaan dari ukuran materi.
Ingat, suami boleh berpoligami asalkan mampu, terutama kemampuan secara ekonomi. Namun, batasan mampu ini adalah kemampuan memberikan nafkah kepada para istrinya dengan cara makruf. Masalahnya, kalau sudah mapan lantas poligami, ada saja istri pertama yang tak rela melihat madunya seolah tinggal menikmati kesuksesan suami. Padahal ia yang menemani suami dari nol, bersabar mendampinginya sampai sukses.
Masyarakat pun akhirnya menghujat istri kedua, tiga atau empat, karena mau enaknya saja, tinggal menikmati hasil perjuangan istri pertama. Padahal, kesuksesan, kejayaan dan kekayaan yang diraih sang suami, adalah ketetapan Allah. Jodoh, rezeki dan ajal adalah urusan Allah Swt. Tidak ada hubungannya dengan kontribusi istri pertama. Alangkah jumawanya jika pikiran itu sampai merasuk dalam diri kaum muslimah.
Narasi tak kalah jahiliah terakhir adalah, “jangan menikah dengan orang yang fanatik agamanya, nanti dipoligami.” Sungguh cara berpikir untuk mempertahankan diri dari kebodohan. Bukankah sudah banyak diungkap dalam realita dan sejarah, bahwa poligami tidak hanya dilakukan orang-orang yang paham agama. Inilah bahayanya jika syariat selalu ditimbang dengan kaca mata manusia.
Sudut pandang jahiliah ini hanya bisa hilang jika kultur masyarakat kembali ke pangkuan peradaban Islam. Peradaban yang menjunjung tinggi pernikahan dan melenyapkan perzinaan. Peradaban yang menyelamatkan para wanita dari perbudakan syahwat seperti yang terjadi di peradaban sekuler liberal saat ini.(*)