Oleh. Fatimah Azzahra, S.Pd
(Tim Redaksi Muslimahtimes.com)
Muslimahtimes.com–“Barangsiapa yang ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga dan kematian mendatanginya dalam kondisi dia beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir, maka hendaklah dia bersikap kepada orang lain dengan sikap yang ingin dia dapatkan dari orang lain.”(HR. Muslim No. 8442)
Itulah pesan baginda Rasulullah untuk memperlakukan orang lain seperti sikap yang ingin kita dapatkan dari orang lain. Sayangnya, manusia sering egois. Ia ingin disayang dan dihargai tapi tak mau menyayangi dan menghargai orang lain. Seperti maraknya kasus kekerasan, bullying yang membuat korban bahkan kehilangan nyawanya. Sedihnya, kini banyak terjadi kasus kekerasan di lembaga pendidikan.
Kekerasan di Lingkungan Pendidikan
Sekolah, tempat untuk menuntut ilmu, tempat menempa diri, mendidik diri, memperkaya diri dengan berbagai keterampilan. Sehingga kita akan bisa bertahan menghadapi kerasnya kehidupan dengan bekal yang di dapat dari sekolah. Sayangnya, justru sekolah kini tidak menjadi tempat yang aman bagi anak didik juga tenaga pendidik.
Sebagaimana dilansir dari laman online Sekretariat Kabinet Republik Indonesia (9/8/2023), berdasarkan data hasil survei Asesmen Nasional tahun 2022, sebanyak 34,51 persen peserta didik (1 dari 3) berpotensi mengalami kekerasan seksual, lalu 26,9 persen peserta didik (1 dari 4) berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36,31 persen (1 dari 3) berpotensi mengalami perundungan.
Bukan hanya itu, data aduan yang diterima Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada perlindungan khusus anak tahun 2022 juga menyebutkan kategori tertinggi anak korban kejahatan seksual, yakni anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis, serta anak korban pornografi dan kejahatan siber sebanyak 2.133. Oleh karena itu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim secara resmi meluncurkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek PPKSP).
Efektifkah PPKSP?
Tentu harus kita apresiasi itikad baik Pak Menteri dalam menangani berbagai kasus kekerasan yang terjadi. Apalagi hal ini terjadi di lingkungan pendidikan. Namun, alangkah baiknya kita kaji terlebih dulu efektivitas peraturan ini.
Sebelum peraturan ini lahir, sebetulnya sudah ada regulasi yang senapas. Di antaranya ada Permendikbud 82/2015 tentang PPKS di Lingkungan Satuan Pendidikan, Permendikbudristek 30/2021 tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi, serta UU TPKS 12/2022 yang menuai kontroversi. Terbaru, ada Permenag 73/2023 tentang PPKS pada Satuan Pendidikan di bawah Kemenag. Sayangnya, kasus kekerasan, baik itu fisik, psikis ataupun seksual tak juga hilang. Malah kian menjamur dimana-mana. Hal ini terjadi karena semua peraturan yang ada tidak menyentuh akar masalah. Sibuk mengurusi cabang tanpa membenahi akar.
Harusnya dikaji lebih dalam akar permasalahan sebenarnya sehingga bisa menuntaskan persoalan dan menghasilkan solusi yang tepat.
Gara-gara Sekularisme
Diakui atau tidak, karena menjauhkan agama dari kehidupan adalah dalangnya. Sekularisme yang diterapkan saat ini sukses mengikis iman dan takwa dalam diri setiap insan, khususnya kaum muslim. Mereka tak lagi paham tujuan Allah Swt menciptakannya. Tak juga paham pedoman hidupnya. Hasilnya, lahirlah manusia yang merasa tak bersalah ketika menzalimi orang lain hanya demi memuaskan nafsunya.
Sistem pendidikan sekularisme hanya menempatkan agama yang mendapat jatah dua jam pelajaran dalam sepekan. Pendidikan saat ini pun masih berorientasi akademik dengan mengabaikan peran agama dalam kehidupan. Sehingga ilmu yang ada pun hanya sekedar pengetahuan bukan untuk dipraktikkan dalam kehidupan. Bisa jadi ia pandai secara akademik, namun minus dalam adab dan akhlak keseharian.
