Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)
Mualimahtimes.com–Telah diumumkan pemenang presiden. Ramai pula diulik sosok calon second lady alias istri wakil presiden. Mengapa bukan first lady, karena kebetulan presiden terpilih tidak memiliki pendamping hidup. Lantas bagaimana sosok istri wakil presiden terpilih tersebut? Yang menjadi sorotan, justru gaya hidupnya yang glamor.
Sangat kontras dengan pencitraan sederhana keluarga besar rezim, para perempuan di sekitar penguasa, justru mengoleksi barang-barang branded dengan harga selangit. Dikutip dari channel YouTube Fimela Famestar, calon second lady memiliki koleksi tas berharga jutaan. Yang murah Rp3 juta dan termahal merek Hermes yang harganya Rp386 juta dan Rp505,7 juta.
Ini hanyalah salah satu gambaran gaya hidup mewah pajabat dan keluarganya. Sebagaimana sudah sering diulik oleh media dan para netizen, di mana keluarga pejabat kerap mempertontonkan gaya hidup mewahnya. Sangat kontras dengan gaya hidup rakyat yang dipimpinnya.
Mulai pejabat tingkat desa, kota hingga negara, setali tiga uang. Hasrat untuk bergaya hidup mewah tidak terbendung. Tentu saja hal ini sangat ironis dengan nasib rakyat kebanyakan. Adalah wajar jika kesenjangan ini memicu kegeraman. Apalagi, jika gaya hidup mewahnya diketahui dari hasil memanfaatkan kedudukan dan jabatannya.
Apakah ini berarti istri pejabat tidak boleh bergaya high class, melainkan harus tampil semurah mungkin? Apakah tidak boleh tampil elegan, melainkan segembel mungkin? Apakah dilarang menikmati barang branded berkualitas?
Tentu saja yang dimaksud bukan seperti itu, melainkan, bagaimana para penguasa dan keluarganya, memiliki kepekaan sosial sehingga tidak menciptakan jurang kesenjangan dengan rakyat. Terlebih, tidak pamer barang mewahnya, di tengah rakyat yang kesulitan untuk sekadar mendapatkan kebutuhan pokok.
Jangan khawatir. Negara besar yang maju dan mampu memakmurkan rakyatnya, pasti akan memuliakan penguasanya. Ketika rakyatnya sejahtera, maka para penguasa pun berhak menikmati kesejahteraan.
Jadi, bukannya julid, sejatinya, rakyat akan bangga dan senang melihat pejabat dan keluarganya makmur sejahtera; mendapatkan fasilitas high class dan memiliki barang-barang branded berkualitas. Asalkan, rakyat pun sudah sejahtera. Rakyat juga menikmati keadilan dalam segala bidang.
Tidak harus setara kesejahteraannya dengan pejabat, yang penting tidak terzalimi. Namun, jika korupsi masih merajalela; kezaliman di mana-mana; kemiskinan masih berjuta-juta; aset-aset negara dikuasai segelintir individu saja; lalu para pejabat berfoya-foya bersama pengusaha yang menikmati aset-aset negara; maka jangan salahkan jika rakyat julid berjamaah.
Bukan Sekadar Seremonial
Menjadi istri pejabat di tingkat apapun, memang harus siap menjadi sorotan. Sayangnya, di dalam sistem pemerintahan sekuler saat ini, yang disorot bukan terkait dengan prestasi atau karyanya. Bukan berkaitan dengan sumbangsihnya untuk negara. Bukan karena keberhasilannya ikut membawa manfaat bagi rakyat.
Istri pejabat kebanyakan hanya melakukan kegiatan yang bersifat seremonial. Seperti membuka acara, memberi sambutan, menyerahkan bingkisan atau menyalurkan sumbangan. Harapannya, ke depan, istri pejabat ikut ambil bagian dalam menginisiasi suatu program kebaikan bagi rakyat.
Entah melalui bisikan kebaikan kepada sang suami, atau inisiatif memanfaatkan ilmu, harta dan tenaganya sendiri. Bukan memanfaatkan kedudukan suami untuk memperkaya diri, tetapi untuk membantu melancarkan tugas-tugas suami. Istri pejabat ikut berkiprah memberikan sumbangsih terbaiknya bagi rakyat. Mempunyai ide-ide cemerlang untuk diaplikasikan, demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat.
Bukan sekadar mendampingi suami dengan tampilan glamornya. Sebaliknya, justru harus tetap tampil merakyat. Bukan sekadar pencitraan seolah-olah sederhana, tapi benar-benar empati dengan derita mereka. Alih-alih mengempit tas seharga rumah, seharusnya menyibukkan diri membantu rakyat susah.
