Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Kontributor Muslimahtimes.com)
Muslimahtimes.com–Calon presiden dari Koalisi Indonesia Maju (KIM), Prabowo Subianto yang sekaligus juga aktif sebagai Menteri Pertahanan RI, hendak mengkaji terlebih dahulu keuntungan yang didapat Indonesia jika bergabung menjadi anggota kelompok BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) apabila menjadi presiden 2024. (republika.co.id, 14/11/2023)
Menurut Prabowo, BRICS merupakan kelompok ekonomi, bukan aliansi geopolitik ataupun militer. BRICS sama halnya dengan G20, ASEAN, dan APEC. Prabowo juga menegaskan bahwa ia akan tetap mempertahankan kebijakan luar negeri non-blok apabila terpilih sebagai presiden 2024. Sebab, Indonesia sejak awal kemerdekaan menerapkan kebijakan luar negeri independen, yakni berpedoman pada prinsip politik luar negeri nonblok. Kebijakan ini dirancang oleh para pendiri bangsa dan merupakan cara terbaik yang diinginkan oleh rakyat Indonesia. Selain itu, kebijakan non blok sangat cocok untuk kepentingan Indonesia.
Pilihan Terbaikku Bergabung dengan Organisasi Internasional?
BRICS adalah kelompok lima negara (Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan) yang bekerja sama dalam berbagai isu ekonomi, politik, dan sosial, didirikan pada tahun 2006 dengan tujuan untuk mempromosikan kerja sama ekonomi antaranggota, membahas isu-isu global, dan memengaruhi tata kelola global yang lebih adil. Dalam konferensi tingkat tinggi (KTT) ke-15, baru saja menerima enam anggota baru yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, Iran, Argentina, dan Etiopia.
Istilah untuk sebuah organisasi yang bisa menampung dan mewadahi negara-negara ambang industri pertamakali istilah ini dipakai oleh pakar ekonomi AS Jim O’Neal, seorang ekonom perusahaan keuangan global Goldman Sachs, pada tahun 2001 . Dan BRICS inilah yang digadang bisa sebagai sebagai wadah untuk menampung suara negara-negara berkembang yang kurang dominan dalam dunia internasional. Namun bisa anda bayangkan, jika AS sebagai pengisiasi dan negara ekonomi kuat sebagai eksekutornya tentu bukan sekadar membentuk kelompok hura-hura dan berbicara masalah ekonomi dengan renyah riuh rendah.
Tapi lagi-lagi, inilah jebakan kapitalisme untuk kesekian kali terutama dengan tujuan tetap bisa mengikat negara berkembang (yang kaya potensi SDA dan SDMnya) agar tetap terkendali dalam rangka hegemoni penjajahan. Inilah neoliberalisme yang menjadi ruh kapitalisme, penjajahan dalam bentuk kerja sama, lebih smooth bukan lagi angkat senjata dan saling bunuh jarak dekat. Dampak kematiannya bisa jadi lambat, namun yang jelas negara yang lemah secara ekonomi akan hilang kedaulatannya.
Allah Swt berfirman yang artinya, “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi auliya dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” (TQS. Al Imran: 28). Dari ayat ini sesungguhnya sudah jelas adanya larangan menjadikan kaum kafir sebagai pengurus urusan kaum muslim. Dan Indonesia adalah negara dengan jumlah muslim terbesar ke-4 di dunia. Miris jika secara jumlah ternyata tidak signifikan dengan pemahaman terhadap agama dan keyakinan mereka. Terutama para pemimpinnya.
Namun, inilah fakta betapa sistem politik demokrasi tak memberikan perubahan yang hahiki, setelah begitu nyata kesengsaraan rakyat yang terus terjadi ini bukan semata karena pemimpinnya yang harus di ganti. Justru dalam sistem demokrasilah kesengsaraan itu berlanjut, sebagaimana keukeuhnya pemimpin kita melanjutkan kebijakan lama, dengan pandangan hanya melanjutkan tradisi. Benarkah para pendiri negeri ini menginginkan yang demikian? Apa pula makna perjuangan yang digelorakan para pahlawan nasional dan ulama hingga mereka berkorban harta dan nyawa? Bukankah mereka menginginkan terhapusnya penjajahan, pun dalam Preambule UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan.
Siapa yang akhirnya berdiri di posisi sebagai pengkianat, terutama jika benar terpilih sebagai presiden baru kata bergabung yang dipilih sebagai kebijakan?
Islam Tidak Butuh Organisasi Internasional
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya berjudul Asy-Syakhshiyah Al-Islam jilid 2 mengatakan negara boleh melakukan perjanjian damai, gencatan senjata, bertetangga yang baik, perjanjian kebudayaan, perjanjian dagang dan ekonomi dan lain sebagainya berupa perjanjian yang mendukung kepentingan penyebaran dakwah Islam dengan syarat-syarat yang diakui Islam. Jika tidak maka batal. Dan terlarang.
Demikian pula negara boleh melakukan kerjasama bilateral dengan negara tetangga atau yang berjauhan ketika ada maslahat dan peluang untuk penyebaran dakwah. Sebagaimana Rasulullah Saw pernah mengadakan perjanjian damai dengan Yohanes bin Ru’yat dalam perang Tabuk untuk mengamankan batas-batas negara dari arah Romawi atas batas-batas wilayah Syam. Dan kafir harbi ini menginginkan perdamaian dengan kaum muslim dalam jangka waktu tertentu tanpa syarat.
BRICS memang bukan berkumpul atas geopolitik dan militer sebagaimana yang dikatakan Prabowo, namun mereka tak mungkin menerima syarat Islam yang kemudian dijadikan aturan dasar dalam bekerja sama. Sebab mereka penguasa sebenarnya atas keadaan perekonomian dunia ini, berharap pada mereka meski hanya dari sisi ekonomi sungguh pilihan fatal. Untuk itu keputusan terbaik adalah kembali kepada pengaturan Islam, bukan sekadar karena bukti historis kejayaan peradaban Islam yang belum bisa terkalahkan hingga hari ini, tapi juga tuntutan sebagai seorang mukmin. Sebagaimana firman Allah Swt yang artinya,”Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (TQS al-Maidah:50). Wallahualam bissawab.