Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)
Muslimahtimes.com– Dunia global sedang dilandai demam Barbie. Di mana-mana warna pink mendominasi, menyusul boomingnya Film Barbie yang dirilis 19 Juli 2023 lalu. Film dengan panduan untuk usia 13 tahun plus ini tidak menyasar anak-anak, tapi wanita-wanita usia matang. Semacam mengajak nostalgia pada para perempuan yang masa kecilnya tumbuh bersama sang boneka cantik ini.
Menurut ulasan berbagai kalangan dan juga diakui sendiri oleh penulis naskahnya, pesan yang disampaikan di film ini memang berkaitan dengan upaya mendobrak sistem patriarki. Sebuah kultur di mana laki-laki menjadi poros hidup yang berkuasa dan mendominasi, sementara perempuan didiskriminasi. Sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti.
Sistem ini dibentuk oleh masyarakat secara kultural, turun temurun. Di zaman kegelapan ketika Islam belum datang, perempuan dianggap makhluk nomor dua. Perempuan tidak mendapat akses pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Hidup mereka tergantung pada laki-laki. Itu sebabnya, para perempuan berdiri menuntut hak-haknya.
Salah satu literatur menyebutkan, Elizabeth Cady seorang tokoh feminis Amerika Serikat memprakarsai konvensi hak-hak perempuan di Seneca Falls pada 1848. Teks Declaration of Indepence menjadi pijakan Elizabeth untuk menulis Declaration of Sentiments and Resolution yang menjadi hasil konvensi dalam pertemuan bersejarah, yaitu Konvensi Hak-Hak Perempuan di Seneca Falls pada 19 Juli 1848.
Sejak itu, gelombang protes terhadap sistem patriarki semakin kencang. Mereka berpendapat, penyebab penindasan perempuan adalah kurangnya kesempatan dan pendidikan. Mereka tidak diberi akses ke lapangan pekerjaan, tidak punya hak milik atas harta benda, serta undang-undang perkawinan yang merugikan perempuan.
Perempuan ditempatkan pada posisi bergantung pada suami dan kiprahnya hanya di sektor domestik. Itu sebabnya, protes mereka terhadap patriarki tidak pernah lepas dari kritikan terhadap institusi keluarga (Megawangi, 1999).
Ya, keluarga yang menempatkan perempuan di sektor domestik, dituduh melanggengkan sistem patriarki. Menyudutkan perempuan sebagai makhluk yang tak berdaya. Itu sebabnya mereka menyerukan kemandirian perempuan, kesetaraan dan keadilan gender.
Gagasan melawan patriarki yang seolah mengangkat hak perempuan itu pun disambut hangat oleh para perempuan Barat. Karena di Barat pada waktu itu, nasib perempuan memang mengenaskan. Dianggap makhluk kelas dua yang didiskriminasi. Dieksploitasi dan tidak mendapatkan hak-haknya sebagai manusia.
Sementara, sistem patriarki dianggap sebagai biang kerok pemicu kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik semisal KDRT maupun kekerasan seksual. Menurut mereka, tidak akan ada kesetaraan dan keadilan jika salah satu pihak mendominasi.
Sistem patriarki dianggap merugikan perempuan, karena tidak memberi kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam segala hal. Akibatnya, perempuan tertinggal dan dinomorduakan. Terjadilah kesenjangan gender, baik dari sisi karier, kehidupan bermasyarakat, dan berbagai kesempatan lainnya.
Sindrom Barbie
Boneka Barbie sendiri, awalnya diproduksi sekadar sebagai mainan, untuk memfasilitasi anak-anak gadis yang ingin berimajinasi tentang masa dewasanya nanti. Ruth Handler, pendiri Mattel bersama suaminya, Elliot, terinspirasi membuat boneka dewasa setelah melihat anaknya Barbara, selalu mengajak dialog bonekanya bak orang dewasa (wikipedia).
Mengenai bentuk boneka tiga dimensi itu, Ruth meniru boneka Bild Lilli yang ia beli di Jerman saat berlibur ke sana bersama anaknya, Barbara dan Kenneth. Asal tahu saja, Lilli adalah representasi dari tokoh kartun, seorang adult gag-gift escort doll, call girl, atau bahkan ada yang menyebutnya sex toys. Lilli sering dijadikan lelucon sebagai “hadiah” bagi laki-laki Jerman.
