Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Kontributor Muslimahtimes.com)
Muslimahtimes.com–Tepat hari ini saya berhari jadi, 49 tahun yang lalu lahir ke dunia. Bukan bermaksud mengikuti tren, tapi bolehlah sedikit bercerita tentang perjalanan hidup sepanjang 49 tahun ini ” ngapain” aja?
Ucapan selamat meluncur pagi ini, paling awal jelas dari suami. Kemudian malu-malu menyusul dari anak-anak. Sewaktu saya tanya apa harapan kalian kepada ibu? Mereka hanya mengedikkan bahu, justru suami yang menjawab,” Semoga gak marahan, sayang suami dan sayang anak”, seketika saya balas dengan wajah sebal.
Saya pemarah? Bukannya marah itu jika ada sebabnya? Mungkin maksud suami supaya ada cara lebih baik dalam berkomunikasi, hanya kalimat pilihannya kurang tepat. Yah, kehidupan suami istri memang tak mudah. Meski ketika semakin tua usia pernikahan yang saya rasakan seperti pertemanan, tapi tetap saja ada kalanya percikan emosi masih muncul. Entah karena salah tangkap maksud, salah dengar, salah persepsi, salah jawab dan lain sebagainya.
Namun, lebih mencoba bersikap bijak. Berumah tangga mirip dengan belajar, tentang waktunya seumur hidup. Kembali lagi mengingat saat usia sekolah, yang melakukan apa pun tanpa pikir panjang. Begitu pun memasuki masa kuliah, tujuan hidup seolah kosong.
Sebagaimana yang hari ini viral di media sosial, ada saja kelakuan pesohor negeri, lain pejabat lain pula rakyatnya. Namun seolah mereka bergerak tak beraturan, sehingga menimbulkan pergesekan di mana-mana. Korupsi, zina, dan kriminal lainnya seolah hal yang biasa, padahal inilah bukti lemahnya akal manusia ketika dibiarkan tanpa aturan. Semakin tua bukan semakin menunduk, malah kian menjulang arogan menolak kebenaran.
Sangat berbeda ketika setelah menikah, yang itu berarti saya sudah mengenal Islam. Saya perlahan paham bahwa hidup itu bertarget dan punya tujuan. Terutama setelah rutin mengikuti kajian intensif sepekan sekali, di situ tertohok dengan firman Allah Swt yang artinya,”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (TQS adz-Dzariyat :56)
Kita dihidupkan di dunia dan diperjalankan 40,50,60 bahkan hingga 100 tahun lebih bukan tanpa maksud. Sangatlah jelas, Allah Sang Pencipta kita berikut alam semesta memerintahkan sesuatu kepada kita. Namun, mengapa manusia begitu lalai? Ada guyonan bahwa setiap orang itu camat alias calon mayat, sama seperti yang disebut oleh Imam Syafi’i bahwa “Berapa banyak manusia yang masih hidup dalam kelalaian, sedangkan kain kafan sedang di tenun” (Imam Syafi’i).
Sebenarnya, memaknai hidup dengan kesadaran bahwa kita membawa misi menjadi hamba Allah sungguh membuat kita menjadi produktif. Lebih memilah dan memilih kegiatan apa yang bisa semakin mengarahkan kita finish dengan misi tersebut. Kata orang usia 40 tahun adalah manusia yang sesungguhnya, atau dengan kata lain di usia itulah manusia menjadi “dewasa” dan tahu arah mana yang hendak dituju. Namun saya sendiri kurang setuju, sebab saya pernah bertemu orang yang usianya jauh di bawah saya namun telah menemukan misi dan visi hidupnya ini. Sembari menepuk kening, ” …Hai, kamu ke mana saja?”
Namun bukan berarti terlambat jika hari ini baru serius dan menapaki jalan terjal mengemban misi. Allah Maha Tahu bagaimana berprosesnya seseorang, bukankah Allah lebih menyukai proses daripada hasil? Dan memang, untuk mencapai kesadaran bahwa kita adalah pengemban misi dunia akhirat itu butuh effort yang luar biasa. Belajar tak kenal lelah tentunya, beraktivitas amar makruf nahi mungkar, berinteraksi sekaligus muhasabah setiap saat. Sebab, FYI, kesadaran itu tak datang dengan sendirinya. Butuh orang atau sesuatu yang sifatnya memberitahu, butuh penjelasan yang memuaskan akal dan menentramkan hati.
Stimulasinya juga lumayan menggetarkan, mulai dari dijauhi circle, merasa was-was karena takut dosa, mendapat berbagai predikat menggoda (sok suci, masuk aliran sesat, radikal dan lainnya). Mengapa jika ingin berubah justru Allah datangkan kesulitan? Ya, karena kita tak cukup mengatakan beriman sebelum diberi ujian. Allah menghendaki kita benar-benar layak untuk menjadi pengemban misi dunia akhirat ini. Mau masuk universitas favorit saja harus ujian, lihat kuota per fakultasnya dan budget, apalagi surga.
Sebab berikutnya karena surga bukan disediakan untuk mereka yang biasa-biasa saja. Melainkan luarbiasa, ditempa oleh berbagai cobaan. Mungkin ada yang hari ini masih merayakannya dengan tumpeng, sebongkah tart red Velvet, pesiar dah yang lainnya. Namun mesti ingat satu hal, kita bakal mempertanggung jawabkan itu semua terutama usia kita. Ya, hari jadi sejatinya adalah hari muhasabah. Sebab, bukan panjang umur yang kita alami, tapi berkurangnya jatah kita di dunia, persoalannya, sisa usia ini berkah tidak?
Harapan selalu ada, yaitu ingin lebih baik dari kemarin. Yang saya sadari, tak ada yang sempurna dalam hidup ini, kecuali Allah Swt. Yang ada hanyalah kita yang terus berproses untuk menjadi sempurna, dengan senantiasa menautkan doa agar rida Allah ada dalam setiap proses itu. Bukan tidak mungkin, orang dengan masa lalu buruk berakhir hidupnya dengan buruk, bisa jadi malah sebaliknya. Maka, berkahilah ya Allah sisa hidupku, matikan aku dalam keadaan Islam. Aamiin. Wallahu a’lam bish showab.