Oleh. Saima, S.I.P
Muslimahtimes.com–Anak merupakan potensi besar suatu bangsa di masa yang akan datang. Dalam konteks sekonomi, anak di masa sekarang diharapkan menjadi subjek pembangunan Indonesia ke arah yang lebih baik. Potensi ini tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Tumbuh kembang hingga kesiapannya secara mental dan intelektualitas seorang negarawan menjadi suatu persoalan yang harus diperhatikan secara seksama.
Anak-Anak Bernasib Malang
Dunia terus berkembang dan seolah berlari menuju modernisasi. Setiap aspek kehidupan mengalami yang namanya digitalisasi. Mau tidak mau, perkembangan seperti ini akan membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan, termasuk dalam dunia anak. Nyatanya, modernisasi yang digadang bisa memberi efek positif justru acapkali memberikan yang sebaliknya. Makin modern zaman ini, maka kita dapati bentuk-bentuk kejahatan pun semakin beragam seolah mengikuti perkembangan zaman. Beberapa di antaranya malah bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih. Sebut saja prostitusi yang dahulu hanya ditemukan pada orang dewasa, maka sekarang tak jarang pelakunya adalah anak-anak. Pun dahulu prostitusi dijajakan di gang-gang sempit nan remang, sekarang menjadi begitu mudah diakses di gawai masing-masing.
Dilansir dari republika.co.id, Polda Metro Jaya menangkap seorang perempuan berinisial FEA (24 tahun), mucikari pada kasus prostitusi anak di bawah umur atau perdagangan orang melalui media sosial (Minggu, 24/9/2023). Berita lainnya yang dilansir dari detik.com/sumut, terdapat total 41 anak korban eksploitasi dari dua panti. Dua panti ini melakukan eksploitasi anak melalui media sosial (Sabtu, 23/09/2023).
Dalam perspektif pembangunan, anak merupakan sumber daya manusia yang akan menjadi penerus cita-cita bangsa di masa depan. Dengan mengabaikan masalah perlindungan anak, termasuk membiarkan prostitusi anak terus terjadi, maka hal ini pasti akan menggoyahkan pembangunan nasional. Karena, tidak terlindunginya anak bahkan pada beberapa kasus nyata-nyata terjadi eksploitasi ekonomi dan sosial akan berakibat pada munculnya berbagai permasalahan sosial yang menghambat pembentukan karakter dan kapasitas mereka. Dengan kata lain, anak-anak memang harus dilindungi karena mereka aset pembangunan di masa depan.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa negeri ini abai dalam hal perlindungan anak. Hal ini jika kita menilik pada sanksi hukum kepada penyedia maupun pengguna jasa prostitusi anak yang tidak jelas. Sudah menjadi rahasia umum, pasal-pasal dalam berbagai kebijakan merupakan pasar karet yang membuat proses peradilan berjalan lambat dan bertele-tele. Parahnya, UU di negeri ini tidak mengategorikan perbuatan zina sebagai perbuatan kriminal selama dilakukan atas dasar suka sama suka. Sehingga pezina tidak terjerat hukum apa pun.
Di negeri yang bermimpi menjadi Indonesia Layak Anak ini ternyata justru ramah prostitusi. Yang legal dibiarkan, sedang yang ilegal begitu sulit diberantas. Yang lebih mengerikan, banyak kasus prostitusi berlindung di tempat yang termasuk ranah privat, seperti apartemen, kamar hotel, kamar kos dan kontrakan. Fakta ini sungguh membuat masyarakat miris sekaligus bergidik, karena dari praktek prostitusi yang makin marak tersebut ternyata tidak sedikit yang pelakunya adalah para wanita muda atau remaja putri berusia di bawah umur.