Faktor keluarga pun punya andil dalam fenomena ini. Keluarga yang abai pada peran dan tanggung jawabnya banyak hadir saat ini. Ditambah lagi hilangnya keimanan dan ketakwaan di dalam keluarga memperparah keadaan. Maka, tak jarang kita jumpai justru pelecehan, kekerasan seksual justru dilakukan oleh keluarga sendiri. Seperti ayah yang tega memperkosa anak kandungnya, ibu yang menjual anaknya di prostitusi online. Tentu hal ini akan menimbulkan tindakan asusila pula di sekolah.
Bukan hanya itu, media juga memiliki peran besar. Ia hadir sebagai katalisator yang mempercepat tindakan kejahatan di sekolah. Anak-anak bisa dengan mudah mengakses konten pornografi, kekerasan yang membuat mereka terinspirasi untuk mempraktikkannya. Salah satunya pembunuhan mahasiswa UI kemarin yang terinspirasi dari film Narcos.
Jauhnya agama dari kehidupan, terkikisnya iman dalam diri membuat mereka tak punya filter saat melihat media. Mereka menyerap semua konten media tanpa menimbang benar dan salah. Begitulah akhirnya, sehingga angka kekerasan dan kejahatan bahkan di lembaga pendidikan kian subur bak jamur di musim hujan.
Sebab itu, regulasi yang terus digulirkan tak akan berpengaruh besar pada fenomena yang ada karena tidak menyentuh akar masalahnya. Sebaliknya, justru menghasilkan masalah baru lainnya. Seperti sexual consent yang seolah melegalkan perzinaan. Hasilnya, berapa banyak pacar yang tega membunuh pasangannya bahkan saat hamil. Padahal, awalnya mereka melakukan zina karena suka sama suka (sexual consent).
Islam Selesaikan Tindak Kejahatan
Sebagai negara dengan mayoritas beragama Islam, sudah seharusnya kita kaji kembali agama ini. Islam hadir bukan hanya untuk mengatur kita sholat, puasa, zakat, juga haji. Melainkan lebih dari itu. Islam adalah agama yang Allah turunkan kepada nabi Muhammad saw. melalui perantara malaikat Jibril untuk mengatur kehidupan manusia. Baik itu ibadahnya sebagai hubungan hamba dengan Pencipta, juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan mengatur hubungan antara sesama makhluk Allah.
Dengan demikian, Islam pun mengatur interaksi antara pria dan wanita. Tentu hal ini dilakukan dengan berbagai lapisan penjagaan. Pertama, keluarga yang hadir dengan iman akan sadar fungsi dan tanggung jawabnya. Orangtua sadar bahwa anak adalah amanah dari Allah Swt. Sehingga sudah seharusnya dijaga dan dibimbing sesuai maunya Allah.
Kedua, sistem pendidikan yang diterapkan adalah sistem pendidikan islam. Landasannya adalah akidah Islam. Sehingga iman kian menancap dalam diri peserta didik pun tenaga pendidik lainnya. Dengan memahami agama, kita akan paham tujuan hidup yakni beribadah pada Allah Swt. Kita juga akan berhati-hati dalam beraktivitas karena yakin adanya hari pertanggungjawaban. Inilah jaminan utama pencegah tindak kejahatan.
Ketiga, media yang beredar di masyarakat akan disaring sehingga masyarakat hanya melihat konten kebaikan dan yang mempertebal keimanan. Sementara konten pornografi dan kekerasan akan diblokir dan dihilangkan. Sanksi tegas pun disediakan oleh negara bagi para produsen dan penyebar konten kerusakan.
Terakhir, negara sebagai institusi tertinggi diberikan kewajiban untuk memelihara keimanan dan keamanan rakyatnya. Sehingga negara akan menerapkan sistem Islam secara paripurna dengan berlandaskan akidah Islam.
Inilah sempurnanya Islam dalam menuntaskan kejahatan di lembaga pendidikan. Jika ingin serius mengakhiri segala kejahatan termasuk di lembaga pendidikan, sudah seharusnya kita kembali pada pangkuan sistem Islam yang Allah turunkan.
Wallahua’lam bish shawab.