Oleh. Khola Najiyah
(Founder Salehah Institute, Pemred Muslimahtimes.com)
Muslimahtimes.com–Setelah tiga tahun vakum karena pandemi, ajang kontes kecantikan kembali menggeliat. Puncaknya ajang Miss Universe Indonesia 2023 belum lama ini, yang mengguncang jagat maya karena diduga ada skandal pelecehan terhadap para kontestan.
Saat ini, kasus tersebut sedang ditangani kepolisian. Menyusul laporan beberapa korban yang mengaku mendapatkan perlakuan tak senonoh oleh oknum penyelenggara. Saat itu, mereka diminta fitting gaun, namun malah dilakukan bodychecking sampai ke area sensitif. Parahnya, ada yang memotret bagian aurat yang dicek, plus ada laki-laki di ruangan yang tidak tertutup rapat tersebut.
Kasus ini dengan gamblang menjadi gambaran tentang sisi gelap di balik ajang kontes kecantikan yang gemerlap. Seharusnya sangat cukup untuk menjadi pelajaran berharga bagi para perempuan; masihkah percaya bahwa kontes kecantikan adalah jalan yang terhormat untuk meraih prestasi dan aktualisasi diri? Ataukah sebaliknya, malah menginjak-injak harga diri dan eksploitasi bodi?
Tubuh Perempuan Jadi Objek
Sejatinya, akar pemikiran tentang kontes kecantikan sudah sangat nyata, yaitu mencari perempuan cantik. Tanpa butuh argumen ilmiah pun, semua tahu bahwa kontes kecantikan menjadikan perempuan sebagai objek penilaian. Tubuh, wajah, kulit dan rambut, semua adalah modal utamanya. Memanggungkan perempuan-perempuan cantik dengan pakaian dan dandanan semenarik mungkin, apa namanya kalau bukan eksploitasi?
Slogan beauty, brain and behaviour (3B) yang didengungkan, hanya sebagai bentuk kamuflase saja, agar kontes sejenis ini tampak elegan dan bermartabat. Padahal syarat fisik seperti umur, tinggi dan berat badan ideal, serta kulit mulus (tidak boleh ada bekas luka, tatto, dll), sudah jelas mendiskriminasi mereka yang secara beauty tidak masuk kriteria. Meskipun perilakunya baik dan cerdas, tidak akan lolos ikut kontes tanpa beauty. Bahkan, 3B tersebut sering diplesetkan menjadi beauty, body and breast.
Namanya saja kontes kecantikan, jadi intinya yang dinilai adalah cantiknya. Cantik secara harfiah tentunya, bukan cantik secara makna yang orang sebut sebagai inner beauty. Jadi, tubuh tetaplah sebagai modal utama untuk menjadi kontestan. Lalu jika menang, tentu saja hadiah-hadiah bersifat materi menanti. Kontrak eksklusif, menjadi brand ambasador dll. Menjadi ikon perempuan cantik yang mendadak populer, tentu saja akan diikuti oleh mengalirnya pundi-pundi rupiah. Inilah komersialisasi tubuh perempuan.
Mendukung ajang ini sama saja dengan melanggengkan eksploitasi tubuh perempuan. Dan, inilah poin terburuk dari ajang kontes kecantikan. Sungguh aneh jika perempuan yang fitrahnya ingin dihormati dan dihargai, menjatuhkan diri dengan sadar ke dalam kontes yang justru menjatuhkan kehormatannya. Penyematan gelar tercantik dan mahkota ratu bukanlah suatu bentuk penghargaan hakiki, jika kecantikan tubuh sebagai modal utamanya.
Cara Pandang Ideologi Sekuler
Demikianlah sudut pandang terhadap perempuan oleh ideologi sekuler kapitalis yang memisahkan agama dari kehidupan. Perempuan hanya dinilai dari sisi kesempurnaan fisiknya semata. Sangat berbeda dengan Islam.
Nilai seorang perempuan ditentukan oleh ketakwaan dan sumbangsihnya bagi kebaikan dan perbaikan masyarakat. Perempuan yang mulia bukanlah yang paling aduhai bodinya, mulus kulitnya atau proporsional ukuran fisiknya. Melainkan yang berdedikasi mencurahkan waktu, ilmu dan hartanya untuk kemaslahatan masyarakat.
Kontes kecantikan adalah bagian dari industri kapitalisme. Perempuan cantik diorbitkan untuk mendongkrak image sebuah produk. Mereka menjadi pion-pion para sponsor yang terlibat dalam ajang tersebut. Seperti produk pakaian, baju renang dan kosmetik.
Kontes kecantikan tidak akan mendatangkan kehormatan bagi kaum perempuan. Sebaliknya, kontes ini justru merontokkan harkat dan martabat kaum perempuan. Perempuan kembali hanya dilihat dari segi penampilan fisiknya saja. Sungguh rendah. Persis seperti zaman jahiliah.
Bukan Model Islam
Kasus dugaan pelecehan terhadap kontestan Miss Universe, menambah deretan “kejelekan” di balik kontes kecantikan. Peringatan pada seluruh perempuan untuk tidak mengikuti kontes-kontes sejenis ini. Terlebih jika seorang muslimah. Tidak usah tergiur dengan iming-iming hadiahnya. Pasalnya, banyak sekali pelanggaran atas syariat dalam kontes kecantikan.
Pertama, aurat yang terbuka dan jadi tontonan. Padahal Allah Swt memerintahkan muslimah untuk menutup aurat secara sempurna. Kedua, terjadi ikhtilat atau campur baur, yaitu interaksi laki-laki dan wanita tanpa ada hajat syar’i. Ketiga, ada tabaruj, yaitu dandan untuk menonjolkan kecantikannya, hingga menarik perhatian. Keempat, eksploitasi dan komersalisasi tubuh perempuan.
Selain itu, dalam kancah global, negara ini semakin dipandang sebagai kiblat dunia muslim. Hal ini akan menjadi model bagi negeri-negeri muslim lain agar lebih toleran dan terbuka terhadap ¨kemajuan¨ kaum perempuan. Dari sinilah dijajakan pemahaman tentang kebebasan berekspresi dan gaya hidup hedonis. Pemenang kontes kecantikan akan menjadi ikon perempuan sukses. Padahal jujur, tidak semua perempuan beruntung memiliki wajah cantik. Apakah mereka tidak berhak sukses?
Demikianlah, jika Barat dengan ideologi sekulernya dijadikan standar berbuat, apa yang jelek pun dikemas sedemikian rupa hingga tampak cantik. Kontes seolah-olah dikemas demi membela kaum perempuan, padahal merusak kaum perempuan. Hanya Islam yang menempatkan perempuan pada posisi mulia, yaitu sebagai kehormatan seorang individu, keluarga bahkan bangsa. Perempuan harus dihargai, bukan dieksploitasi.(*)