Eksploitasi Anak, Prostitusi Online, dan Tanggung Jawab Negara
Kemajuan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi yang mengakselerasi terjadinya globalisasi juga dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk mengemas pelacuran ke dalam bentuk yang baru. Di antaranya adalah prostitusi online dan perdagangan orang yang beroperasi secara tertutup dan terkesan kebal hukum. Dalam kasus ini, penguasa terkesan lambat merespon dan hanya menindak ‘kasus-kasus besar’. Sedang ribuan kasus lainnya, luput dari perhatian. Hal ini sejalan dengan lemahnya negeri ini menghadapi situs-situs porno, yang seolah mati satu tumbuh seribu. Penguasa begitu lemah dan kehilangan taring, padahal kuasa ada di tangan mereka.
Khusus kegiatan yang melibatkan anak di bawah umur, baik dalam bentuk prostitusi anak, eksploitasi anak dan pornografi anak mestinya mendapatkan perhatian dari negara. Anak seharusnya dilindungi dari segala bentuk eksploitasi ekonomi, eksploitasi seksual, maupun dari segala bentuk tindakan yang membahayakan diri dan masa depannya. Inilah salah satu cara bagaimana seharusnya negara memberikan perhatian kepada anak sebagai manusia yang harus dihormati dan dijaga hak-haknya.
Sesungguhnya, ‘ladang prostitusi’ yang begitu luas ini takkan menarik minat jika masyarakat memiliki kesadaran yang baik akan buruk dan kejinya hal tersebut. Sayang beribu sayang, masyarakat saat ini telah terwarnai oleh tayangan media berbau seks dan pornografi, dipenuhi dengan budaya fashion, kuliner dan gaya hidup hedonis justru memperparah keadaan. Tiap individu ibarat tanpa filter sehingga tak mampu lagi membedakan baik buruk. Semua hal dikerjakan dan disukai, termasuk perzinaan dan prostitusi, selama mendatangkan kesenangan. Makin banyak yang mengerjakan, makin terasa wajar dan normal hal itu dilakukan. Na’udzu billahi min dzalik.
Saat ini semua manusia hidup di bawah lingkungan yang tidak kondusif untuk mengarahkan pada kebaikan. Antaranggota masyarakat justru saling mengabaikan dan sibuk mengurusi hidup masing-masing. Tak jarang terjadi, eksploitasi anak diketahui oleh tetangga sekitar namun didiamkan atas nama menjaga kondusivitas lingkungan. Belum lagi fakta bahwa lingkungan yang serba permisif seperti saat ini menghasilkan pemikiran bahwa hal-hal seperti prostitusi tidak boleh dilarang. Inilah yang pada akhirnya menghasilkan suatu pola berpikir, pola sikap, juga nilai-nilai yang diadopsi masyarakat makin jauh dari kata ideal.
Selain fakta di atas, jamak diketahui bahwa motivasi terbesar seseorang terlibat pelacuran atau melacurkan anak di bawah umur adalag karena ingin mendapatkan besaran materi tertentu. Dalam sistem kapitalisme liberal, prostitusi merupakan bisnis menjanjikan dan mampu menjadi ‘solusi jalan pintas’ bagi mereka yang mengalami keterbatasan ekonomi. Sebagaimana salah satu kaidah dalam ekonomi kapitalisme bahwa _supply creates its own demand_, maka selama diiklankan dan dijajakan, maka prostitusi pasti takkan sepi peminat.
Sungguh menyedihkan ketika masalah yang lahir akibat kegagalan sistem sekuler kapitalisme ini justru mencari solusi ala kapitalisme liberal. Bisa dipastikan masalah yang ada justru bertambah pelik. Nasib anak-anak yang seharusnya mendapat perhatian penuh dalam hal pendidikan dan pembentukan karakternya sebagai manusia justru menjadi korban, karena mereka hanya dipandang sebagai objek ekonomi untuk meraih pundi-pundi rupiah.
