Oleh. Miftahul Jannah (Aktivis Muslimah)
Muslimahtimes.com–Isu Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) kembali membuat resah. Baru saja kemarin berita TPPO di kalangan Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) berseliweran, yang mana mereka ke luar negeri untuk mencari pekerjaan dengan iming-iming gaji yang besar, namun setelah sampai di sana tidak sedikit yang justru telantar dan dijadikan budak bahkan menjadi korban TPPO. Kemudian sekarang tidak tanggung-tanggung, TPPO justru menarget para peserta didik dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Sungguh ini bukanlah hal yang bisa kita remehkan. Kasus TPPO ini semakin masif terjadi dan sudah memakan banyak korban. Lantas bagaimana tanggapan dan tindak lanjut kaum muslimin terkait hal ini?
TPPO di Dunia Pendidikan, kok Bisa?
Sebenarnya kasus TPPO bukanlah hal yang baru diperbincangkan oleh khalayak umum, baik di media sosial maupun di dunia nyata. Bahkan kasus TPPO selalu hangat dibahas di setiap tahunnya. Namun sungguh mengejutkan, kasus TPPO ini telah menjalar di dunia pendidikan bahkan sudah memakan banyak korban.
Dilansir dari media nasional, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Anis Hidayah mengatakan, TPPO dengan modus magang sebenarnya telah terjadi sejak 15 tahun lalu. Hal itu Anis sampaikan merespon kejahatan TPPO yang terjadi di perguruan tinggi Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh. “Mungkin 15 tahun yang lalu sudah ada modus ini,” kata Anis melalui pesan suara, Sabtu (8/7/2023).
Direktur Tindak Pidana Umum (Dir. Tipidum), Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro mengatakan, pengungkapan kasus ini bermula dari laporan korban berinisial ZA dan FY kepada pihak KBRI Tokyo, Jepang. Pada saat itu dilaporkan korban bersama sembilan orang mahasiswa lainnya telah dikirimkan oleh Politeknik untuk menjalankan magang di suatu perusahaan di Jepang. Namun korban justru dipekerjakan sebagai buruh.
Setiap hari semua korban bekerja selama 14 jam, mulai dari pukul 08.00 pagi sampai pukul 10.00 malam. Hal itu rutin mereka lakukan selama tujuh hari dalam seminggu penuh tanpa libur. Mereka istirahat hanya untuk makan saja selama 10-15 menit. Terlepas dari itu, korban tidak dibolehkan untuk istirahat atau melakukan ibadah. Sebagai kompensasinya, korban diberikan gaji sebesar 50.000 yen atau sekitar 5 juta rupiah per bulan. Akan tetapi, korban diharuskan memberi dana kontribusi ke kampus sebesar 17.500 yen atau 2 juta rupiah per bulan.
Kasus TPPO juga datang dari seorang pelajar SMP, yang mana ia dijual oleh ibu temannya di aplikasi MiChñat. Dilansir dari KOMPAS.com, praktik TPPO berhasil dibongkar Satreskrim Polresta Sidoarjo 14 Juni 2023 lalu di wilayah Kelurahan Bungurasih, Kecamatan Waru, Sidoarjo, Jawa Timur. Dalam penggerebekan di sebuah penginapan, polisi mengamankan seorang pelajar lulusan SMP korban perdagangan orang. Pelajar SMP yang berusia 16 tahun itu bekerja untuk melayani kencan para lelaki yang telah memesannya melalui aplikasi MiChat. Selain itu, polisi juga telah mengamankan ES, perempuan 45 tahun penjaga penginapan tersebut. ES terbukti menjual pelajar SMP tersebut kepada para pemesan melalui MiChat. Astaghfirullah, sungguh memilukan!
TPPO Rawan Terjadi, Buah Penerapan Sistem Pendidikan Kapitalisme, Waspada!
Kasus perdagangan orang yang akhir-akhir ini masif terjadi merupakan suatu peristiwa yang sungguh meresahkan dan wajib kita waspadai bersama. Selain itu, kasus ini secara tidak langsung telah menampar dunia pendidikan kita, yang mana magang jelas sangat berbeda dengan bekerja. Magang seharusnya menjadi wadah atau tempat pembelajaran secara langsung atau luring bagi pelajar yang bertujuan untuk memberikan berbagai pelatihan kerja agar bisa mengembangkan serta meningkatkan skill dan keahlian mereka dalam suatu bidang profesi. Oleh sebab itu, magang dan bekerja itu jelas berbeda. Bekerja itu mengharuskan kita untuk mencurahkan tenaga, waktu, pikiran, serta mendapatkan gaji dari pekerjaan yang kita jalani sesuai skill dan bidang yang kita tekuni. Namun, dengan terjadinya kasus TPPO pada mahasiswa di politeknik ini membuktikan bahwa program magang dalam sistem kapitalisme ternyata bisa dengan mudah disalahgunakan atas kerakusan oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab. Di saat peserta didik menjalani magang, mereka akan dianggap sebagai pundi uang dan dimanfaatkan untuk dipekerjakan tanpa menerima gaji memadai karena hanya dianggap sebatas anak magang.