Istri pejabat juga menjaga agar suaminya berada di jalan yang lurus saat memerintah. Jangan biarkan terjerumus dalam korupsi, kolusi atau perbuatan zalim lainnya sebagai penguasa. Istri pejabat tahu betul berapa pendapatan suaminya, sehingga ikut mengawasi kalau-kalau suaminya mengambil yang bukan haknya.
Istri pejabat juga tidak memanfaatkan kedudukan suami untuk kepentingan dirinya. Banyak sekali istri-istri pejabat yang kini menggantikan kedudukan suaminya. Misal, dulu istrinya walikota, lalu setelah masa jabatannya habis dan tidak bisa mencalonkan lagi, sang istri yang kemudian mencalonkan diri. Akhirnya hanya menjadi pejabat di balik bayang-bayang suami. Sejatinya, sang suamilah yang masih berambisi berkuasa lagi.
Teladan Istri Salehah
Dalam sejarah peradaban Islam, para istri penguasa menjadi teladan akan kiprah mulianya. Mendampingi suami dalam menyukseskan kepemimpinannya. Salah satunya adalah kisah agung Ummu Salamah yang mendampingi Nabi Muhammad Saw dalam perjalanan menuju ke Mekah.
Rencana semula, rombongan Nabi hendak mengunjungi baitullah. Namun di wilayah Hudaibiyah, ditekenlah sebuah perjanjian yang di mata para sahabat dianggap merugikan kaum muslimin. Hingga, ketika Nabi menyerukan mereka untuk memotong kurban dan bercukur, para sahabat enggan bangkit melakukannya.
Nabi pun lalu menemui istri beliau, Ummu Salamah, dan menceritakan apa yang telah terjadi. Kemudian, Ummu Salamah memberikan solusi dengan mengatakan, “Wahai Nabi Allah, apakah engkau ingin hal itu terjadi (mereka bangkit, memotong kurban, dan bercukur)? Keluarlah, jangan bicara satu kata pun dengan siapa pun dari mereka, sembelihlah hewan kurbanmu, lalu panggillah tukang cukur supaya dia mencukur rambutmu!” Nabi pun keluar dan mengikuti saran sang istri. Seketika, para sahabat pun bangkit mengikuti apa yang dilakukan beliau. Masalah pun terpecahkan.
Demikilahkan peran perempuan yang dimuliakan dalam Islam, di mana di masa jahiliyah Arab, perempuan tidak diberi ruang sama sekali. Namun, Islam datang memuliakan para perempuan, hingga memiliki kiprah terbaik sebagai istri pendamping suami. Termasuk mendampingi suami ketika menjadi penguasa.
Kisah lain yang mahsyur tentang kiprah istri penguasa di peradaban Islam adalah tentang teladan kesederhanaan Fatimah, istri Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Sebagai satu-satunya anak perempuan dari lima bersaudara dari Khalifah Abdul Malik bin Marwan di masa Abbasyiah, ia biasa hidup di lingkungan istana yang berkecukupan. Kebahagiaannya semakin lengkap karena dipersunting Umar bin Abdul Aziz, yang juga saleh dan kaya. Namun, kehidupannya berbalik 180 derajat ketika sang suami diangkat menjadi khalifah.
Fatimah rela melepaskan kemewahannya dan menjadi pendukung pertama gerakan sederhana yang dilakukan suaminya. Selama Umar bin Abdul Aziz berkuasa, gaya hidup Fatimah tak beda dengan rakyatnya. Rumah yang ditempati, pakaian yang dikenakan, dan makanan yang disantap, semuanya tidak jauh dengan rakyat biasa.
Walhasil, era Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai salah satu periode pemerintahan Islam terbaik. Saat itu, penguasa sampai kebingungan menyalurkan zakatnya, karena tidak ada lagi rakyat yang pantas untuk disantuni. Artinya, rakyat sejahtera secara merata. Dan itu berkat teladan pemimpinnya yang mengutamakan rakyat dibanding diri dan keluarganya.
Sungguh, masih banyak lagi teladan istri pejabat di masa lalu yang sangat mahsyur. Inilah yang patut ditiru oleh para istri pejabat masa kini. Memang tidak harus memelaratkan diri, yang penting punya rasa empati untuk tidak berlebih-lebihan di atas derita rakyat kebanyakan.
Apakah kiprah mulai seperti itu bisa diwujudkan? Tentu saja bisa, jika saja pemerintahan berpedoman pada syariah Islam. Jika saja nuansa kehidupan ini di bawah payung peradaban Islam, bukan peradaban sekuler kapitalis yang memang didominasi hedonisme dan materialistis.(*)