Oleh. Meilina Tri Jayanti
(MIMم_Muslimah Indramayu Menulis)
Muslimahtimes.com–Agar bisa menjalankan aktivitas dengan baik tubuh memerlukan asupan makanan yang baik pula. Dari sisi kualitas, bahan pangan yang baik seharusnya memenuhi kriteria, beragam, bergizi, sehat, aman, dan halal. Sedangkan dari sisi kuantitas, bahan pangan seharusnya dapat diakses dengan mudah dan terjangkau agar masyarakat dapat memperolehnya dalam jumlah sesuai kebutuhan.
Namun, sayangnya ketersediaan bahan pangan masih menjadi masalah di negeri ini. Hal ini tak terlepas dari pola kelola sektor pertanian. Pengelolaan lahan potensi pertanian dari tahun ke tahun semakin terpuruk. Luasnya lahan tidur sampai alih fungsi lahan pertanian terus terjadi. Penyediaan alat mesin pertanian (alsintan) yang tidak tepat guna. Terakhir pemberlakuan kebijakan sarana produksi pertanian (terkhusus pupuk bersubsidi) yang terlalu rumit.
Kepala Pusat Pembenihan Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI), Kusnan, mengatakan tambahan alokasi pupuk subsidi pemerintah belum ada realisasi yang berarti. Ia menyebut, petani masih kesulitan untuk memperoleh pupuk subsidi. (kontan.co.id, 18-04-2024)
Petani yang membutuhkan pupuk bersubsidi (puksi), identitasnya wajib terdaftar di Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang dimiliki oleh kios resmi yang disebut dengan istilah Kios Pupuk Lengkap (KPL). Artinya petani tidak bebas membeli puksi baik dari segi dosis dan lokasi KPL-nya. Dosisi pupuk ditetapkan pemerintah sesuai dengan kemampuan kas negara. Sudahlah bahan baku pembuatan pupuk masih mengandalkan impor, ditambah lagi dengan kemampuan kas negara yang selalu terinfokan “berat” untuk memenuhi segala kebutuhan masyarakat.
Jadilah dalam perkara pupuk -terlebih di tahun 2024 ini- dosis pupuk yang sampai di tangan petani jauh dari kata layak berdasarkan dosis pemupukan per hektare yang mengacu pada kalender tanam (katam) atau spesifik lokasi. Akhirnya untuk tetap bisa mempertahankan produksi, petani menutupi kekurangannya dengan membeli pupuk nonsubsidi yang harganya jelas jauh lebih mahal.
Sebagai ekses dari kebijakan revolusi hijau, lahan sawah di Indonesia pada umumnya sangat tergantung terhadap ketersediaan pupuk kimia. Tujuan pemerintah memberlakukan kebijakan baru terkait pendistribusian puksi ini adalah agar subsidi pupuk tepat sasaran. Mereka yang hanya memiliki luas garapan kurang dari dua hektare saja yang berhak membeli puksi. Namun pada kenyataannya kebijakan ini justru memberatkan petani, apalagi dengan status penggarap yang menggarap lahan gurem dengan cara sewa/bagi hasil dan no maden.
Dalam pandangan Islam, ketersediaan pangan merupakan perkara yang krusial. Pemerintah akan hadir melalui kebijakan-kebijakan yang bersifat melanggengkan kesejahteraan masyarakat. Sesuai tuntunan Rasulullah, pemerintah akan meniadakan sistem sewa/bagi hasil terhadap lahan pertanian, karena ini adalah pangkal dari kerusakan lahan sawah, lahan tidur, dan lemahnya daya tawar para pejuang pangan (petani).
Dengan sumber keuangan negara yang begitu besar, pemerintah akan memastikan ketersedian sarana produksi pertanian berikut alsintan tepat guna, dapat dengan mudah dan murah diakses masyarakat tani. Pemerintah pun akan terus mengawal proses pendistribusian produk-produk pertanian sampai ke tangan masyarakat.
Pemberlakuan sanksi yang tegas terhadap para pelanggar aturan pun akan ditegaknya tanpa pandang bulu. Upaya ini jelas akan menutup peluang spekulasi komoditas pertanian yang membuat sulit dan berat kehidupan masyarakat.
Jelaslah hanya dengan menjalankan aturan dari Sang Pencipta, kehidupan seluruh manusia baik yang berstatus petani atau bukan, akan memperoleh peluang yang sama untuk mendapatkan kemudahan dan kesejahteraan hidup. Inilah poin penting dari sebuah kemandirian pangan, tidak hanya sekadar mampu mengadakan bahan pangan tapi juga bijak dalam pendistribusiannya.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.