Oleh. Syifa, SE
(Aktivis Muslimah)
Muslimahtimes.com–Musim hujan telah tiba, seakan memberi kode bahwa bencana banjir dan tanah longsor menjadi kado pilu yang harus siap kita terima. Dikabarkan bahwa sejumlah wilayah Indonesia kini kembali tergenang banjir. Seperti di Riau, sebanyak 6.647 orang di Kabupaten Rokan Hilir, Kepulauan Meranti dan Kota Dumai tengah mengungsi akibat rumah, tempat usaha, dan lahan mereka terdampak banjir selama beberapa pekan terakhir ini. Tidak hanya fasilitas kehidupan individu, fasilitas publik seperti sekolah-sekolah juga diliburkan karena tergenang banjir. (CNN Indonesia, 19/01/2024)
Banjir juga terjadi di Braga, Kota Bandung. Hujan lebat di kawasan Lembang membuat air Sungai Cikapundung meluap dan tanggul penahan air jebol. Akibatnya air bah masuk ke permukiman warga. Banjir tidak hanya membawa air, tetapi juga lumpur dan sampah. Banjir tersebut berdampak pada kurang lebih sekitar 857 warga dari 400 kepala keluarga. (Liputan 6, 19/01/2024)
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen Suharyanto dalam konferensi pers di Kantor BNPB, Jakarta Timur, Jumat (12/1) melaporkan, berbagai kerusakan yang terjadi akibat banjir yakni rusaknya 426 fasilitas pendidikan, 380 fasilitas peribadatan, dan 71 fasilitas kesehatan. Kerusakan juga turut terjadi pada 127 kantor dan 249 jembatan. (CNN Indonesia, 19/01/2024)
Dari sederet kondisi di atas menandakan bahwa masalah banjir masih menjadi PR besar di negeri ini. Bukan hanya bagi pemerintah daerah, tapi juga pemerintah pusat. Nyaris setiap memasuki musim hujan, banjir dan tanah longsor membayangi dan siap menghantam berbagai daerah di Indonesia.
Kambing hitam yang selalu disebut-sebut pun sangat klise, yakni curah hujan yang tinggi. Padahal curah hujan tinggi saja seharusnya tidak langsung menimbulkan banjir. Faktanya, sebab utama banjir yang kian parah dan meluas ini adalah daya dukung ekologis yang buruk di dataran tinggi akibat wilayah hutan yang beralih fungsi. Ironisnya, kejadian seperti ini terus berulang sepanjang tahun tanpa langkah serius untuk memperbaiki kesalahan mendasar berkaitan dengan paradigma pembangunan yang dihubungkan dengan keseimbangan ekologi. Wajar jika intensitas bencana banjir makin sering terjadi dan terus berlarut-larut.
Terkait persoalan ini, upaya serius yang dilakukan pemerintah hanya pada upaya cabang dan pencegahan yang sesungguhnya tak solutif. Yang terjadi, pemerintah memang melakukan mitigasi dan menyiapkan sejumlah bantuan berupa makanan, pakaian, mendirikan tenda pengungsian, dan lain-lain. Antisipasi jika banjir terjadi.
Namun, kausa mendasarnya sendiri tidak pernah dievaluasi apalagi diutak-atik untuk benar-benar mencegah banjir terjadi. Buruknya tata kelola wilayah serta pembangunan yang kian hari kian semrawut dan tidak memperhatikan kelestarian lingkungan, menyebabkan daya serap tanah menurun serta kualitas saluran drainase tidak adekuat. Ini tentunya tak sejalan dan menjauhkan masyarakat dari kemaslahatan itu sendiri.
Sederhananya, problem solving harus menyentuh akar masalahnya. Jika hanya memoles ujung-ujung dan cabang kecil, maka jelas masalahnya akan tetap ada. Banjir akan tetap berulang. Maka, hal yang penulis sebutkan di atas bukan hanya penting, namun memang itulah upaya pencegahan yang serius dan penuh tanggung jawab, yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah.
Beberapa upaya serius yang dapat dilakukan antara lain mengevaluasi dan merevisi pengelolaan tata ruang wilayah, merevisi perencanaan pembangunan yang telah terbukti mendegradasi lingkungan sebagai salah satu penyebab bencana banjir. Atau bahkan lebih spesifik lagi pemerintah kemudian membangun bendungan yang kokoh dan kuat, penataan tata ruang yang tepat, pemanfaatan lahan yang sesuai, yang mana berarti alif fungsi lahan hutan menjadi tempat ladang dan penompang industri serta perekonomian tidak terjadi lagi.
Sayangnya, penguasa dalam sistem kapitalisme yang memiliki karakter abai dan memerintah ala kadarnya akan selalu menyebabkan rakyat menjadi ‘korban’ dari kelalaian mereka. Pun kebiasaan pemerintah yang selalu menunjuk rakyat sebagai pihak yang bersalah akibat membuang sampah sembarangan serta mendirikan bangunan di tepi sungai, merupakan klaim yang lemah dan tak berdasar. Kalau saja upaya utama di atas dilakukan oleh pemerintah, maka tidak mungkin rakyat bertingkah sampai sejauh ini.
Sekali lagi, jika mau jujur, penyebab utama banjir yang tak kunjung henti di negeri ini adalah terletak pada paradigma pembangunan yang tidak akomodatif terhadap daya dukung lingkungan. Bahkan tampak pembangunan paradigma sekuler kapitalisktik selama ini hanya mengindahkan kepentingan para pemilik modal yang hanya berorientasi keuntungan materi semata.
Itulah mengapa meningkatnya kasus bencana banjir selalu beriringan dengan meningkatnya intensitas pembangunan multisektor di kawasan-kawasan dataran tinggi atau wilayah penyangga air. Seperti pembukaan lahan perkebunan, kawasan-kawasan wisata, kawasan perindustrian, daerah-daerah permukiman, dan lain-lain.
