Oleh. Ashaima Va
muslimahtimes.com – Kembali ke sekolah, berarti para pelajar akan bersemangat karena setelah libur lama mereka bisa kembali bertemu teman dan sahabat. Atau bahkan awal menjalin pertemanan baru. Kembali ke sekolah juga berarti sekolah dengan alat tulis dan tas baru juga semangat baru. Namun di era kebebasan seperti saat ini, kembali ke sekolah berarti kembali membuat permusuhan.
Begitulah yang terjadi di beberapa tempat di negeri ini, seperti yang terjadi di Tangerang, Polresta Tangerang menjadi saksi 69 pelajar menangis massal saat dipertemukan dengan orang tua mereka. Sebanyak 69 pelajar tersebut berencana tawuran di hari pertama mereka masuk sekolah (beritasatu.com, 18/7/2023).
Begitu pula halnya yang terjadi di Bogor, beberapa hari setelahnya. Terdapat 20 pelajar yang kedapatan membawa senjata tajam saat akan melancarkan tawuran. Polsek Gunung Putri, Kabupaten Bogor, menangkap dan mempertemukan para pelajar tersebut dengan orang tua mereka. Tak mampu berdalih para pelajar tersebut hanya bisa menangis dan bersimpuh di hadapan orang tua mereka (beritasatu.com, 23/7/2023).
Tawuran di awal tahun pembelajaran juga terjadi di wilayah Jawa Tengah. Pelajar SMK Purworejo dan Magelang terlibat tawuran pada Senin (17/7/2023) sore. Aksi tawuran bahkan viral di media sosial (Tribunjogja, 18/7/2023). Lalu di Tangerang seorang pelajar terkapar berlumuran darah akibat menjadi korban tawuran. Disinyalir korban terkena sabetan senjata tajam. (Tangerangnews.com, 22/7/2023)
Potret pendidikan kian menampakkan citra buram. Tawuran hanya satu dari permasalahan yang mendera pelajar. Tawuran menjadi tradisi yang seperti dipelihara. Dendam yang diturunkan hanya demi membela harga diri kelompok yang remeh temeh. Sepele namun nyawa taruhannya. Hanya demi fanatisme kelompok pula mereka merasa berjiwa ksatria, tanpa sadar jika mereka telah mengorbankan masa depan.
Alam sekuler seperti saat ini selalu berujung problema. Agama tak lagi menjadi nilai yang dijadikan pegangan para pelajar yang notabene mereka adalah remaja. Bagi mereka hidup hanya sekali sehingga tak lagi berpikir bagaimana masa depan mereka. Tak pula mereka berpikir bagaimana masa depan abadi mereka kelak di akhirat.
Bahaya Sekularisasi Pendidikan
Tak berlebihan jika kita katakan bahwa sistem pendidikan Indonesia adalah sistem yang sekular. Sejak era pasca kemerdekaan negeri ini memilih untuk mengadopsi sistem warisan penjajah yang bertumpu pada pemisahan agama dari kehidupan. Agama Islam hanya sebatas dianut oleh individu rakyat namun tak sampai menjadikan Agama Islam sebagai pedoman dalam berhukum. Begitu pula dalam hal pendidikan, sekularisme semakin kentara dari Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020-2035. Dalam PJPN disebutkan bahwa visi pendidikan Indonesia adalah: “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.” Frasa agama tak lagi dipakai, tergantikan oleh akhlak mulia dan budaya.
Jika seperti itu mampukah kita berharap pelajar akan menjadi sosok yang bertakwa. Yang menimbang perbuatan mereka dengan keridaan Allah Swt. Tentu saja mustahil, karena bagi mereka islam hanya berhenti pada ranah ibadah yang individual. Mereka akan abai pada aturan syariat Islam yang menyeluruh dan menuntun setiap aspek kehidupan.
Hal demikian tentu saja berbahaya bagi kelangsungan generasi. Sistem pendidikan yang menyingkirkan agama hanya pada ranah peribadahan tak mampu berpengaruh pada kepribadian pelajar. Mereka akan berpikir dengan cara pandang yang bebas nilai. Secara pemikiran (fikriyah) mereka sama sekali tidak mempertimbangkan baik dan buruk juga halal dan haram. Jangan heran jika sikap mereka akan jauh dari kata ideal. Jika tak lagi memandang halal haram maka hawa nafsu akan lebih mendominasi. Cara bersikap (nafsiyah) mereka akan sesuai dengan cara pandang bebas nilai yang mereka anut.
