Oleh. Riza Maries Rachmawati
Muslimahtimes.com–Suara-suara miring kian dihebuskan menjelang tahun politik 2024 baik dilakukan oleh para penguasa di negeri ini maupun pihak-pihak tertentu yang berkepentingan. Di lansir dari media online news.republika.co.id (04-09-2023), Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, mengimbau masyarakat agar tidak memilih pemimpin yang memecah belah umat. Ia juga meminta masyarakat tidak memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Menanggapi pernyataan dari Menteri Agama tersebut, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, yakni Ujang Komarudin mengatakan, jangan sampai pernyataan dari Menag justru malah memicu perpecahan di antara masyarakat. Beliau juga menambahkan, para pejabat termasuk para menteri tidak perlu membuat pernyataan tidak perlu. Karena masyarakat sudah paham sudah tahu bahwa politik identitas harus ditinggalkan, politik SARA juga harus dihilangkan, adu domba juga harus dienyahkan. (news.republika.co.id, 05-09-2023)
Dalam Sekularisme Agama dituduh sebagai Alat Politik
Pernyatan yang dikeluarkan oleh Menag sejatinya menyesatkan dan membahayakan kehidupan umat karena agama dituduh sebagai alat politik. Pernyataan ini akan menggiring pandangan umat bahwa Islam tidak mengajarkan tentang politik. Islam dan politik terpisah, padahal politik dan Islam bukan sesuatu yang terpisah dan asing. Justru politik adalah bagian dari syariah Islam. Jika ada yang mengatakan berpolitik jangan membawa Islam, maka jelas pandangan tersebut bukan berasal dari Islam.
Pertanyaan tersebut sejatinya adalah cerminan dari negara sekularisme. Sekularisme adalah negara yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama hanya dicukupkan pada aktivitas ritual seperti salat, puasa, zakat, haji dan zikir. Sedangkan urusan kehidupan seperti perpolitikan diatur oleh cara main yang dibuat manusia sendiri. Akhirnya umat terbawa pada aktivitas politik yang berorientasi haus akan kekuasaan dan kotor seperti saat ini.
Politik Bagian dari Syariat Islam
Politik adalah bagian dari syariah Islam. Allah Azza wa Jalla menurunkan Islam sebagai ideologi yang menjelaskan segala sesuatu. “Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (Muslim)”. (QS. An Nahl: 89)
Maka urusan politik tidak akan lepas dari penjelasan Islam. Politik dalam Islam dikenal dengan istilah as-siyasah yang berasal dari kata sasa-yasusu-siyasat (an), yang berarti mengatur, memimpin, memelihara dan mengurus suatu urusan. Pengertian ini dapat dipahami berdasarkan hadis Rasulullah saw dari Abu Hurairah Radhiyallaahu’anhu: “Dahulu Bani Isra’il dipimpin oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, ia akan digantikan oleh Nabi (lain). Namun sungguh tidak ada Nabi lagi sesudahku, dan sepeninggalku akan ada para Khalifah lalu jumlah mereka akan banyak.”
Gambaran bagaimana agama dan politik saling berkaitan pun dapat dipahami dari pendapat-pendapat ulama, yaitu di antaranya:
- Dalam Shahih Muslim Bisyarh an Nawawi Imam an Nawawi menjelaskan arti “tasusuhum al-anbiyaa” adalah mengatur urusan mereka sebagaimana yang dilakukan oleh para pemimpin dan wali terhadap rakyatnya.
- Imam Al Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin Juz 1 halaman 17 “Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar; agama merupakan fondasi dan penguas adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki fondasi akan hancur dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang.”
- Ibnu kutaibah pun menuliskan, “Perumpamaan antara Islam, kekuasaan, dn rakyat adalah laksana tenda besar, tiang, dan tali pengikat serta pasaknya. Tenda besarnya adalah Islam. Tiangnya adalah kekuasaan. Tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya.”
- Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitabnya Daulah Islam menjelaskan bahwa politik adalah mengurus urusan umat dengan menerapkan hukum Islam baik di dalam maupun di luar negeri. Dan dalam kitab Ajhizah ad Daulah Khilafah dijelaskan juga bahwa Islam memiliki sistem politik baku yang dikenal sistem Khilafah. Pengangkatan pemimpinnya disebut Khalifah yakni menggunakan metode ba’iat. Khalifah ini yang akan mengurus urusan umat menggunakan syariat Islam baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Dengan demikian telah jelas, politik bukan hal yang terpisah apalagi asing dalam Islam atau bahkan digunakan untuk berebut kekuasaan. Politik adalah hal yang ma’lumun min al-din bi al-dharurah atau suatu perkara yang diketahui oleh seorang muslim tanpa pandang bulu baik dari kalangan ulama atau awam sekalipun. Politik Islam digunakan untuk mengurus urusan umat dan menyatukan wilayah-wilayah kekuasaan Islam dibawah Daulah Khilafah yang berdiri kokoh selama 1.300 tahun.
Bukti keberhasilan politik Islam ketika mengatur urusan warga negaranya pun diakui oleh Barat. Will Durat dalam bukunya, The Story of Civilizationn States menyatakan: “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para khalifah telah mempersiapkan berbagai kesempatan bagi siapa pun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama beradab-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka.” Demikianlah Islam memandang tentang politik, maka sudah seharusnya kaum muslimin kembali kepada makna politik hakiki seperti yang diajarkan Islam. Bukan malah terarus permainan politik sekularisme.
Wallahu ‘alam bi shawab