Oleh. Shafayasmin Salsabila
(Revowriter Indramayu)
MuslimahTimes.com–Tak mudah menjadi ibu saat ini. Setelah melahirkan anak, pikirannya mulai bercabang-cabang. Dilanda kecemasan kalau satu hari suami kena PHK (pemutusan hubungan kerja) dan menjadi pengangguran. Resah memikirkan kenaikan bahan-bahan makanan, susu anak, diaper, pakaian, sampai soal biaya pendidikan dan kesehatannya. Ditambah kebutuhan membayar hunian, air, listrik, uang keamanan, retribusi sampah, dsb.
Uang belanja habis dalam sekejap, setelah masuk ke amplop-amplop pengeluaran bulanan. Besarnya biaya hidup dalam alam kapitalis, sering kali tidak dibarengi dengan kemampuan finansial keluarga. Bahkan, setelah seorang ibu turut bekerja, masih saja besar pasak dari pada tiang. Apalagi jika sudah tiba waktunya membayar pajak kendaraan. Setelah sederet tuntutan pajak di berbagai sektor, tentunya.
Berbicara soal pajak kendaraan, kaum ibu ketar- ketir. Pasalnya, pemerintah berencana untuk menaikkan pajak kendaraan berbahan bakar minyak atau internal combustion engine (ICE). Langkah ini diambil dalam rangka mendorong penggunaan kendaraan listrik (electric vehicle/EV) dan transportasi umum, seraya menekan emisi gas buang sehingga mengurangi polutan.
Walaupun, jika dipikir perlahan, menggunakan kendaraan pribadi akan memakan biaya lebih tinggi, ketimbang memanfaatkan transportasi publik. Namun faktanya, ada banyak hal yang membuat lesunya minat masyarakat untuk memanfaatkan kendaraan umum. Seperti lamanya menunggu, berdesak-desakkan, waktu tempuh yang lebih lama, serta rawan terjadi tindakan kriminal, sampai pelecehan seksual. Sehingga, nampak jika kebijakan menaikkan pajak kendaraan bermotor, bukanlah solusi fundamental supaya masyarakat beralih menggunakan kendaraan umum. Semestinya yang perlu dibenahi adalah kuantitas, dan kualitas berupa kelayakan dan kenyamanan dari transportasi publik tersebut.
Adanya program konversi energi menuju penggunaan listrik pun mengundang tanya. Apalagi dengan mulai resmi beroperasinya industri kendaraan listrik di Indonesia. Benarkah demi alasan lingkungan atau semata karena kucuran investasi. Diberitakan di laman detik.com (18/1), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengapresiasi BYD yang resmi masuk Indonesia. Airlangga mengungkapkan, BYD menanamkan investasi sebesar 1,3 miliar USD (sekitar Rp20,3 triliun).
BYD (Build Your Dream) sendiri adalah merek mobil listrik dari Cina. Kapasitas produksi (pabrik BYD di Indonesia) 150 ribu per unit. Beberapa produk terbaru yang diluncurkan adalah BYD Dolphin, BYD Atto 3 dan BYD Seal. Ketiganya diharapkan dapat mendisverfikasi mobil listrik di Indoneia sehingga mobil listrik digemari di Indonesia.
Lalu jika dikaitkan dengan polusi udara. Memang benar adanya jika sektor transportasi menjadi penyumbang emisi karbon monoksida (CO), sekaligus memicu meningkatnya polusi udara dari tahun ke tahun di Jakarta. Namun, masih ada beberapa faktor lain, seperti sektor industri. Keberadaan pabrik-pabrik dengan berbagai barang yang mereka produksi juga berpotensi menghasilkan limbah, dan efek samping berupa polusi udara. Selain itu Pembangkit Listrik (PLTU) yang menggunakan bahan Batubara merupakan sektor terbesar yang menghasilkan Sulfur Dioksida (SO2). Sulfur Dioksida ini juga menjadi sumber polutan yang menyebabkan timbulnya kerusakan pada lingkungan. PLTU bahkan konon menjadi penyebab tertinggi pencemaran udara di Jakarta.
Maka wajar, jika banyak pihak dari warga meragukan wacana kebijakan ini. Sebenernya untuk kepentingan siapa. Karena ujung-ujungnya rakyat yang dikorbankan. Hidupnya semakin berat, dengan banyaknya beban-beban pajak. Apalagi kaum ibu selaku pengatur keuangan dan penyelenggara urusan rumah tangga.
Dilihat dari sisi syariat, jangankan menaikkan pajak, mengadakan pajak saja dilarang. Aturan bernegara dalam sistem Islam, secara normatif, tegas melarang pungutan pajak dari rakyat, kecuali dalam keadaan tertentu. Pajak dianggap sebagai simbol kezaliman penguasa atas rakyat yang dipimpinnya. Padahal, salah satu perkara yang diharamkan dalam Islam adalah kezaliman. “Siapa saja yang mengambil hak orang lain, walaupun hanya sejengkal tanah, nanti akan dikalungkan tujuh lapis bumi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebenarnya istilah pajak sendiri, merupakan istilah asing bagi dunia Islam. Islam lebih mengenalnya dengan terminologi Dharibah. Dharibah adalah harta yang diwajibkan Allah Swt. kepada kaum Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi di baitulmal tidak ada uang/harta. Sehingga dharibah baru boleh diambil karena kondisi darurat, bukan kondisi normal. Hukum asalnya bahkan haram, namun menjadi boleh jika kas negara di baitulmal sedang kosong. Baitulmal sendiri merupakan institusi khusus yang menangani harta yang diterima negara dan mengalokasikannya bagi kaum Muslim yang berhak menerimanya.
Dalam kondisi darurat dharibah dipungut tidak kepada semua rakyat. Kriteria wajib pajak ada 3, yaitu: Muslim, mampu dan mempunyai kelebihan harta, dipungut sesuai kadar yang dibutuhkan. Dharibah tidak boleh dipaksakan pengambilannya melebihi kesanggupan, atau melebihi kadar harta orang-orang kaya, atau berusaha menambah pemasukan baitulmal, namun sebatas untuk memenuhi pembiayaan rutin pos-pos yang urgen. Tidak boleh lebih dari pada itu. “Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut cukai.” (HR. Ahmad, ad Darami, dan Abu Ubaid)
Dalam anggaran pendapatan dan belanja negara menurut syariat, Islam tidak boleh menjadikan dharibah sebagai sumber pemasukan utama. Pembiayaan belanja negara diambil dari harta kepemilikan umum dan harta milik negara. Demikian pula untuk alasan lain, seperti berkaitan dengan menekan pencemaran udara, atau sejenisnya. Syariat hanya membolehkan pada kondisi urgen, bersifat insidental, dan pungutan akan dihentikan jika kondisi baitul mal kembali normal.
Jika acuan kebijakan negara selalu disesuaikan dengan aturan Allah, niscaya tidak akan ada kezaliman. Semua dikembalikan pada keputusan Allah, halal atau haram. Bukan kebijakan dari akal manusia yang sarat kepentingan. Terbayang satu kehidupan menaungi setiap warga, termasuk kaum ibu, tanpa ada pembebanan beraneka ragam pajak. Wajahnya pasti cerah semringah. Tidakkah kita terdorong untuk memperjuangkannya?
Wallahu a’lam bish-shawwab.