Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(KontributorMuslimah Times)
Muslimahtimes.com–Beberapa hari lalu, anak gadisku sepulang sekolah menyodorkan bingkisan biskuit coklat berwarna pink berbentuk hati. Dengan sebaris ucapan diketik di atas stiker tempel berwarna senada. Kurang lebih isinya begini, “Selamat Valentine Day ya”.
Hingga hari ini masih misteri tentang siapa pengirimnya, meski ini bukan kiriman yang pertama, namun tak berani menuduh apakah kali ini pengirimnya orang yang sama. Apalagi selalu menggunakan perantara, kali ini anak IFOS, salah satu kegiatan ekstra kurikuler di sekolah anak gadisku yang sedang mengumpulkan dana untuk kegiatan dengan membuka jasa pembuatan bingkisan sekaligus pengirimannya untuk seluruh warga sekolah SMA tersebut.
Dalam hati ada sekelebat rasa yang susah diungkapkan. Anakku sudah gadis, terasa semakin tak ringan tugasku sebagai orang tua. Ibarat bunga yang baru mekar, tentu aroma harumnya menggoda banyak kumbang datang menikmatinya. Jika masa Siti Nurbaya saja perkara anak gadis bak memegang kristal, apalagi hari ini.
Dan apa yang kutunggu-tunggu dengan harap-harap cemas, yaitu virus jambu, akhirnya datang. Kerepotanku sama seperti saat memahamkannya saat ia pertamakali mendapatkan haid. Apa yang boleh dan tidak baginya, sebab ia kini gadis baligh yang sedang menghadapi transisi berikutnya yaitu jatuh cinta. Dan ini jamak, dialami semua gadis bahkan menjadi konten media sosial.
Cinta adalah fitrah itu benar, namun Islam tak mengumbar cinta begitu saja, apalagi jika kita kaitkan dengan pertanggungjawaban setiap perbuatan kelak di hadapan Allah. Maka penekanannya adalah pilihan memang ada pada kita, maka standar pilihan bagi setiap muslim adalah syariat. Sebab, jomlo bukan hina, menikah pun hari ini bisa jadi belum banyak persiapan.
Terlebih hari ini, setiap godaan datang langsung di chat pribadi mereka, circle mereka yang tentu saja tak semuanya sudah tersentuh ilmu agama yang mumpuni. Sekali pun orang tua mereka muslim, namun tak keberatan jika anak bujang mereka entah pria atau wanita, menjalin pertemanan lebih dari sekadar teman.
Bagaimana dengan lagu yang dibawakan oleh Duo Ratu Maya Estianti dan Mulan Jamilah yang sempat tren dengan judul “Teman tapi Mesra”. Ya, syairnya berbicara tentang sebuah pertemanan namun mesra bak sepasang kekasih, hubungan tanpa status, segitiga dan tak perlu komitmen apapun. Itu bukan rekaan adegan semata, namun nyata sebagai wujud begitu bebasnya pergaulan hari ini.
Kehormatan dan kesucian wanita bukan sesuatu yang sakral, meskipun masyarakat masih tersisa yang menginginkan virginitas, namun tak risih juga jika melihat sepasang muda-mudi asyik masyuk berzina, toh masih muda kata mereka. Kelak jika sudah dewasa akan normal kembali bahkan cenderung bertanggung jawab.
Sikap permisif yang demikian inilah sebetulnya bak api dalam sekam, membakar diam-diam apa yang ada di hadapannya tanpa suara. Apa penyebabnya? Tentulah sekularisme akut yang menjadi sistem aturan bermasyarakat hari ini di banyak negeri-negeri muslim.
Pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) inilah yang melahirkan sikap tak peduli akan nasib orang lain. Kerusakan yang terjadi, jika belum menyentuh dirinya atau keluarga tak dianggap bahaya. Akibatnya, setiap kesalahan tidak segera diselesaikan atau jika pun diselesaikan tetap dalam koridor pemisahan agama. Lagi-lagi agama hanya didudukan sebagai pengatur ibadah individu bahkan di sekolah diajarkan sebatas ilmu, bukan cara pandang yang semestinya dimiliki guna mengatur hidup individu.
Perempuan dalam Islam sangatlah istimewa, dalam Al-Qur’an ada surat khusus yang bernama An-Nisa (perempuan). Meski hak dan kewajiban sebagai hamba Allah sama, namun Allah beri keistimewaan sesuai fitrah yaitu mengandung, melahirkan, mendidik dan mengasuh anak. Perempuan sama sekali tak dibebani mencari nafkah, bahkan nafkahnya sepanjang hayatnya jika bukan dari orang tua, beralih kepada suaminya saat menikah, kepada wali atau kerabatnya jika ia janda dan kepada negara jika tak ada siapapun yang layak menanggung nafkahnya.
Maka, tak heran jika ada banyak syariat yang fungsinya menjaga kemuliaan itu bak menjaga permata dunia. Itulah yang hari ini kita emban sebagai orang tua. Memahamkan betapa istimewanya ia diciptakan Allah, sehingga harus banyak belajar Islam dan syariatnya, agar bisa lebih paham seberapa dalam cinta Allah kepadanya.
Kapitalisme demokrasi hari ini, tak serius menjadikan perempuan istimewa kecuali menjadikannya sebagai objek penderita. Yang nilainya bukan dari ketaatan melainkan bentuk fisik. Yang memaksa berdaya ekonomi dengan menyebutkan sebagai kesamaan gender dan emansipasi. Sungguh sangat rendah! Kita akhirnya begitu ngeri melihat dampak buruk yang ditimbulkan.
Perempuan mudah teperdaya rayuan “hari kasih sayang” hanya dengan coklat dan segenggam janji buaya. Kasih sayang berakhir di ranjang, kehilangan keperawanan bahkan hingga nyawa karena aborsi atau trauma.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda: “Siapa yang menanggung nafkah dua anak perempuan sampai baligh, maka pada hari kiamat, antara saya dan dia seperti ini. Beliau menggabungkan jari-jarinya.” (HR.Muslim)
Hanya sistem Islam yang mampu mewujudkan perlindungan hakiki bagi perempuan dan anak perempuan. Perlindungan yang tak sekadar berupa hukum dan sanksi yang adil, namun juga pendidikan dan lingkungan yang positif. Yang menghidupkan amal amar makruf nahi mungkar.
Yang terpenting, menjadikan gadis kecil kita paham bahwa ia istimewa, diciptakan Allah dengan setuju hikmah, tentu menapaki hikmah demi hikmah itu harus berjalan di atas syariat. Bukan yang lain. Tentu ini pekerjaan berat, tapi tidak jika arahkan pandangan ke depan, di akhirat bahwa pilihan kita hari ini tepat dan menempatkan kita di tempat orang-orang bertakwa.
Menjadi orang tua hari ini bisa jadi memang berat, selain harus berjuang untuk membersamai anak tanpa menjustise, juga harus memperjuangkan tegaknya sistem sahih, yaitu Islam. Wallahualam bissawab.