Sistem Islam, Solusi Kehidupan Anak yang Layak
Mimpi besar menjadi negeri yang ‘layak anak’ hanya akan dapat mewujud dalam sistem kehidupan yang memandang anak sebagai hamba Allah yang memiliki hak dan kemuliaan yang harus dijaga. Khusus bagi anak perempuan, terdapat hadits yang mengungkapkan bahwasannya Rasulullah Muhammad saw. menegur orang tua yang membeda-bedakan perlakukan kepada anaknya yang laki-laki danperempuan, yang mana anak laki-laki lebih disayang dan dibanggakan. Rasulullah saw. mengatakan, “Adillah kepada anakmu, adillah kepada anakmu, adillah kepada anakmu!” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Hibban)
Imam Nawawi mengatakan, “Dalam hadis ini ditunjukkan bahwa sudah selayaknya untuk disamakan pemberian itu kepada anak-anaknya, dengan cara memberi masing-masing anak sama seperti apa yang diberikan kepada yang lainnya dan tidak boleh dilebihkan, serta disamakan (pemberian) baik anak laki-laki atau perempuan”. Maka seharusnya anak-anak, khususnya anak perempuan, mesti mendapat kasih sayang, pendidikan dan penjagaan yang sama dengan anak laki-laki. Bukan malah dijadikan objek ekonomi pemuas hawa nafsu orang dewasa.
Islam sangat keras dan tegas menyikapi praktik kejahatan terhadap anak wanita di bawah umur dan penyimpangan seksual, yang mana ini bertujuan untuk menjaga kehormatan dan kesucian anak wanita dari upaya-upaya penodaan dan eksploitasi seksual. Islam hadir untuk menjaga hak anak untuk terlindung dari perilaku-perilaku yang mengarah kepada penyimpangan moral dan seksual ini. Hal ini tertuang dalam beberapa hal yang termasuk dalam pengaturan Islam, yakni :
(1) Islam mengajarkan anak-anak untuk menjaga kesucian mereka dan pentingnya menjaga rasa malu sejak pertama kali mereka diperkenalkan dengan konsep malu. Dengan berbagai ajaran yang serinci itu dan perhatian yang menyeluruh terhadap anak, Islam telah melindungi mereka dari tindak-tindak eksploitasi anak dan penyimpangan seksual.
(2) Sistem pendidikan formal maupun berbasis keluarga akan membentuk pemahaman yang utuh pada diri anak, mulai dari bagaimana ia mengenal Allah dan memiliki asa yang begitu besar terhadap ridhoNya. Secara bertahap akan diajarkan syariat-syariat seputar pergaulan yang akan menambah kuat penjagaan tiap personal hingga ia beranjak dewasa. Pola pikir dan pola sikapnya akan selaras dengan Islam sehingga ia senantiasa terjada dari maksiat, entah sebagai subjek maupun objek pelacuran.
(3) Kehidupan sosial yang kental dalam amar ma’ruf nahiy munkar, sehingga antaranggota masyarakat saling mengawasi dan mengontrol dalam rangka ketaatan yang kaffah terhadap Allah al Mudabbir.
(4) Penguasa menerapkan sistem Islam kaffah, tanpa pilih-pilih apalagi berorientasikan materi. Penguasa menjadi teladan beramal dengan perasaan sadar bahwa ia diawasi oleh Allah setiap detiknya. Sistem pendidikan, sistem ekonomi, sistem sosial dan pergaulan serta sistem sanksi yang dikembalikan pada syariat akan saling memengaruhi dan mendatangkan rahmat dari Allah Rabbul ‘alamin.
Keempat solusi di atas tidak akan ditemukan dalam sistem demokrasi sekuler yang justru meminggirkan peran agama dan Allah dalam kehidupan. Pun jika syariat dipaksakan diberlakukan dalam sistem sekuler ini, maka tetap saja masyarakat akan jauh dari kebaikan, atau justru malah mengundang masalah baru. Oleh karena itu, cita-cita besar menghapuskan eksploitasi dan prositusi anak dan menjadi negara yang layak anak, hanya bisa diwujudkan dalam bingka negara berasaskan ideologi Islam. Institusi pelaksana syariat, di bawah kepemimpinan seorang khalifah yang bertakwa, yakni Daulah Islamiyyah sebagaimana yang diteladankan Rasulullah saw.
Wallahu ‘alam bi ash-shawab.