Oleh. Ranita
muslimahtimes.com – Bagai anak ayam kehilangan induk. Peribahasa ini sangat pas untuk menggambarkan realita umat Islam saat ini. Sejak Khilafah Islam diruntuhkan oleh Kamal Ataturk pada 1924, umat Islam ditimpa penistaan dan genosida tiada henti. Di sepanjang 2023, penistaan Al-Qur’an dilakukan secara beruntun dan legal di Denmark, Belanda, dan Swedia (international.sindonews.com, 5/6/2023)
Yang terbaru, lima muslim wafat usai kaum Hindu India menyerang sebuah masjid di distrik Nuh, Haryana. Tak hanya itu, lebih dari 300 toko dan rumah milik muslim juga dihancurkan. Para polisi India justru mengunci para pemilik toko di dalam bus saat buldoser meratakan properti mereka (viva.co.id, 8/8/2023). Ironis, saat menjadi mayoritas, umat Islam dituntut toleran kepada minoritas meskipun itu bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Namun saat menjadi minoritas, toleransi hanya menjadi mantra basa-basi yang penuh ilusi.
Sumber Ketidakadilan : Islamofobia dan Kebebasan Berekspresi
Jika ditelisik, penistaan terhadap umat Islam dan simbol-simbol Islam yang terjadi di beberapa belahan dunia terjadi karena media-media Barat secara terus-menerus memberikan stereotip negatif tentang Islam. Di saat yang bersamaan, monsterisasi terhadap ajaran Islam juga terus dilakukan. Alhasil, masyarakat Barat dihinggapi Islamofobia kronis karena kebodohan mereka menelan mentah-mentah informasi tanpa konfirmasi.
Di sisi lain, kebebasan berekspresi dalam demokrasi menjadi alasan kuat kenapa penistaan terhadap simbol-simbol Islam legal dilakukan. Dilansir dari cnbcindonesia.com (3/8/2023), di Swedia, polisi diperbolehkan menolak aksi penistaan agama hanya jika mereka tak bisa menjamin keamanan pelaku aksi.
Menggelikan bukan? Penista justru diberi ruang dan jaminan keamanan saat mereka merendahkan nilai-nilai umat Islam. Toleransi diberikan secara penuh kepada para penista dengan dalih kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Standar Ganda Toleransi dan Kebebasan Berekspresi
Bagi para pemuja demokrasi, tantangan terbesar menegakkan demokrasi adalah minusnya toleransi. Mereka seolah lupa, bahwa demokrasi adalah sistem hidup buatan manusia. Sebagaimana pembuatnya yang rentan salah dan lupa, maka cacat sistem dalam demokrasi, tak bisa dihindari. Para pembuat kebijakan atau para pembentuk opini (media) dalam demokrasi seringkali membuat standar ganda soal toleransi.
Di Barat, siswa muslim dituntut toleran saat kurikulum LGBTQ+ diajarkan dalam kurikulum pendidikan. Namun di saat yang sama, Barat tak toleran terhadap siswa mereka yang menganut ajaran Islam yang mengharamkan normalisasi LGBTQ+. Di India yang juga menganut demokrasi, umat Islam di India kesulitan melakukan sholat lima waktu, sholat Jumat, ataupun sholat Ied di masjid karena adanya tekanan dari petugas keamanan dan mayoritas Hindu disana. Di sisi lain, festival keagamaan Hindu Ram Navami, digelar di wilayah muslim pada hari Jumat di bulan Ramadan hingga menimbulkan bentrokan. Dilansir dari cnn indonesia (3/4/2023), buntut dari bentrokan itu, toko-toko yang teridentifikasi milik warga muslim dibakar dan dihancurkan.
Tak jauh beda dengan kebebasan berekspresi dalam demokrasi. Karikatur satir presiden Prancis, Emmanuel Macron menjadi bukti sejarah hipokritnya negara demokrasi-sekuler saat berbicara tentang kebebasan berekspresi.
Toleransi Hakiki Hanya pada Islam
Dalam sejarah negara manapun di dunia, pluralitas adalah sebuah keniscayaan. Baik dalam hal ras, suku bangsa, maupun agama. Pluralitas ini akan dapat hidup aman berdampingan jika toleransi diaplikasikan secara nyata dan adil kepada semua orang. Toleransi semacam ini pernah terjadi ketika Islam diterapkan secara totalitas dan menyeluruh sebagai way of life.
Pada masa kepemimpinan Rasulullah saw. dan para khalifah setelah beliau, Islam dijadikan asas sekaligus pandangan hidup oleh negara. Selama sekitar 13 abad, bermacam ras, suku dan agama hidup dalam satu kesatuan di bawah naungan Islam. Kafir dzimmi (warga negara nonmuslim) dibiarkan tetap dalam agama mereka. Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada penduduk Yaman, “Siapa saja yang beragama Yahudi atau Nasrani, dia tidak boleh dipaksa meninggalkan agamanya dan wajib atas dia membayar jizyah.” (HR Abu Ubaid)
Telah masyhur juga kisah seorang Yahudi Mesir yang menggugat ‘Amr bin Ash yang saat itu menjadi gubernur Mesir kepada Khalifah Umar bin Khattab karena mengambil tanah pribadinya untuk membangun masjid. Gugatan ini dimenangkan oleh Umar, karena dalam Islam, kepemilikan pribadi tak boleh diambil negara tanpa jual-beli meskipun untuk membangun fasilitas umum.
Sejarawan Inggris, TW. Arnold, juga mengungkapkan toleransi Khilafah dalam bukunya, The Preaching of Islam, bab 6. Ia menuturkan bahwa dibawah kekuasaan Utsmani, kaum Nasrani Yunani tidak pernah dipaksa untuk keluar dari agamanya. Keamanan mereka dijaga sebagaimana warga negara muslim. Terbukti, toleransi hakiki justru dirasakan oleh muslim maupun non-muslim ketika Islam diterapkan secara kaffah.
Allahu a’lam.