Oleh. Sherly Agustina, M.Ag.
(Penulis dan Pemerhati Kebijakan Publik)
Muslimahtimes.com–Allah Swt. berfirman di dalam surah Ar-Ruum ayat 21, “Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia ciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.”
Rumah yang seharusnya menjadi surga, seakan menjadi neraka bagi para suami istri. Padahal, syariat pernikahan ada salah satunya agar saling berkasih sayang dan menjadi tenteram. Lalu, mengapa ungkapan rumahku surgaku sulit dirasakan saat ini?
Dilansir dari Kompas.com, (16-09-2023), seorang suami tega menusuk istrinya berkali-kali hingga tewas karena emosi tak terima digugat cerai oleh istrinya. Peristiwa ini terjadi di Kota Singkawang, Kalimantan Barat. Peristiwa sadis terjadi pula di tempat lain, seorang suami di Cikarang Barat, Bekasi menggorok leher istrinya hingga tewas karena sang istri meminta uang belanja pada suami. Sebelum kejadian, ada pertengkaran di antara suami istri menurut keterangan warga sekitar (Republika.co.id, 12-09-2023).
Dari catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sejak 1 Januari 2022 hingga 14 Februari 2023 ada 3.173 kasus kekerasan dalam rumah tangga (CNBCIndonesia.com, 14-02-2023).
Faktor Penyebab
Kasus kekerasan dalam rumah tangga kian marak dan sadis, seolah tak percaya bahwa pelakunya seorang suami yang dahulu meminang sang istri atas dasar cinta. Seiring berjalan waktu, rasa cinta yang pernah ada di dasar hati terkikis menjadi amarah yang meluluhlantakkan apa saja yang ada di hadapannya termasuk istrinya. Mengapa ini bisa terjadi?
Jika ditelisik lebih mendalam banyak faktor yang membuat kekerasan dalam rumah tangga kian marak, di antaranya:
Pertama, terkikisnya keimanan yang membuat ucapan dan perbuatan tak lagi memiliki koneksi pada Allah. Hingga akhirnya menghilangkan rasa kasih sayang yang pernah ada.
Kedua, lingkungan sekitar yang negatif berpengaruh besar pada pola perilaku seseorang termasuk suami.
Ketiga, atmosfer gaya hidup materialisme yang dipertontonkan saat ini, baik di dunia nyata maupun digital. Membuat para istri terkadang kurang bersyukur dengan penghasilan suami karena terbawa virus hedonisme dan konsumerisme. Hal ini bisa memicu benih-benih pertengkaran, bagai fenomena gunung es yang suatu saat akan meledak.
Keempat, sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak membuat para suami kesulitan untuk menafkahi anak dan istri. Apalagi gelombang PHK yang terjadi berkali-kali pasca pandemi, membuat rakyat tak tahu harus berbuat apa agar bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Di sini seharusnya ada peran negara yang mampu memberi solusi bagi rakyat.
Semua faktor penyebab terakumulasi pada seseorang hingga bisa berbuat apa saja di luar nalar termasuk membunuh istrinya sendiri. Kesalahan individu tersebut tentu bukan hanya faktor kesalahan pribadi, ada andil lingkungan dan sistem yang ada. Karena jika support system baik dan adil rakyat mendapatkan hidup yang layak, kekerasan dalam rumah tangga bisa berkurang.
Pandangan Islam
Lalu, bagaimana pandangan Islam menyikapi fenomena ini? Syariat pernikahan dalam Islam yaitu agar sepasang suami istri saling menyayangi dan merasa tenang. Sang suami yang mencari nafkah, sang istri yang menjadi ummun wa rabbatul bait.Keduanya bersinergi melakukan perannya masing-masing, muaranya hanya berharap rida Allah semata. Maka, apa pun yang dilakukan suami istri hanya berstandar pada rida Allah bukan yang lain.
Dorongan menikah dan mengarungi bahtera rumah tangga hanya keimanan kepada Allah. Setelah menikah semakin cinta dan taat pada Allah, semakin lebih baik dari waktu ke waktu. Jika setelah menikah malah menjauh dari Allah, patut dipertanyakan dorongan menikah karena apa? Ini dari sisi individu. Dari sisi lingkungan, atmosfer yang diciptakan dalam Islam penuh dengan suasana kasih dan sayang dengan adanya amar makruf nahi mungkar.
Negara memiliki kewajiban untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya dengan memastikan rakyatnya terpenuhi kebutuhan pokok dan kolektifnya. Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok di antaranya dengan cara menyediakan lapangan pekerjaan, memberi pinjaman modal dan lahan usaha bagi yang membutuhkan, membekali skill dengan adanya training dan lainnya. Sehingga warga negara produktif dengan keahliannya masing-masing.
Adapun kebutuhan kolektif berupa pendidikan, kesehatan dan keamanan dijamin oleh negara secara gratis. Tidak seperti saat ini, jika rakyat ingin mendapatkan fasilitas dan kualitas pendidikan yang jauh lebih baik maka harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Dorongan kebutuhan sehari-hari, pendidikan dan lainnya terkadang membuat rakyat stres. Bagi yang hebat, bisa bertahan tapi bagi yang kesulitan tak bisa bertahan.
Karena kehidupan yang ada penuh dengan suasana keimanan bukan gaya hidup hedonisme dan konsumerisme maka para istri akan berlomba mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya dari Allah dan berusaha membahagiakan suami dan anak-anaknya. Begitu pun para suami, berlomba ingin membahagiakan istri dan anaknya. Pada kondisi inilah, ungkapan rumahku surgaku bisa dirasakan bukan hanya sekadar impian. Allahu a’lam bishawab.