Singkat cerita, Maret 1959 dirilislah boneka Barbie pertama dengan tema seorang gadis yang fashionable dengan baju minim one piece hitam putihnya. Dan karena bentuknya yang sangat mirip Lilli, akhirnya pada 1964 Mattel mengakuisisinya, hingga hanya Barbielah yang dipasarkan. Kini, lebih dari satu miliar boneka Barbie terjual di 150 negara. Mattel pun mengklaim setiap detik ada tiga boneka terjual. Bisa dibayangkan, betapa banyaknya wanita yang terhipnotis Barbie.
Merebaklah sindrom Barbie, yaitu fenomena para perempuan yang terobsesi ingin memiliki penampilan sempurna layaknya boneka itu. Standar cantik di dunia wanita pun menjadi seragam, yaitu jika ia memiliki tubuh sesempurna Barbie: putih, langsing, tinggi, pinggang kecil dan kaki jenjang.
Barbie pun diluncurkan dalam berbagai versi yang mewakili simbol kebebasan dan kemandiriannya. Barbie pilot, barbie dokter, artis dan sebagainya. Kendati diluncurkan pula versi ras hitam, bahkan down syndrom untuk meredam sindrom Barbie, akan tetapi tidak ada gunanya. Kaum perempuan sudah terlanjur tersihir oleh dongeng cantik, sukses dan bahagia ala Barbie.
Meski kalangan feminis ada yang tidak setuju dan bahkan protes keras atas eksistensi Barbie yang justru menjajah perempuan pada stereotype cantik, namun sosok Barbie sudah terlanjur melekat kuat sebagai simbol kesempurnaan. Para perempuan merasa mimpinya terwakili oleh Barbie. Mereka ramai-ramai mempermak dirinya agar cantik secara fisik. Sukses berkarier, tidak boleh tergantung pada laki-laki dalam keuangan. Bebas berperilaku seperti apa pun yang ia mau. Bebas menentukan pilihan akan orientasi biologisnya.
Perempuan didorong keluar dari istana domestiknya menuju ke ruang publik untuk bersaing di berbagai bidang yang sama dengan yang ditekuni laki-laki. Sayangnya, sebagian perempuan, hanya menjadikan kecantikan dan kemolekan tubuhnya sebagai modal utama. Seperti kita saksikan hari ini, industri kecantikan, fashion dan hiburan dijejali perempuan-perempuan semolek Barbie. Termasuk kontes kecantikan yang membiarkan tubuh mereka dinilai, hingga menjadi objek pandangan laki-laki. Bukankah ini justru semakin melanggengkan budaya patriarki? Lantas di mana relevansinya dengan upaya melawan dominasi laki-laki, jika kiprah perempuan justru untuk memuaskan kaum laki-laki itu sendiri?
Begitulah dongeng Barbie akhirnya meninabobokan para wanita pada bentuk eksploitasi baru, yaitu ekspoitasi tubuhnya sendiri. Ironisnya, tanpa dieksplotasi para laki-laki, tapi atas kesadaran dirinya sendiri. Cita-cita untuk melawan patriarki jauh panggang dari api. Anehnya, ajaran Islam sering dicap sebagai ajaran patriarki. Padahal jelas-jelas, sistem patriarki subur di peradaban sekuler kapitalis, bukan di peradaban Islam. Patriarki menguat, justru karena Islam tidak diterapkan secara kaffah. Baik secara personal, komunal maupun negara.
Dalam sejarah panjang penerapan sistem Islam, tidak pernah ada protes terkait dengan kedudukan pria dan wanita. Tidak pernah ada diskursus soal keadilan dan kesetaraan gender, karena memang bukan hal yang penting untuk dibahas. Hal Ini karena Allah Swt sudah mendudukkan pria dan wanita pada porsinya masing-masing sesuai kodratnya. Peran yang dibagi, bukan disamakan. Peran yang ditata, bukan disetarakan. Peran yang berbeda, tapi bukan diskriminasi. Keduanya membentuk tawazun atau keseimbangan, hingga maslahat berupa keadilan dan ketenangan terwujud.(*)