Sistem pendidikan sekuler bisa saja menghasilkan sosok-sosok yang cerdas dan beprestasi namun karena tak berpegang pada Dien Islam mereka akan menjadi cendekiawan namun tak memiliki integritas. Dengan mudahnya berbuat curang semisal korupsi. Seperti yang dipertontonkan oleh para pejabat negeri.
Memutus Mata Rantai Tawuran dengan Islam
Mari jangan lupakan sejarah kegemilangan Islam, selama lebih dari 1300 tahun Islam mampu menjadi mercusuar peradaban dunia. Pendidikan Islam menghasilkan pendidikan yang mampu menjadi rujukan. Generasi muda Islam menjadi generasi pembebas. Hampir sepertiga wilayah dunia dipimpin Islam. Tuntunan Allah dalam Al-Qur’an dan As-Sunah diterapkan pada tiap penduduk negeri. Mereka mampu menjadi generasi unggul. Para ksatrianya ditakuti oleh musuh-musuh Islam yang tamak. Ilmuan muslim pun menjadi acuan dalam teori-teori keilmuan modern.
Ibnu Sina, Ar-Razy, Al-Khawarizmi, Jabir Ibn Hayyan, dan Ibnu Al-Haytam hanyalah segelintir nama-nama besar yang sampai saat ini masih dikagumi sumbangsihnya dalam kwilmuan modern. Muhammad Al-Fatih, Sulayman Al-Qanuni, dan Saifuddin Qutuz adalah nama yang terukir sejarah sebagai sosok-sosok negarawan dengan jiwa ksatria. Mereka semua terbentuk bukan dari sistem yang mengabaikan tuntunan Allah. Mereka lahir dari sistem yang tunduk sepenuhnya pada aturan Ilahi, syariat Allah Swt.
Dalam Islam penanaman akidah Islam sejak usia dini adalah satu keharusan. Maka pada pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi akidah Islam dan syariatnya menjadi mata pelajaran yang diajarkan bukan semata hafalan, akan tetapi harus menjadi pemahaman yang berpengaruh pada cara berpikir dan bersikap para pelajar. Berdasarkan akidah Islam itu pula para pelajar akan terdorong untuk terikat pada hukum syarak. Halal haram akan menjadi tolok ukur dalam bersikap sehingga mereka akan menjadi pelajar yang bertakwa yang mampu memahami makna hidup.
Dengan pelajar yang memahami makna hidup mereka akan jadi individu yang mempunyai semangat menuntut ilmu. Semua amalannya dalam menuntut ilmu dilakukan semata-mata mengharap rida Allah Swt. Dengan ketakwaan mereka akan menjauhi perbuatan haram. Dari narkoba, khamr, sampai sex bebas akan dijauhi, apalagi tawuran yang berujung pembunuhan dan memecah belah. Pembelajaran inu tentu saja tak hanya menjadi tanggung jawab sekolah, namun dilakukan juga di rumah oleh orang tua.
Maka siapa pihak yang bisa meniscayakan semua komponen bergerak, baik sekolah dan orang tua? Jawabannya adalah negara. Negara memiliki sholahiyah atau kewenangan untuk menciptakan sekolah yang menjadikan Islam sebagai dasar sistem pendidikannya. Negara pula berkewajiban membina orang tua agar menjadi orang tua saleh yang mampu menanamkan nilai-nilai Islam di keluarganya.
Alhasil, selama Islam ditinggalkan dalam membentuk generasi, maka mata rantai tawuran akan terus bersambung. Dendam dan perpecahan lebih disukai ketimbang serius menuntut ilmu. Maka sekulerisme terbukti membentuk remaja-remaja tak bertakwa dan penuh masalah. Sekularisme juga mendorong remaja untuk bebas dari nilai-nilai Islam sehingga menumbuhsuburkan tawuran di kalangan pelajar.
Wallahua’lam bish shawab.