Untuk perkotaan, banjir juga sejalan dengan alih fungsi lahan atau sawah, baik untuk proyek perumahan, maupun pengembangan kawasan bisnis milik para kapitalis. Maka tidak heran jika hari ini nyaris semua lahan di kota-kota ditutupi semen dan aspal.
Hal ini bertolak belakang dengan sistem Islam dalam mengatasi banjir dan genangan. Khilafah Islamiyyah dengan cara pandang khasnya terhadap pembangunan tentu saja memiliki kebijakan tepat sasaran lagi efisien. Kebijakan tersebut mencakup sebelum, ketika, dan pascabanjir.
Pada kasus banjir yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletser, rob dan lainnya, maka Khalifah akan menempuh upaya terbaik yaitu membangun bendungan yang mampu menampung curahan air, aliran sungai, curah hujan, dan lain sebagainya. Di masa keemasan Islam, pembangunan bendungan dengan berbagai tipe telah dibangun untuk mencegah banjir maupun keperluan irigasi. Di masa kekhilafahan Abasiyyah, bendungan dibangun di Kota Baghdad, Irak. Bendungan itu terletak di Sungai Tigris. Pada abad ke-13 Masehi, di Iran juga dibangun bendungan Kebar yang hingga kini masih bisa disaksikan keberadaannya.
Sarjana-sarjana muslim juga telah berhasil membangun bendungan pengatur air (diversion dam). Bendungan ini difungsikan untuk mengatur air yang pertama kali dibangun di Sungai Uzaym di Jabal Hamrin, Irak. Setelah itu bendungan model seperti ini dibangun di wilayah-wilayah lain di negeri Islam. Orang-orang Yaman pada tahun 970 Masehi berhasil membangun bendungan Parada dekat Madrid, Spanyol. Hingga kini, bendungan-bendungan yang dibangun pada masa keemasan kekhilafahan Islam masih bisa dijumpai di Kota Cordoba
Di antara bendungan masyhur di Cordoba adalah bendungan Guadalquivir yang diaraiteki oleh Al-Idrisi. Bendungan ini didesain sedemikian rupa hingga bisa difungsikan untuk alat penggilingan hingga sekarang. Juga masih terlintas di benak kita bahwa kaum muslimin telah membangun bendungan yang kehebatannya mampu memenuhi irigasi di Valencia tanpa memerlukan penambatan sistem lagi, yakni ada di wilayah Spanyol di Sungai Turia.
Adapun wilayah pemukiman yang awalnya aman dari banjir dan genangan, namun karena sebab tertentu terjadi penurunan tanah sehingga terkena genangan atau banjir, maka Khilafah akan berusaha semaksimal mungkin menangani genangan itu. Jika tidak memungkinkan, khilafah akan mengevakuasi penduduk di daerah itu dan dipindahkan ke daerah lain dengan memberikan ganti rugi atau kompensasi kepada mereka. Secara berkala khilafah akan mengeruk lumpur-lumpur di sungai atau daerah aliran air agar tidak terjadi pendangkalan.
Tidak berhenti sampai di situ, Khilafah juga akan melakukan penjagaan yang sangat ketat untuk kebersihan sungai, danau, dan kanal dengan cara memberikan sanksi bagi siapa saja yang mengotori atau mencemari sungai, kanal atau danau. Khilafah juga akan membangun sumur-sumur resapan di daerah tertentu. Sumur-sumur ini, selain untuk resapan, juga dimanfaatkan untuk tandon air yang sewaktu-waktu bisa digunakan terutama jika masuk musim kemarau atau paceklik.
Pembangunan dalam sistem Islam yang menjadikan ideologi Islam sebagai dasar pijakan utama telah mampu melahirkan kemaslahatan besar bagi seluruh manusia. Orientasi pembangunan yang membuat manusia bertakwa kepada Sang Pencipta melahirkan kemaslahatan berkepanjangan, penguasa yang hanya takut dan tunduk pada-Nya baik dalam memenuhi hak dan kewajiban rakyat maupun dalam kesungguhan mengemban amanah lain. Dikhususkan lagi ketika ideologi Islam berbicara pembangunan yang tidak merusak bangunan ekologis. Yang mana pembangunan di bidang ekologis senantiasa berangkat dari bagian memelihara dan memenuhi kepentingan rakyat.
Pengelolaan dan pembangunan di bidang ini bukan hanya mengedepankan manfaat tapi juga maslahat dan mudharatnya. Apabila terdapat mudharat yang lebih besar ketimbang maslahat dalam pembangunan tersebut maka khalifah sebagai orang nomor satu yang bertanggung jawab penuh dalam hal ini akan melakukan pengkajian dan penanganan serius. Penanganan yang belum pernah kita jumpai sebagaimana penanganan hari ini, yang mana hanya penanganan lips service yang tak jarang memunculkan masalah baru untuk rakyat. Untuk kesuksesan pembangunan ini khalifah akan menghadirkan peran teknologi yang memadai, riset dan penelitian yang akan mendukung pembangunan berjalan dengan baik. Para ahli yang mengerti tentang ini akan dikerahkan dan sumber pembiayaan yang stabil dari baitul mal membuat khilafah Islam mampu menyelesaikan berbagai pembangunan dalam daulah dengan sangat cepat dan efektif.
Inilah sepintas langkah Khilafah dalam menyelesaikan persoalan banjir. Ini adalah beberapa gambaran kondisi di masa keemasan dan kejayaan Islam. Lantas tidak kah kita merindukan dan kemudian bersemangat untuk memperjuangkan kembali tegaknya sistem Islam di muka bumi ini?