Oleh. Wiratmi Anitasari, S.Pd
(Praktisi Pendidikan)
Muslimahtimes.com–Sosok ibu ibarat surga bagi anak-anaknya di dalam keluarga. Kita akan kehabisan kata-kata jika diminta untuk menggambarkan seorang ibu. Sosok wanita tangguh, super hero, penyayang, perhatian dengan segala kelembutan dan ketegasannya. Sosok ibu sangat mempengaruhi dalam suasana dalam rumah. Bagaikan mutiara dan pelita di tengah-tengah keluarga.
Namun, sungguh mengejutkan, baru-baru ini terdengar kabar bahwa ada seorang ibu yang tega membunuh bayi yang baru dilahirkan karena alasan ekonomi. Di kutip dari kumparanNEWS pada Jumat 24 Januari 2024 menyatakan bahwa ada seorang ibu di Kabupaten Belitung membunuh bayinya sendiri dan membuangnya ke semak-semak dalam kebun milik warga.
Bukan sekarang saja kasus-kasus seperti ini terjadi, sebelumnya juga banyak media yang memberitakan kasus serupa. Berdasarkan kasus-kasus yang terjadi, diduga yang menjadi pemicunya adalah faktor keterbatasan ekonomi. Perasaan ketakutan tidak bisa membiayai bayi yang akan dilahirkan menjadikan seorang ibu tega membunuh darah dagingnya sendiri.
Beratnya beban kebutuhan pokok untuk mempertahankan hidup anggota keluarga sangat berpengaruh terhadap kestabilan emosi seorang ibu. Peran ibu sebagai pengatur rumah tangga adalah sosok yang paling sensitif terhadap ketidakterpenuhinya kebutuhan keluarga. Sosok ibu adalah sosok yang paling rentan dengan ketidakstabilan psikis dan emosi.
Lemahnya ketahanan iman juga menjadi pemicu hilangnya fitrah keibuan. Kurangnya pemahaman agama dibarengi dengan kesulitan ekonomi menjadikan para ibu tidak mendapatkan pemecahan masalah yang tepat. Mereka tidak tahu harus bagaimana dan mengadu kepada siapa. Kurangnya iman dan pemahaman agama ini menjadikan seorang ibu mengambil keputusan secara pragmatis tanpa dasar halal haram, boleh atau tidak menurut syariat.
Kehidupan yang serba individualistik saat ini makin menambah derita pada sosok ibu. Saat ini kehidupan bermasyarakat hampir-hampir sudah tidak saling peduli keadaan sekitarnya, maka tidak heran terjadi kasus-kasus kelaparan, kriminal yang baru diketahui setelah sudah terjadi beberapa lama.
Jaminan kesejahteraan dari pemerintah layaknya panggang jauh dari api. Faktanya rakyat harus berjuang sendiri untuk memenuhi segala keperluan untuk mempertahankan hidupnya. Jangankan kebutuhan sekunder atau tersier, untuk memenuhi kebutuhan primer saja banyak keluarga yang masih kekurangan.
Kondisi demikian memang tidak aneh, karena kepengurusan rakyat saat ini berdasarkan sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini tidak melibatkan Allah Swt sebagai Sang Khaliq untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi makhluk yang diciptakan Allah Swt. Saat ini kepengurusan umat didasarkan pada aturan yang dibuat oleh manusia sendiri, makhluk yang mempunyai keterbatasan, kelemahan dan kekurangan.
Beratnya beban kehidupan saat ini tidak luput dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini dibuat berasaskan manfaat, untung rugi dan berpihak kepada para pemilik modal. Kebijakan-kebijakan yang diterapkan tidak pernah mengutamakan kepentingan dan kebutuhan rakyat kecil.
Meningkatnya harga kebutuhan pokok yang terus meroket dari tahun ke tahun menunjukkan penguasa abai terhadap kepentingan dan kebutuhan rakyat. Solusi yang ditawarkan penguasa hanya bersifat sesaat sekedar meredam gejolak dari bawah, dan permasalahan yang sama akan muncul kembali.
Banyaknya persoalan yang dihadapi para ibu menjadikan hilangnya fitrah ibu yang seharusnya mengayomi, memberikan kenyamanan dan kasih sayang untuk buah hatinya. Beban kehidupan berat yang dipikul seorang ibu mampu menghilangkan akal sehat dan naluri keibuannya. Demikanlah kalau kepengurusan negara dan umat berasaskan sistem sekuler kapitalisme.
Berbeda halnya dengan sistem islam yang mewajibkan negara menjamin kesejahteraan ibu dan anak. Sistem islam sudah terbukti mampu mensejahterakan rakyatnya selama 14 abad dalam naungan daulah islamiyah. Hal ini pernah dilakukan pada masa kekhalifahan Umayyah saat Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah kondisi kesejahteraan rakyat tidak baik. Beliau membuat kebijakan-kebijakan yang memprioritaskan kesejahteraan umat, sampai pada akhir pemerintahan beliau tidak ada satupun yang mau menerima zakat.
Tidak diterapkannya sistem islam, seorang suami menjadikan abai terhadap kewajiban nafkah terhadap istri dan anak-anaknya. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al Baqarah:233 yang artinya: “…dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut…”
Sistem Islam mewajibkan seorang pemimpin bertanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan pokok seluruh rakyatnya. Penegakan keadilan ekonomi Islam sangat ditegakkan sebagai bentuk tanggung jawab seorang pemimpin yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt di akhirat kelak.
Al Qur’an diturunkan Allah Swt sebagai pedoman hidup manusia menjelaskan bagaimana pengaturan ekonomi secara umum sebagaimana dijelaskan dalam QS Al Hadid:25 yang artinya, “Sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-Rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka alkitab dan neraca supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan manfaat bagi manusia dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agamanya) dan Rasul-Rasul-Nya, padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha perkasa”
Namun penerapan Al-Qur’an saat ini yang sepotong-sepotong menjadikan kesejahteraan hanya sebagai mimpi. Hanya dengan penerapan Islam secara kaffah dalam pengaturan berbagai aspek kehidupan, kesejahteraan hakiki bisa diwujudkan. Namun penerapan Islam secara kaffah hanya bisa dijalankan oleh institusi islam yaitu daulah islamiyah. Dengan kepemimpinan Islam dalam daulah islamiyah, hukum-hukum Islam yang menjamin kesejahteraan umat bisa dijalankan.
Wallahu a’lam bish showab