Sistem pendidikan yang dijalankan dan diterapkan oleh negeri ini mengacu pada sistem pendidikan ala kapitalisme. Pendidikan selalu berorientasi menghasilkan output pendidikan yang siap kerja, yang dapat menghasilkan besaran materi tertentu. Sehingga tidak heran dalam sistem pendidikan kapitalisme, prestasi akademik ataupun intelektualitas peserta didik bukan menjadi yang utama. Dan justru dalam proses pembelajaran terbuka peluang terjadinya eksploitasi pelajar demi kepentingan oknum yang memiliki kuasa, salah satunya dengan TPPO berkedok program magang ini.
Sebenarnya magang sendiri bukanlah persoalan utama dalam kasus ini. Tak ada yang harus dikritisi. Namun justru ada urgensi kritik terhadap sistem yang menjadi napas program ini, yang sekaligus adalah biang kerok TPPO di dunia pendidikan. Sistem pendidikan sekuler kapitalistik menuntut kampus serta sekolah berbasis kejuruan untuk melahirkan lulusan terbaik yang dapat bersaing di dunia pekerjaan. Terlebih lagi hal ini dianggap sebagai solusi untuk mengurangi angka pengangguran meskipun tidak semua kampus menjalankan program magang.
Tentu hal ini sangat diminati oleh pelajar. Ketika mereka melakukan hal tersebut maka dampaknya adalah akan mendapatkan banyak pengalaman serta sertifikat. Hal ini tidak lain digunakan untuk eksistensi diri serta dapat digunakan ketika ingin melamar pekerjaan. Sehingga tidak heran banyaknya pelajar dan mahasiswa yang mengikuti berbagai program seminar dan pembekalan hanya untuk mendapatkan sertifikat. Hal ini secara tidak langsung merupakan pembajakan potensi besar yang ada pada diri pelajar dan mahasiswa. Mereka yang seharusnya menjadi agen perubahan dan pembangun peradaban justru menjadi objek yang diubah dan agen perusak, bahkan menjadi korban TPPO.
Di sisi lain, kurangnya pengawasan dan keamanan dari negara semakin menumbuhsuburkan kasus TPPO ini, hingga akhirnya memakan banyak korban. Maka dari itu, selama sistem sekularisme kapitalisme masih menjadi pengatur hidup dalam negara, termasuk dalam dunia pendidikan, makan besar peluang lahirnya para pemimpin dan penguasa yang abai dan lalai dalam urusan pendidikan, kesejahteraan, juga jaminan keamanan rakyat.
Islam Kaffah, Solusi Mutlak Penyelesaian TPPO
Berbeda halnya jika kondisi ini terjadi dalam sistem pendidikan Islam yang bernaung di bawah kekuasaan Khilafah. Sistem Islam akan mengangkat seorang Khalifah yang akan mengurus dan melayani segala kebutuhan umat, termasuk pendidikan dan kesejahteraan, baik muslim maupun nonmuslim. Hal ini sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam memimpin Daulah Islamiah pertama di Madinah dan diikuti oleh para Khalifah setelahnya. Khalifah dengan kualitas kepribadian yang baik serta takut akan murka Allah, sehingga ia akan selalu hati-hati dalam kepemimpinannya.
Khilafah juga akan menyediakan pendidikan terbaik yang berasaskan pada sistem pendidikan Islam, sehingga mampu mencetak dan menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas secara intelektualitas maupun lifeskill yang dibutuhkan dalam dunia kerja (khususnya bagi para pencari nafkah). Bukan hanya sekadar siap terjun di dunia pekerjaan semata, tapi juga siap untuk menyebarluaskan Islam di seluruh penjuru dunia dan mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘aalamin. Salah satunya yang sangat familiar kita dengar yakni Muhammad Al Fatih. Di usia belia, Muhammad Al Fatih sudah mampu menghafal Al-Qur’an dan menjadi panglima perang di usia yang masih sangat muda dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya di era kejayaan Islam. Ini semua merupakan hasil dari diterapkannya Islam kaffah.
Selain itu, Islam akan memberikan sanksi tegas sesuai syariat terhadap pelaku TPPO. Pelakunya akan diberikan hukuman ta’zir, yakni sanksi yang ditetapkan Khalifah sesuai dengan tindak kejahatan yang dilakukannya. Sehingga hal ini mampu memberi efek jera dan penebus dosa bagi pelaku TPPO serta orang lain yang ingin melakukan hal yang sama atau tindakan kriminal lainnya. Maka dapat dipastikan, in syaa Allah tidak akan ada kasus TPPO dan eksploitasi manusia, baik di dunia pendidikan serta pada perempuan dan anak-anak seperti saat ini. Penyelesaian ini hanya akan terwujud jika adanya sebuah negara atau institusi yang mampu menerapkan sistem kehidupan Islami, yakni menjadikan syariat Islam kaffah sebagai konstitusi.
Wallahualam.