Oleh. Eka Ummu Hamzah
Muslimahtimes.com–Mudik Lebaran tahun 2024 ini merupakan mudik termeriah sepanjang sejarah. Bagaimana tidak, angka pergerakan mudik nasional tahun ini mencapai 193,6 juta orang. Angka ini menjadi rekor tertinggi dibandingkan dengan mudik Lebaran di tahun-tahun sebelumnya dengan presentase 71,7 % dari jumlah penduduk Indonesia. Di Indonesia sendiri mudik adalah tradisi tahunan masyarakat yang merantau ke perkotaan untuk menyambangi saudara dan sanak famili yang ada di kampung halaman, setelah sekian lama ditinggal.
Akan tetapi ditengah meriahnya mudik lebaran, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, setiap menjelang lebaran biaya transportasi meningkat drastis menjadi dua kali lipat, seperti tiket pesawat, jalan tol, tiket bus dan lain-lain. Misalnya, di Terminal Bayangan Ciputat pertanggal 25-31 Maret harga tiket tujuan Semarang , Jepara hingga Jawa Tengah naik dari 270.000 menjadi 370.000.
Sedangkan pertanggal 1- 10 April harga tiket naik hingga 500.000. ( iNews Tangsel, Minggu, 31 Maret 2024). Begitu pula layanan transportasi udara harga tiket pesawat di beberapa rute perjalanan mengalami kenaikan yang signifikan. Seperti rute Jakarta – Denpasar mulai dari harga 1,36 juta hingga 8,8 juta. (detikFinance, 20 Maret 2024)
Karena harga tiket yang melambung, maka tidak sedikit dari para pemudik memilih menggunakan sepeda motor agar menghemat biaya. Padahal mudik menggunakan sepeda motor jauh lebih melelahkan dan berbahaya karena jarak tempuh mencapai luar kota bahkan provinsi, yang semestinya tidak menggunakan sepeda motor sebagai moda transportasi.
Di sisi lain, mudik masih menyisakan problem besar lainnya bagi masyarakat, seperti kemacetan, kecelakaan dan lain-lain. Minimnya keamanan dan kenyamanan selama perjalanan mudik membuat masyarakat dipaksa untuk memaklumi kondisi ini. Sedangkan pemerintah tidak maksimal dalam melayani hajat rakyat terkait layanan transportasi. Pemerintah justru berkolaborasi dengan para kapitalis dalam melayani hajat rakyat.
Kenaikan biaya transportasi ini tidak terlepas dari komersialisasi layanan publik. Negara yang semestinya menyediakan layanan publik dengan cuma-cuma, justru pengelolaannya sebagian besar di serahkan kepada swasta. Menurut data CNBC tahun 2022, negara ikut terjun dalam bisnis jalan tol melalui BUMN yaitu PT Jasa Marga (Persero) tbk. PT Jasa Marga masih menduduki peringkat nomor satu menguasai jalan tol dengan memiliki pangsa pasar sebesar 51% seluruh Indonesia. Selanjutnya, ada PT Hutama Karya ( Persero ) yang menempati urutan kedua sebagai Badan Usaha Jalan Tol ( BUJT) yang memegang konsesi Tol terpanjang di Tanah Air karena mendapat mandat dari pemerintah dalam membangun Jalan Tol Trans-Sumatera (JTTS). Selain dua PT tersebut ada juga PT Waskita Karya (Persero) yang mengelola 10 jalan tol dengan panjang 558,5 kilometer, dan masih banyak lagi perusahaan-perusahaan lain yang mengelola jalan tol.
Dari data di atas menunjukkan bahwa layanan publik dalam hal ini jalan tol memang dijadikan ladang bisnis bagi penguasa maupun swasta. Walhasil, yang dirugikan adalah rakyat sebagai pengguna jalan. Karena dalam sistem Kapitalis-Liberal tugas negara hanya sebagai regulator dan fasilitator bukan sebagai penjamin kebutuhan rakyat. Jadi tidak heran jika dalam sistem ini setiap layanan fasilitas publik tidak ada yang gratis.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah hanya mementingkan keuntungan materi dalam memenuhi hajat rakyat. Hal ini sangat wajar dalam sistem Kapitalisme-Liberal, sistem Kapitalis melahirkan peraturan-peraturan yang bermuatan materialis. Hasilnya, semua kebijakan akan mengarah pada materi (uang).
Jauh berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Dalam pemerintahan Islam, penguasa (negara) berfungsi sebagai raa’in (pengurus) bagi rakyatnya, bukan sekedar regulator dan fasilitator. Penguasalah yang menyediakan serta menjamin transportasi yang bermutu, aman dan nyaman sesuai dengan syariat Islam. Secara fitrah pun masyarakat membutuhkan sistem kehidupan yang bersumber dari wahyu, bukan berasal dari akal manusia yang sarat dengan kepentingan.
Islam memandang bahwa jalan raya sebagai bagian dari pelayanan negara dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Jalan merupakan milik umum (publik), negara dilarang mengomersialisasikan. Negara wajib membangun infrastruktur jalan terbaik dan memadai, sebagai sarana transportasi bagi rakyatnya.
Cara pandang negara dalam membangun infrastruktur jalan bukan untuk bisnis, tapi pelayanan terhadap rakyat. Oleh karena itu, pembangunan disesuaikan dengan kebutuhan rakyat dalam hal jumlah penduduk dan kebutuhan akses, bukan berdasarkan pertimbangan materi. Infrastruktur dalam Islam akan diakses oleh seluruh rakyat tanpa tarif sepeser pun dari negara.
Biaya pembangunan infrastruktur ini diambil dari pos kepemilikan umum yakni Baitulmal yang bersumber dari pengelolaan sumber daya alam seperti hutan, migas, tambang dan lain-lain. Sumber pendapatan Baitulmal ini sangat cukup untuk membiayai pembangunan infrastruktur khususnya jalan umum, dengan kecanggihan teknologi yang mutakhir, aman nyaman dan mudah. Semua ini harus dilakukan oleh negara secara langsung selaku raa’in. Sebagaimana hadits Rasulullah saw:
“Imam/Khalifah yang menjadi pemimpin manusia adalah laksana penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya”. (HR. Al- Bukhari)
Wallahu ‘alam