Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
Muslimahtimes.com–Mudik ke kampung halaman masih menjadi budaya masyarakat Indonesia. Bagaimana pun sulitnya medan selain jauhnya jarak seringkali juga diwarnai dengan macet dan insiden kecelakaan tak menyurutkan rakyat untuk berkumpul di kampung halaman bertemu sanak keluarga.
Sebenarnya banyak hal yang harus dikritisi dari budaya ini, selain yang paling mencolok mata macetnya juga interaksi yang terjadi saat silahturahmi. Tak ada jaminan negara di kedua hal itu padahal sudah menjadi tradisi.
Pertama, soal kemacetan yang belum terurai hingga hari raya tahun ini. Tol Tangerang-Merak maupun pelabuhan Merak misalnya, selalu macet parah hingga bisa naik kapal setelah 7 jam menunggu. Tak ada perbaikan setidaknya pengurusan bagi mereka yang menunggu hingga berjam-jam, kemana negara? Padahal tak jarang kemacetan ini berbuah hilangnya nyawa manusia.
Upaya yang dilakukan pemerintah mengurai kemacetan seperti Contraflow, One Way, ganjil genap hingga pembatasan waktu operasional angkutan barang. alternatif , cara lainnya adalah pemberian diskon tarif tol maksimal 20 persen di tol Trans oleh Jawa Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) sebagaimana yang dikatakan Tulus Abadi, anggota BPJT dari unsur masyarakat. (katadata.co.id 29/03/2024)
Apakah upaya di atas berhasil? Sepertinya belum. Kakorlantas Polri Irjen Aan Suhanan mengatakan masih ada pelanggaran terkait penerapan aturan pembatasan kendaraan angkutan barang selama masa mudik Lebaran 2024. Kendaraan truk dengan sumbu 3 atau lebih dilarang melintas di jalan tol maupun arteri. Faktanya, masih ada ratusan truk yang melintas di jalan Raya pada saat arus mudik dan itu yang menyebabkan kemacetan kian panjang, “Kita sedang mendatakan ya, udah 200-an ya yang udah kita tindak,” kata Aan di Command Center KM 29 Tol Japek (kumparannews.com5/4/2024).
Mitigasi Lemah Penyebab Macet Tak Pernah Terurai Dari Tahun ke Tahun
Jika sudah menjadi langganan setiap tahunnya, mengapa pemerintah tak mengambil pelajaran? Kalau hanya sekadar perbaikan jalan-jalan utama nasional jelas tak cukup memadai. Butuh mitigasi yang terkoordinasi jauh sebelum hari raya, agar ketika hari H tak terjadi lagi kemacetan yang meresahkan. Mitigasi sama dengan antisipasi, jika ini tak menjadi fokus bagi negara lantas apa? Bukankah negara ada untuk melayani kebutuhan rakyat?
Rakyat pun seolah amnesia, selalu memaklumi kelalaian negara. Kelemahan ini sukses membuat negara kian abai, bahkan membuat negara berlindung dalam permakluman tersebut sehingga tidak menyusun langkah yang tepat. Apakah muhasabah Lil hukam ( evaluasi dan koreksi kepada penguasa) menunggu jatuh korban? Jika benar demikian, jelas ini sebuah kezaliman.
Sebab haram hukumnya menimpakan kedhararan (bahaya) kepada siapapun terlebih ini rakyat yang berada di bawah kewenangannya. Dari Abu Said Sa’ad bin Malik bin Sinan Al Khudry radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah saw., bersabda: ”Tidak boleh melakukan sesuatu yang berbahaya dan menimbulkan bahaya bagi orang lain.” (Hadis hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ad Daruquthni).
Jika saja dalil ini menjadi patokan bagi para penguasa negeri ini, insyaallah mudik bukanlah sesuatu yang horor, karena setelah mengorbankan hari-hari terakhir Ramadan namun ibadah tak bisa khusyuk.
Islam Solusi Mudik Aman dan Nyaman
Setiap negara memang memiliki tradisinya sendiri-sendiri. Asalkan tidak keluar dari pakem Islam. Maka agar tidak menimbulkan polemik dan menjadi bagian penting dari peran negara, syariat menetapkan negaralah yang wajib mengurus rakyat sesuai hukum Allah termasuk melakukan mitigasi optimal sebagai bentuk periayahan (pengurusan) negara atas rakyat khususnya dalam hal transportasi mudik.
Negara slam akan memberikan jaminan agar rakyat dapat melaksanakan Ramadan optimal penuh khusyu sehingga buah takwa bisa diraih. Negara tidak akan mengambil untung dari tradisi mudik ini sebagaimana kapitalis dengan mematok harga tiket yang mahal, sarana transportasi yang tua dan jarang perawatan, pembangunan jalan dan rest area yang mahal dan tidak bisa diakses rakyat kaya maupun miskin.
Apapun yang dilakukan negara, jika mindsetnya masih kapitalisme maka tak akan muncul pemimpin yang peduli rakyat. Sebaliknya negara khilafah akan memposisikan mudik yang merupakan manifestasi dari Birrul Walidain menjadi sebagai amal yang bernilai ibadah. Maka segala sesuatu yang berhubungan dengan mudik dan ibadah lainnya akan diupayakan terlaksana seoptimal mungkin. Pembiayaannya melalui Baitulmal yang bersifat mandiri tanpa bergantung kepada asing atau utang luar negeri. Wallahualam bissawab.